Wakil Ketua MPR Minta Sistem Belajar Online Dievaluasi Total
Sabtu, 01 Agustus 2020 - 00:58 WIB
NGADA - Sistem Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) atau pendidikan online yang diberlakukan selama masa pandemi COVID-19 dalam lima bulan terakhir dinilai sangat tidak efektif.
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengatakan, sistem pendidikan online memang belum terpikirkan sebelumnya. Jika keadaan darurat pandemi ini berlangsung lebih dari satu semester, menurutnya sistem pendidikan online harus dievaluasi total.
"Karena ini sudah lima bulan dan belum ada gambaran bahwa pandemi akan selesai. Kita setuju saja pendidikan online itu, asal semua infrastruktur terkait itu mulai dari jaringan internet, cara mengevaluasi pendidikan itu, disiapkan. Untuk hari ini nggak siap itu pendidikan online," kata Gus Jazil di sela kunjungan kerjanya ke Kabupaten Ngada, Kepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur, Kamis (30/7). (Baca juga: Fahri Hamzah: Lapor Mas Menteri, PJJ Memiliki Banyak Ekses Negatif )
Menurutnya, pendidikan online yang ada saat ini hanya ada wujudnya dan dilakukan, namun tidak jelas mutu dan konsep pembelajarannya. Masing-masing sekolah atau guru mencari polanya sendiri. "Tapi mutunya nggak dikontrol, pola pembelajarannya seperti apa juga hanya ibarat trial and error, yang penting ada," katanya.
Pertanyaannya, kata Gus Jazil, sekarang bagaimana nasib anak-anak di desa yang tidak ada internetnya. Juga apakah ada skema pemberian subsidi pulsa bagi siswa yang tidak mampu. "Atau memang ada pola yang lain, harus menurut saya itu dievaluasi total. Kalau tidak, nanti ada satu generasi yang tidak menerima asupan pendidikan yang cukup," tuturnya.
Karena itu, dirinya meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mendorong pembelajaran tatap muka bagi daerah yang sudah tergolong zona hijau. "Bagi yang online, itukan yang dimungkinkan untuk yang perangkatnya cukup. Nah bagi yang tidak cukup, harus ada alternatif yang lain selain online. Misalnya memfungsikan balai desa atau Posyandu atau apa yang lain. Bisa juga mengajak para sarjana yang ada di desa untuk mendidik anak-anak, tidak dengan pola klasikal tentunya, mungkin pola yang lain, diajari membaca buku atau kreativitas tertentu karena memang darurat," paparnya. (Baca juga: Evaluasi dan Kolaborasi Merupakan Kunci Membenahi Permasalahan PJJ )
Dikatakan politikus PKB ini, sistem pendidikan online hanya cocok diterapkan di kota-kota besar yang fasilitasnya memadai dan masyarakatnya relatif mampu. "Nggak ada di kampung-kampung pelajaran online itu, perangkatnya nggak cukup. Mulai handphone tidak connected dengan pelajaran online, pulsanya, jaringannya, semuanya dihitung. Orang lagi butuh makan, kalau sudah punya anak dua, di desa, dengan penghasilan yang pas-pasan, saya yakin nggak sekolah itu," katanya.
Karena itu, Koordinator Nusantara Mengaji ini meminta Kemendikbud untuk mendata setelah pandemi selesai, berapa banyak anak yang putus sekolah. Sebab, menurutnya, mengembalikan anak ke sekolah setelah sekian lama tidak sekolah, bukan merupakan persoalan mudah. "Sudahlah nggak berjalan di kampung itu (sistem online) dengan stuck-nya pembelajaran diganti online itu. Nah ini nanti akan ada beberapa akibat. Satu anak putus sekolah. Kedua, tidak sampai sasaran. Ini semua harus dievaluasi daripada ribut POP (Program Organisasi Penggerak), alihkan saja dananya untuk kegiatan yang lebih bermanfaat untuk masyarakat," katanya. (Baca juga: Begini Proses Pendaftaran WNI yang Terpilih Jadi Jamaah Haji 2020 )
Dikatakan Gus Jazil, saat ini Mendikbud Nadiem Makarim justru lebih banyak berpolemik dengan berbagai programnya, sementara persoalan terganggunya sistem belajar mengajar di sekolah tidak terlalu diurus. "Mendikbud tidak bekerja malah buat polemik hari ini. Mendikbud harus bekerja sama dengan perangkat desa untuk tempat yang paling kecil yang disitu dapat dimobilisasi ke pos desa, di situ pembelajarannya. Semua harus connected, Kemenkes ada, Kemendikbud, Kemendes juga supaya pelaksanaan bisa berjalan. Nggak yakin saya kalau pembelajaran online itu tepat sasaran," tuturnya.
Dikatakan Gus Jazil, sistem pendidikan online yang ada saat ini justru memberikan peluang bagi anak-anak untuk lebih banyak waktunya bergulat dengan gadget. "Coba online itu dievaluasi betul. Kalau tidak mampu cari yang lain, jangan online, online, tapi orangtuanya sibuk belajar, anaknya main game. Jadi generasi pendidikan hari ini anak diberikan akses lebih kuat pada gadget. Belajarnya satu jam, mainnya bisa lima jam, itu efek negatif dari sistem online ini," pungkasnya.
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengatakan, sistem pendidikan online memang belum terpikirkan sebelumnya. Jika keadaan darurat pandemi ini berlangsung lebih dari satu semester, menurutnya sistem pendidikan online harus dievaluasi total.
"Karena ini sudah lima bulan dan belum ada gambaran bahwa pandemi akan selesai. Kita setuju saja pendidikan online itu, asal semua infrastruktur terkait itu mulai dari jaringan internet, cara mengevaluasi pendidikan itu, disiapkan. Untuk hari ini nggak siap itu pendidikan online," kata Gus Jazil di sela kunjungan kerjanya ke Kabupaten Ngada, Kepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur, Kamis (30/7). (Baca juga: Fahri Hamzah: Lapor Mas Menteri, PJJ Memiliki Banyak Ekses Negatif )
Menurutnya, pendidikan online yang ada saat ini hanya ada wujudnya dan dilakukan, namun tidak jelas mutu dan konsep pembelajarannya. Masing-masing sekolah atau guru mencari polanya sendiri. "Tapi mutunya nggak dikontrol, pola pembelajarannya seperti apa juga hanya ibarat trial and error, yang penting ada," katanya.
Pertanyaannya, kata Gus Jazil, sekarang bagaimana nasib anak-anak di desa yang tidak ada internetnya. Juga apakah ada skema pemberian subsidi pulsa bagi siswa yang tidak mampu. "Atau memang ada pola yang lain, harus menurut saya itu dievaluasi total. Kalau tidak, nanti ada satu generasi yang tidak menerima asupan pendidikan yang cukup," tuturnya.
Karena itu, dirinya meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mendorong pembelajaran tatap muka bagi daerah yang sudah tergolong zona hijau. "Bagi yang online, itukan yang dimungkinkan untuk yang perangkatnya cukup. Nah bagi yang tidak cukup, harus ada alternatif yang lain selain online. Misalnya memfungsikan balai desa atau Posyandu atau apa yang lain. Bisa juga mengajak para sarjana yang ada di desa untuk mendidik anak-anak, tidak dengan pola klasikal tentunya, mungkin pola yang lain, diajari membaca buku atau kreativitas tertentu karena memang darurat," paparnya. (Baca juga: Evaluasi dan Kolaborasi Merupakan Kunci Membenahi Permasalahan PJJ )
Dikatakan politikus PKB ini, sistem pendidikan online hanya cocok diterapkan di kota-kota besar yang fasilitasnya memadai dan masyarakatnya relatif mampu. "Nggak ada di kampung-kampung pelajaran online itu, perangkatnya nggak cukup. Mulai handphone tidak connected dengan pelajaran online, pulsanya, jaringannya, semuanya dihitung. Orang lagi butuh makan, kalau sudah punya anak dua, di desa, dengan penghasilan yang pas-pasan, saya yakin nggak sekolah itu," katanya.
Karena itu, Koordinator Nusantara Mengaji ini meminta Kemendikbud untuk mendata setelah pandemi selesai, berapa banyak anak yang putus sekolah. Sebab, menurutnya, mengembalikan anak ke sekolah setelah sekian lama tidak sekolah, bukan merupakan persoalan mudah. "Sudahlah nggak berjalan di kampung itu (sistem online) dengan stuck-nya pembelajaran diganti online itu. Nah ini nanti akan ada beberapa akibat. Satu anak putus sekolah. Kedua, tidak sampai sasaran. Ini semua harus dievaluasi daripada ribut POP (Program Organisasi Penggerak), alihkan saja dananya untuk kegiatan yang lebih bermanfaat untuk masyarakat," katanya. (Baca juga: Begini Proses Pendaftaran WNI yang Terpilih Jadi Jamaah Haji 2020 )
Dikatakan Gus Jazil, saat ini Mendikbud Nadiem Makarim justru lebih banyak berpolemik dengan berbagai programnya, sementara persoalan terganggunya sistem belajar mengajar di sekolah tidak terlalu diurus. "Mendikbud tidak bekerja malah buat polemik hari ini. Mendikbud harus bekerja sama dengan perangkat desa untuk tempat yang paling kecil yang disitu dapat dimobilisasi ke pos desa, di situ pembelajarannya. Semua harus connected, Kemenkes ada, Kemendikbud, Kemendes juga supaya pelaksanaan bisa berjalan. Nggak yakin saya kalau pembelajaran online itu tepat sasaran," tuturnya.
Dikatakan Gus Jazil, sistem pendidikan online yang ada saat ini justru memberikan peluang bagi anak-anak untuk lebih banyak waktunya bergulat dengan gadget. "Coba online itu dievaluasi betul. Kalau tidak mampu cari yang lain, jangan online, online, tapi orangtuanya sibuk belajar, anaknya main game. Jadi generasi pendidikan hari ini anak diberikan akses lebih kuat pada gadget. Belajarnya satu jam, mainnya bisa lima jam, itu efek negatif dari sistem online ini," pungkasnya.
(mpw)
tulis komentar anda