42 Guru Meninggal, FSGI: Banyak Pemda Masih Wajibkan Guru Hadir ke Sekolah
Sabtu, 22 Agustus 2020 - 22:18 WIB
JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengkritisi masih adanya pemerintah daerah yang mewajibkan guru tetap hadir ke sekolah untuk absen sidik jari. Hal ini menimbulkan risiko guru terpapar COVID-19 menjadi lebih besar.
Wasekjen FSGI Fahriza Tanjung mengatakan pihaknya mencatat setidaknya ada 42 guru meninggal akibat COVID-19. namun, belum bisa diketahui secara pasti asal mula guru-guru tersebut terpapar pandemi COVID-19, hingga akhirnya meninggal.
Menurutnya, kewajiban datang ke sekolah sangat berbahaya. "Bisa kita lihat adalah beberapa model penyebaran guru ini. Pertama bisa karena keluarganya. Persoalannya adalah ketika di keluarga kena COVID-19, sementara ada kewajiban untuk hadir ke sekolah. Ini kan berpotensi menyebarkan kepada rekan-rekan guru lainnya," kata Fahriza, dalam telekonferensi, Sabtu (22/8). (Baca juga: Sekolah Diminta Sediakan 2 Opsi Pembelajaran Siswa di Zona Kuning dan Hijau )
Dia mencontohkan yang terjadi di Surabaya. Menurutnya, di Surabaya ada peraturan guru wajib ke sekolah untuk absen sidik jari. Sementara itu, informasi terakhir menyebutkan puluhan guru di Surabaya meninggal karena COVID-19.
Saat ini, ada guru yang tinggalnya berada di kota berbeda dengan sekolah tempatnya bekerja sehingga menambah risiko guru terpapar COVID-19. Karena itu, FSGI meminta agar guru tidak diwajibkan datang ke sekolah jika aktivitas belajar mengajar bisa dilakukan melalui dalam jaringan (daring).
"Ini menjadi peringatan bagi pemerintah di tengah upaya Kemendikbud melakukan relaksasi pembukaan sekolah. Kami berharap, pemerintah harus berhati-hati dan melakukan pengawasan yang ketat terhadap pemerintah daerah yang akan membuka sekolah," kata Fahriza. (Baca juga: Ditjen GTK: Guru Harus Menguatkan Kemauan Murid untuk Tekun Belajar )
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada awal Agustus 2020 lalu menyatakan bahwa guru tidak diwajibkan memenuhi mengajar 24 jam dalam satu pekan. Menurut Fahriza, kebijakan ini terlambat karena tahun ajaran baru sudah dimulai sejak 13 Juli 2020 lalu.
Keterlambatan kebijakan tersebut, menurut dia, menyebabkan sekolah pemerintah daerah dan sekolah sudah menyusun peraturan untuk kegiatan pembelajaran. "Sekolah sudah harus mempersiapkan sejak awal. Harus mempersiapkan jadwal, persiapan pembelajaran itu harus jauh-jauh hari dilakukan. Ini yang saya kira menjadi persoalan," kata dia.
Wasekjen FSGI Fahriza Tanjung mengatakan pihaknya mencatat setidaknya ada 42 guru meninggal akibat COVID-19. namun, belum bisa diketahui secara pasti asal mula guru-guru tersebut terpapar pandemi COVID-19, hingga akhirnya meninggal.
Menurutnya, kewajiban datang ke sekolah sangat berbahaya. "Bisa kita lihat adalah beberapa model penyebaran guru ini. Pertama bisa karena keluarganya. Persoalannya adalah ketika di keluarga kena COVID-19, sementara ada kewajiban untuk hadir ke sekolah. Ini kan berpotensi menyebarkan kepada rekan-rekan guru lainnya," kata Fahriza, dalam telekonferensi, Sabtu (22/8). (Baca juga: Sekolah Diminta Sediakan 2 Opsi Pembelajaran Siswa di Zona Kuning dan Hijau )
Dia mencontohkan yang terjadi di Surabaya. Menurutnya, di Surabaya ada peraturan guru wajib ke sekolah untuk absen sidik jari. Sementara itu, informasi terakhir menyebutkan puluhan guru di Surabaya meninggal karena COVID-19.
Saat ini, ada guru yang tinggalnya berada di kota berbeda dengan sekolah tempatnya bekerja sehingga menambah risiko guru terpapar COVID-19. Karena itu, FSGI meminta agar guru tidak diwajibkan datang ke sekolah jika aktivitas belajar mengajar bisa dilakukan melalui dalam jaringan (daring).
"Ini menjadi peringatan bagi pemerintah di tengah upaya Kemendikbud melakukan relaksasi pembukaan sekolah. Kami berharap, pemerintah harus berhati-hati dan melakukan pengawasan yang ketat terhadap pemerintah daerah yang akan membuka sekolah," kata Fahriza. (Baca juga: Ditjen GTK: Guru Harus Menguatkan Kemauan Murid untuk Tekun Belajar )
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada awal Agustus 2020 lalu menyatakan bahwa guru tidak diwajibkan memenuhi mengajar 24 jam dalam satu pekan. Menurut Fahriza, kebijakan ini terlambat karena tahun ajaran baru sudah dimulai sejak 13 Juli 2020 lalu.
Keterlambatan kebijakan tersebut, menurut dia, menyebabkan sekolah pemerintah daerah dan sekolah sudah menyusun peraturan untuk kegiatan pembelajaran. "Sekolah sudah harus mempersiapkan sejak awal. Harus mempersiapkan jadwal, persiapan pembelajaran itu harus jauh-jauh hari dilakukan. Ini yang saya kira menjadi persoalan," kata dia.
(mpw)
tulis komentar anda