Lulusan Perkuliahan Masih Mendominasi Lapangan Pekerjaan di Perkotaan
Selasa, 26 September 2023 - 14:55 WIB
Selain itu, sektor sekunder yang sebenarnya memiliki potensi besar pun juga kurang diminati oleh lulusan perguruan tinggi. Anwar menekankan, contoh paling besar adalah dinamika di bidang pertanian, di mana intervensi dan program pengembangan yang dilakukan masih belum cukup untuk mengangkat potensi sektor pertanian desa.
Hambatan tersebut dinilai cukup berisiko dalam menghadapi bonus demografi penduduk di 2045, ketika 72% penduduk memasuki usia produktif. “Jepang itu sudah 49 tahun produktif. Artinya sedikit lagi, dia akan memasuki masa penduduk usia tua. Hanya sedikit yang produktif," ujarnya.
Baca juga: Kemenkeu Buka Lowongan PPPK 2023, Ini Jurusan Kuliah yang Dibutuhkan
"Nah, ini menjadi sebuah isu. Kalau kita bisa mengelola dengan baik akan menjadi berkah, kalau tidak akan menjadi musibah. Pertama, kalau seandainya periode keemasan ini bisa kita lakukan dengan baik, maka ketika dependency ratio ini meningkat, kita memiliki akumulasi saving yang cukup,” lanjutnya.
Selain segmentasi sektor pekerjaan dan produktivitas, isu ketenagakerjaan lain muncul jika melihat tren pekerjaan di kelompok gen Z. Saat ini berbagai sektor pekerjaan, khususnya perkantoran menerapkan sistem Digital Nomad atau WFA (Work From Anywhere).
Pekerja tidak dituntut untuk menetap di kantor, melainkan dibebaskan bekerja di mana saja selama terhubung dengan internet. Bahkan beberapa praktik dilakukan selama bertahun-tahun bekerja di luar kantor, lalu memutuskan tinggal di tempat tujuan tersebut. Metode ini banyak diminati oleh gen Z di sektor pekerjaan tersier perkotaan.
“Gen Z ini jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, itu jauh. Mereka memiliki kemampuan digital knowledge yang luar biasa. Mereka juga memiliki literasi digital dan kemampuan bahasa asing yang lebih baik. Tapi mereka kelemahannya adalah ketidakloyalan," ungkapnya.
"Makanya konsep yang kita usung dalam ketenagakerjaan ini adalah paid based on hours. Ini yang sebenarnya mencoba diberikan oleh UU Ketenagakerjaan. Jadi, bukan melemahkan, tapi justru mengantisipasi ke depannya, bahwa nantinya pekerja tidak lagi dibayar sesuai upah bulanan, melainkan per jam,” tuturnya.
Penyesuaian sistem tersebut tentunya tidak bisa dilakukan secara cepat dan mudah, mengingat masyarakat sudah terbiasa dengan sistem upah bulanan. Tentunya, perlu adanya perumusan sistem yang lebih baik sesuai dengan kondisi yang ada.
Hambatan tersebut dinilai cukup berisiko dalam menghadapi bonus demografi penduduk di 2045, ketika 72% penduduk memasuki usia produktif. “Jepang itu sudah 49 tahun produktif. Artinya sedikit lagi, dia akan memasuki masa penduduk usia tua. Hanya sedikit yang produktif," ujarnya.
Baca juga: Kemenkeu Buka Lowongan PPPK 2023, Ini Jurusan Kuliah yang Dibutuhkan
"Nah, ini menjadi sebuah isu. Kalau kita bisa mengelola dengan baik akan menjadi berkah, kalau tidak akan menjadi musibah. Pertama, kalau seandainya periode keemasan ini bisa kita lakukan dengan baik, maka ketika dependency ratio ini meningkat, kita memiliki akumulasi saving yang cukup,” lanjutnya.
Selain segmentasi sektor pekerjaan dan produktivitas, isu ketenagakerjaan lain muncul jika melihat tren pekerjaan di kelompok gen Z. Saat ini berbagai sektor pekerjaan, khususnya perkantoran menerapkan sistem Digital Nomad atau WFA (Work From Anywhere).
Pekerja tidak dituntut untuk menetap di kantor, melainkan dibebaskan bekerja di mana saja selama terhubung dengan internet. Bahkan beberapa praktik dilakukan selama bertahun-tahun bekerja di luar kantor, lalu memutuskan tinggal di tempat tujuan tersebut. Metode ini banyak diminati oleh gen Z di sektor pekerjaan tersier perkotaan.
“Gen Z ini jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, itu jauh. Mereka memiliki kemampuan digital knowledge yang luar biasa. Mereka juga memiliki literasi digital dan kemampuan bahasa asing yang lebih baik. Tapi mereka kelemahannya adalah ketidakloyalan," ungkapnya.
"Makanya konsep yang kita usung dalam ketenagakerjaan ini adalah paid based on hours. Ini yang sebenarnya mencoba diberikan oleh UU Ketenagakerjaan. Jadi, bukan melemahkan, tapi justru mengantisipasi ke depannya, bahwa nantinya pekerja tidak lagi dibayar sesuai upah bulanan, melainkan per jam,” tuturnya.
Penyesuaian sistem tersebut tentunya tidak bisa dilakukan secara cepat dan mudah, mengingat masyarakat sudah terbiasa dengan sistem upah bulanan. Tentunya, perlu adanya perumusan sistem yang lebih baik sesuai dengan kondisi yang ada.
Lihat Juga :
tulis komentar anda