Kurikulum Pandemi Kapan?
Jum'at, 17 Juli 2020 - 06:03 WIB
Kurikulum 2013 sebagai acuan pendidikan di Indonesia saat ini dinilai sudah kurang sesuai dengan kondisi siswa, guru, dan penyelenggara sekolah. Kurikulum 2013 dinilai terlalu padat konten yang memberatkan para siswa di kala harus melakukan PJJ. Harusnya dengan situasi tersebut maka ada harus ada revisi terhadap target capaian kompetensi literasi dan numerasi siswa, beban pembelajaran, hingga lamanya waktu belajar. Dengan demikian para siswa, guru, maupun penyelenggara sekolah mempunyai acuan pendidikan yang lebih membumi dan sesuai dengan situasi kedaruratan. “PGRI mengusulkan agar pemerintah merancang 'Kurikulum Sekolah Era Pandemi (KSEP)' yang praktis dan aplikatif dengan target pembelajaran yang rasional," ujar Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi.
Harus diakui proses pendidikan di tengah masa pandemi memang tidak bisa berjalan normal. Banyak kendala teknis yang dihadapi oleh stakeholder pendidikan dalam melaksanakan PJJ. Kendala teknis itu di antaranya tidak semua siswa mempunyai handphone, tidak meratanya akses internet, para guru yang belum terbiasa dengan pola pembelajaran jarak jauh, maupun tidak semua orang tua mempunyai kesempatan dan kemampuan mendampingi sang anak untuk belajar. (Baca juga: Suku Bunga Turun Dorong Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi)
Kemendikbud sebenarnya telah menjanjikan akan segera menyusun kurikulum adaptif agar sesuai dengan kondidi pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan Plt Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad. Namun hingga tahun ajaran baru telah berjalan, kurikulum adaptif tersebut tidak kunjung terealisasi.
Kesulitan para siswa, guru, sekolah, maupun orang tua siswa untuk beradaptasi dengan pola pembelajaran jarak jauh juga tergambar dari hasil jajak pendapat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jajak pendapat itu dilaksanakan pada 13-21 April 2020. Diikuti oleh 1.700 responden siswa dan 602 responden guru yang meliputi 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota.
Survei tersebut menunjukkan bahwa guru yang sudah terbiasa menggunakan pembelajaran daring (berbasis digital) terus-menerus di kelas hanya 8%. Bahkan masih ada guru yang sama sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran online sebelum masa krisis ini (9,6%). Temuan itu diperkuat temuan di mana mayoritas guru dalam PJJ belum memahami sepenuhnya penggunaan media teknologi digital dalam pembelajaran. Mereka hanya sebatas “menggunakan WA, LINE, IG, dan FB” sebagai media pembelajaran (82,2%).
Jajak pendapat KPAI tersebut juga menunjukkan jika mayoritas siswa (79,9%) merasa PJJ berlangsung tanpa interaksi guru-siswa sama sekali. Para guru hanya memberikan tugas dan menagih tugas saja, tanpa ada interaksi belajar, seperti tanya jawab langsung atau aktivitas guru menjelaskan materi. Hanya 20,1% responden dari siswa yang menyatakan ada terjadi interaksi antara siswa dengan guru selama PJJ. Bentuk interaksi tersebut adalah sebanyak 87,2% responden menyatakan melalui chating, 20,2% menggunakan aplikasi zoom meeting, sedangkan 7,6% lagi menggunakan aplikasi video call WhatsApp; dan 5,2% responden menggunakan telepon untuk langsung bicara dengan gurunya. (Baca juga: Ratusan Warga Pasuruan Nekat Rebut dan Buka Paksa Peti Jenazah Covid-19)
Sebanyak 77,8% siswa mengalami kesulitan akibat tugas yang menumpuk karena seluruh guru memberikan tugas dengan waktu yang sempit. Belum selesai tugas pertama, sudah datang tugas selanjutnya dari guru yang lain. Demikian seterusnya, padahal tugas yang pertama saja belum selesai. Sedangkan 37,1% responen mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit, sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan, aktivitas belajar seperti ini pun tentu jauh dari menyenangkan.
KPAI juga mencatat bahwa di tengah keterbatasan pembelajaran guru malah masih mengejar ketercapaian kurikulum yang dimasa normal saja ketercapaian tersebut sulit dilakukan. Kondisi guru dilapangan ini kontradiktif dengan SE Mendikbud No 4/2020 yang menyebutkan sekolah tidak harus mengejar ketuntasan pembelajarans ebab akan menambah beban siswa dan guru. “KPAI pada bulan April lalu sudah merekomendasikan adanya kurikulum dalam situasi darurat sehingga guru bisa memilih materi esensial dan utama saja yang diberikan,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim juga menuntut hal yang sama. Padahal, katanya, FSGI pun menunggu-nunggu undangan Kemendikbud untuk turut membahas penyusunan kurikulum darurat tersebut. ''Sangat dibutuhkan kurikulum adaptif di masa pandemi,'' katanya.
Memang ada SE No 4/2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 dan SE No 15/2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Kedua SE tersebut bisa dijadikan patokan dalam pembelajaran. Terutma dalam memilih kompetensi dasar yang esensial sehingga guru tidak berorientasi pada penyelesaian target capaian semua kurikulum baik standar isi atau kompetensi dasar. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah para guru sudah memahami isi SE tersebut. Menurut Satriwan, perlu adanya survei terbaru untuk melihat sejauhmana pemahaman guru akan SE tersebut. (Lihat videonya: Heboh! Pedagang Angkringan Cantik di Sragen Bikin Pembeli Gagal Fokus)
Harus diakui proses pendidikan di tengah masa pandemi memang tidak bisa berjalan normal. Banyak kendala teknis yang dihadapi oleh stakeholder pendidikan dalam melaksanakan PJJ. Kendala teknis itu di antaranya tidak semua siswa mempunyai handphone, tidak meratanya akses internet, para guru yang belum terbiasa dengan pola pembelajaran jarak jauh, maupun tidak semua orang tua mempunyai kesempatan dan kemampuan mendampingi sang anak untuk belajar. (Baca juga: Suku Bunga Turun Dorong Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi)
Kemendikbud sebenarnya telah menjanjikan akan segera menyusun kurikulum adaptif agar sesuai dengan kondidi pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan Plt Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad. Namun hingga tahun ajaran baru telah berjalan, kurikulum adaptif tersebut tidak kunjung terealisasi.
Kesulitan para siswa, guru, sekolah, maupun orang tua siswa untuk beradaptasi dengan pola pembelajaran jarak jauh juga tergambar dari hasil jajak pendapat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jajak pendapat itu dilaksanakan pada 13-21 April 2020. Diikuti oleh 1.700 responden siswa dan 602 responden guru yang meliputi 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota.
Survei tersebut menunjukkan bahwa guru yang sudah terbiasa menggunakan pembelajaran daring (berbasis digital) terus-menerus di kelas hanya 8%. Bahkan masih ada guru yang sama sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran online sebelum masa krisis ini (9,6%). Temuan itu diperkuat temuan di mana mayoritas guru dalam PJJ belum memahami sepenuhnya penggunaan media teknologi digital dalam pembelajaran. Mereka hanya sebatas “menggunakan WA, LINE, IG, dan FB” sebagai media pembelajaran (82,2%).
Jajak pendapat KPAI tersebut juga menunjukkan jika mayoritas siswa (79,9%) merasa PJJ berlangsung tanpa interaksi guru-siswa sama sekali. Para guru hanya memberikan tugas dan menagih tugas saja, tanpa ada interaksi belajar, seperti tanya jawab langsung atau aktivitas guru menjelaskan materi. Hanya 20,1% responden dari siswa yang menyatakan ada terjadi interaksi antara siswa dengan guru selama PJJ. Bentuk interaksi tersebut adalah sebanyak 87,2% responden menyatakan melalui chating, 20,2% menggunakan aplikasi zoom meeting, sedangkan 7,6% lagi menggunakan aplikasi video call WhatsApp; dan 5,2% responden menggunakan telepon untuk langsung bicara dengan gurunya. (Baca juga: Ratusan Warga Pasuruan Nekat Rebut dan Buka Paksa Peti Jenazah Covid-19)
Sebanyak 77,8% siswa mengalami kesulitan akibat tugas yang menumpuk karena seluruh guru memberikan tugas dengan waktu yang sempit. Belum selesai tugas pertama, sudah datang tugas selanjutnya dari guru yang lain. Demikian seterusnya, padahal tugas yang pertama saja belum selesai. Sedangkan 37,1% responen mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit, sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan, aktivitas belajar seperti ini pun tentu jauh dari menyenangkan.
KPAI juga mencatat bahwa di tengah keterbatasan pembelajaran guru malah masih mengejar ketercapaian kurikulum yang dimasa normal saja ketercapaian tersebut sulit dilakukan. Kondisi guru dilapangan ini kontradiktif dengan SE Mendikbud No 4/2020 yang menyebutkan sekolah tidak harus mengejar ketuntasan pembelajarans ebab akan menambah beban siswa dan guru. “KPAI pada bulan April lalu sudah merekomendasikan adanya kurikulum dalam situasi darurat sehingga guru bisa memilih materi esensial dan utama saja yang diberikan,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim juga menuntut hal yang sama. Padahal, katanya, FSGI pun menunggu-nunggu undangan Kemendikbud untuk turut membahas penyusunan kurikulum darurat tersebut. ''Sangat dibutuhkan kurikulum adaptif di masa pandemi,'' katanya.
Memang ada SE No 4/2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 dan SE No 15/2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Kedua SE tersebut bisa dijadikan patokan dalam pembelajaran. Terutma dalam memilih kompetensi dasar yang esensial sehingga guru tidak berorientasi pada penyelesaian target capaian semua kurikulum baik standar isi atau kompetensi dasar. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah para guru sudah memahami isi SE tersebut. Menurut Satriwan, perlu adanya survei terbaru untuk melihat sejauhmana pemahaman guru akan SE tersebut. (Lihat videonya: Heboh! Pedagang Angkringan Cantik di Sragen Bikin Pembeli Gagal Fokus)
Lihat Juga :
tulis komentar anda