Dosen UGM Kembangkan Detektor Mutasi Nyamuk Aedes Aegypti
Sabtu, 15 Agustus 2020 - 14:29 WIB
SLEMAN - Dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Penny Humaidah Hamid bersama tim peneliti FKH UGM berhasil mengembangkan kit atau perangkat untuk mendeteksi mutasi aedes aegypti di suatu wilayah yang resisten terhadap senyawa golongan permethrin. Perangkat ini mampu mengurai resistensi nyamuk aedes aegypti yang merupakan vektor pembawa virus dengue penyebab demam berdarah .
Penny mengatakan, pembuatan kit ini setelah dia melihat pengendalian nyamuk aedes aegypti dengan menggunakan bahan kimia pada habitatnya baik stadium larva dan dewasa tidak memberikan dampak signifikan karena kasus outbreak dengue selalu terjadi setiap tahun.
Bahkan banyak dilaporkan adanya kekebalan nyamuk terhadap berbagai insektisida yang sering digunakan, misalnya golongan pyrethroid. Sehingga faktor resistensi nyamuk terhadap insektisida tersebut menjadi sangat krusial karena hampir semua strategi pengendalian vektor dengue menggunakan bahan aktif tersebut.
(Baca: DBD di Gunungkidul Nyaris Tembus Seribu Kasus)
Sementara itu infeksi virus dengue dengan cepat dalam satu dekade terakhir. Dalam kurun 50 tahun, infeksi Dengue yang ditransmisikan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti ini telah menyebar ke banyak negara dengan peningkatan kasus hingga 2,5 milyar korban di negara endemik. Sedangkan tingkat infeksi yang terjadi sekitar 70% atau setara 1,8 milyar penduduk di Asia Tenggara dan daerah Pasifik Barat.
“Berawal dari kondisi itu, saya bersama tim peneliti FKH UGM tahun 2016 melakukan penelitian dan berinovasi mengembangkan kit untuk mendeteksi mutasi aedes aegypti yang berasosiasi erat dengan resistensi terhadap permethrin di Indonesia,” kata Penny, Sabtu (15/8/2020).
Penny menjelaskan perangkat yang dikembangkan bersifat siap pakai tersusun dari komposisi primer spesifik, bahan reaksi real-time PCR, probe berlabel fluorophore, DNA kontrol positif dan DNA kontrol negatif.
Formulasi perangkat praktis yang dikembangkan ini telah diuji efektivitasnya dalam mendeteksi mutasi aedes aegypti yang resisten terhadap permethrin di Bali, Jakarta, Makasar dan Banjarmasin. Hasil reaksi dapat mengindikasikan adanya resistensi dalam waktu kurang dari 24 jam dengan efektivitasnya 99% dan bisa dilihat dalam waktu kurang lebih sehari dari proses sejak isolasi DNA nyamuk.
(Baca: UGM Tambah Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Nuklir)
“Keakuratan dalam melakukan metode deteksi dan analisis hasil yang dapat diamati dengan cepat ini juga menjadi alasan mengembangkan kit untuk deteksi resistensi vektor Dengue terhadap insektisida di Indonesia,” paparnya.
Menurut Penny, perangkat dengan formulasi primer dan probe berlabel ini, bisa digunakan oleh lembaga surveillance, penentu kebijakan, serta petugas kesehatan yang menentukan ketepatan aplikasi rotasi insektisida dalam pemberantasan nyamuk aedes aegypti.
“Kami berharap kit ini bisa membantu upaya pengendalian berbagai penyakit yang diperantarai nyamuk Aedes aegypti misalnya dengue, zika, west nile dan chikungunya,” terangya.
Penny mengatakan, pembuatan kit ini setelah dia melihat pengendalian nyamuk aedes aegypti dengan menggunakan bahan kimia pada habitatnya baik stadium larva dan dewasa tidak memberikan dampak signifikan karena kasus outbreak dengue selalu terjadi setiap tahun.
Bahkan banyak dilaporkan adanya kekebalan nyamuk terhadap berbagai insektisida yang sering digunakan, misalnya golongan pyrethroid. Sehingga faktor resistensi nyamuk terhadap insektisida tersebut menjadi sangat krusial karena hampir semua strategi pengendalian vektor dengue menggunakan bahan aktif tersebut.
(Baca: DBD di Gunungkidul Nyaris Tembus Seribu Kasus)
Sementara itu infeksi virus dengue dengan cepat dalam satu dekade terakhir. Dalam kurun 50 tahun, infeksi Dengue yang ditransmisikan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti ini telah menyebar ke banyak negara dengan peningkatan kasus hingga 2,5 milyar korban di negara endemik. Sedangkan tingkat infeksi yang terjadi sekitar 70% atau setara 1,8 milyar penduduk di Asia Tenggara dan daerah Pasifik Barat.
“Berawal dari kondisi itu, saya bersama tim peneliti FKH UGM tahun 2016 melakukan penelitian dan berinovasi mengembangkan kit untuk mendeteksi mutasi aedes aegypti yang berasosiasi erat dengan resistensi terhadap permethrin di Indonesia,” kata Penny, Sabtu (15/8/2020).
Penny menjelaskan perangkat yang dikembangkan bersifat siap pakai tersusun dari komposisi primer spesifik, bahan reaksi real-time PCR, probe berlabel fluorophore, DNA kontrol positif dan DNA kontrol negatif.
Formulasi perangkat praktis yang dikembangkan ini telah diuji efektivitasnya dalam mendeteksi mutasi aedes aegypti yang resisten terhadap permethrin di Bali, Jakarta, Makasar dan Banjarmasin. Hasil reaksi dapat mengindikasikan adanya resistensi dalam waktu kurang dari 24 jam dengan efektivitasnya 99% dan bisa dilihat dalam waktu kurang lebih sehari dari proses sejak isolasi DNA nyamuk.
(Baca: UGM Tambah Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Nuklir)
“Keakuratan dalam melakukan metode deteksi dan analisis hasil yang dapat diamati dengan cepat ini juga menjadi alasan mengembangkan kit untuk deteksi resistensi vektor Dengue terhadap insektisida di Indonesia,” paparnya.
Menurut Penny, perangkat dengan formulasi primer dan probe berlabel ini, bisa digunakan oleh lembaga surveillance, penentu kebijakan, serta petugas kesehatan yang menentukan ketepatan aplikasi rotasi insektisida dalam pemberantasan nyamuk aedes aegypti.
“Kami berharap kit ini bisa membantu upaya pengendalian berbagai penyakit yang diperantarai nyamuk Aedes aegypti misalnya dengue, zika, west nile dan chikungunya,” terangya.
(muh)
tulis komentar anda