Peneliti UGM Tegaskan Nyamuk Wolbachia Tidak Menginfeksi Manusia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rencana penyebaran jutaan telur nyamuk Wolbachia di Kabupaten Buleleng dan Denpasar Bali munculkan pro kontra. Kekhawatiran akan berdampak pada kesehatan tubuh manusia akibat pelepasan nyamuk tersebut yang menjadi perdebatan.
Peneliti Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota peneliti World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, dr. Riris Andono Ahmad menjelaskan, penolakan yang terjadi merupakan hal lumrah.
Sebab, dia melanjutkan, saat pelepasan telur nyamuk Wolbachia di beberapa lokasi di Yogyakarta sebelumnya juga sempat menuai penolakan. Akan tetapi, setelah sosialisasi dan mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten dan kota akhirnya program tersebut dapat berjalan.
Soal kekhawatiran sebagian masyarakat yang menyebut bahwa Wolbachia bisa menginfeksi ke tubuh manusia dengan tegas Riris mengatakan, Wolbachia tidak menginfeksi manusia dan tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain bahkan Wolbachia tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik.
Baca juga: Nyamuk Wolbachia Dinilai Berisiko pada Kesehatan dan Industri Pariwisata, Benarkah?
Riris mengatakan, pelepasaan jutaan telur nyamuk Wolbachia di populasi nyamuk Aedes aegypti, berpotensi untuk menekan penularan virus dengue atau Demam Berdarah Dengue. Sebab, melepaskan nyamuk ber-Wolbachia jantan dan betina dalam waktu sekitar 6 bulan agar sebagian besar nyamuk di populasi memiliki Wolbachia.
“Diharapkan nantinya dapat menurunkan penularan virus dengue,” katanya, dilansir dari laman UGM, Minggu (19/11/2023).
Riris menerangkan, ketika nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia maka telurnya tidak akan menetas, namun bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak ber-Wolbachia seluruh telurnya akan menetas.
Selanjutnya bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan ber-Wolbachia maka keturunannya semua akan menetas dan mengandung Wolbachia.
Ia menyampaikan, dari penelitian teknologi Wolbachia sudah dilakukan di Yogyakarta selama 12 tahun sejak 2011 lalu. Dimulai dari tahapan penelitian fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022). Di dunia, kata Riris, studi pertama Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) dilakukan di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT).
Baca juga: Metode Wolbachia Tuai Pro Kontra Atasi Kasus DBD, Hidup dalam Tubuh Nyamuk Aedes Aegypti
Dari hasil studi AWED menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77.1% dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86%. Bahkan dari hasil studi tersebut dan hasil di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi WMP, teknologi Wolbachia untuk pengendalian Dengue telah direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group sejak 2021.
Terkait dukungan permintaan hasil kajian dan rekomendasi Kemenkes terkait pelepasan telur nyamuk Wolbachia ini, Riris mengatakan secara paralel Kementerian Kesehatan tengah menyusun strategi nasional penanggulangan dengue, dan teknologi Wolbachia merupakan bagian dari inovasi program pengendalian dengue. “Kementerian Kesehatan selanjutnya merencanakan implementasi secara bertahap,” ucapnya.
Seperti diketahui, Wolbachia adalah bakteri alami dari 6 dari 10 jenis serangga. Wolbachia dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti dapat menurunkan replikasi virus dengue sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk tersebut sebagai vektor dengue. Mekanisme kerja yang utama adalah melalui kompetisi makanan antara virus dan bakteri, dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, maka virus tidak dapat berkembang biak.
Melalui mekanisme tersebut, Wolbachia berpotensi menurunkan replikasi virus dengue di tubuh nyamuk, sebab nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia bukan organisme hasil modifikasi genetik, mengingat bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke dalam tubuh Aedes aegypti identik dengan Wolbachia yang ada di inang aslinya yaitu Drosophila melanogaster. “Perlu diketahui nyamuk Aedes Aegypti berwolbachia bukan hasil modifikasi genetik,”katanya.
Dari sisi aspek keamanan wolbachia, ujarnya, hasil analisis risiko yang diinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes, Kemenkes, pada tahun 2016 dengan membentuk 20 orang anggota tim independen dari berbagai kepakaran menyebutkan bahwa nyamuk Wolbachia memiliki tingkat risiko rendah bagi manusia dan lingkungannya.
“Kesimpulan mereka bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, dimana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan,” katanya.
Peneliti Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota peneliti World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, dr. Riris Andono Ahmad menjelaskan, penolakan yang terjadi merupakan hal lumrah.
Sebab, dia melanjutkan, saat pelepasan telur nyamuk Wolbachia di beberapa lokasi di Yogyakarta sebelumnya juga sempat menuai penolakan. Akan tetapi, setelah sosialisasi dan mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten dan kota akhirnya program tersebut dapat berjalan.
Jawab Kekhawatiran
Soal kekhawatiran sebagian masyarakat yang menyebut bahwa Wolbachia bisa menginfeksi ke tubuh manusia dengan tegas Riris mengatakan, Wolbachia tidak menginfeksi manusia dan tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain bahkan Wolbachia tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik.
Baca juga: Nyamuk Wolbachia Dinilai Berisiko pada Kesehatan dan Industri Pariwisata, Benarkah?
Riris mengatakan, pelepasaan jutaan telur nyamuk Wolbachia di populasi nyamuk Aedes aegypti, berpotensi untuk menekan penularan virus dengue atau Demam Berdarah Dengue. Sebab, melepaskan nyamuk ber-Wolbachia jantan dan betina dalam waktu sekitar 6 bulan agar sebagian besar nyamuk di populasi memiliki Wolbachia.
“Diharapkan nantinya dapat menurunkan penularan virus dengue,” katanya, dilansir dari laman UGM, Minggu (19/11/2023).
Riris menerangkan, ketika nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia maka telurnya tidak akan menetas, namun bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak ber-Wolbachia seluruh telurnya akan menetas.
Selanjutnya bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan ber-Wolbachia maka keturunannya semua akan menetas dan mengandung Wolbachia.
Peran Nyamuk Wolbachia untuk Menekan Kasus DBD
Ia menyampaikan, dari penelitian teknologi Wolbachia sudah dilakukan di Yogyakarta selama 12 tahun sejak 2011 lalu. Dimulai dari tahapan penelitian fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022). Di dunia, kata Riris, studi pertama Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) dilakukan di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT).
Baca juga: Metode Wolbachia Tuai Pro Kontra Atasi Kasus DBD, Hidup dalam Tubuh Nyamuk Aedes Aegypti
Dari hasil studi AWED menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77.1% dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86%. Bahkan dari hasil studi tersebut dan hasil di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi WMP, teknologi Wolbachia untuk pengendalian Dengue telah direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group sejak 2021.
Wolbachia Jadi Bagian Program Pengendalian Dengue
Terkait dukungan permintaan hasil kajian dan rekomendasi Kemenkes terkait pelepasan telur nyamuk Wolbachia ini, Riris mengatakan secara paralel Kementerian Kesehatan tengah menyusun strategi nasional penanggulangan dengue, dan teknologi Wolbachia merupakan bagian dari inovasi program pengendalian dengue. “Kementerian Kesehatan selanjutnya merencanakan implementasi secara bertahap,” ucapnya.
Seperti diketahui, Wolbachia adalah bakteri alami dari 6 dari 10 jenis serangga. Wolbachia dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti dapat menurunkan replikasi virus dengue sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk tersebut sebagai vektor dengue. Mekanisme kerja yang utama adalah melalui kompetisi makanan antara virus dan bakteri, dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, maka virus tidak dapat berkembang biak.
Melalui mekanisme tersebut, Wolbachia berpotensi menurunkan replikasi virus dengue di tubuh nyamuk, sebab nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia bukan organisme hasil modifikasi genetik, mengingat bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke dalam tubuh Aedes aegypti identik dengan Wolbachia yang ada di inang aslinya yaitu Drosophila melanogaster. “Perlu diketahui nyamuk Aedes Aegypti berwolbachia bukan hasil modifikasi genetik,”katanya.
Dari sisi aspek keamanan wolbachia, ujarnya, hasil analisis risiko yang diinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes, Kemenkes, pada tahun 2016 dengan membentuk 20 orang anggota tim independen dari berbagai kepakaran menyebutkan bahwa nyamuk Wolbachia memiliki tingkat risiko rendah bagi manusia dan lingkungannya.
“Kesimpulan mereka bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, dimana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan,” katanya.
(nnz)