Kalangan Akademisi Himbau ASEAN Ambil Langkah Penting Hadapi Ketegangan China dan Taiwan
Senin, 05 Agustus 2024 - 20:38 WIB
Sedangkan pada sisi ekonomi Ratih menekankan pentingnya pemerintah negara-negara ASEAN memikirkan apa yang akan mereka lakukan terhadap 700 000 warga ASEN yang saat ini bekerja atau belajar di Taiwan, Sebagai catatan, 300.000 di antara migran di Taiwan tersebut berasal dari Indonesia.
Itulah sebabnya, Ratih menganggap sangat penting bagi negara-negara ASEAN untuk mengambil langkah lebih lanjut demi memastikan stabilitas di kawasan Selat Taiwan. Menurut Ratih, dialog dialog track dua, yang bukan hanya melibatkan pejabat pemerintahan, tetapi juga akademisi dan komunitas epistemik, penting untuk digalangkan.
Dialog-dialog itu menurutnya dapat dilangsungkan secara terpisah, antara ASESN dan China, ASEAN dan Taiwan, dan sebagainya. Ratih juga menekankan pentingnya negara-negara ASEAN terus menyerukan larangan penggunaan kekuatan militer dalam menyelesaikan permasalahan di Selat Taiwan, serta perlunya pemerintah negara-negara ASEAN memikirkan langkah untuk melindungi warganya, bila terjadi konflik bersenjata.
Senada dengan Ratih, pembicara lain Broto Wardoyo menekankan bahwa pemerintah Indonesia harus uptodate dan memahami situasi terkini terkait ketegangan antara China dan Taiwan.
Menurutnya, pemahaman ini dibutuhkan agar pemerintah bisa cepat tanggap dalam mengamankan warga negara Indonesia di Taiwan. Menurut Broto, kemampuan pemerintah Indonesia untuk cepat tanggap ini penting diasah karena situasi di Selat Taiwan maupun Laut China Selatan makin sulit diprediksi.
“China sekarang sudah semakin asertif, atau bahkan agresif di Selat Taiwan dan Laut China Selatan,” tuturnya. Berbeda dengan era sebelum Xi Jinping, sekarang makin sulit memahami kapan China memberikan lampu hikau, lampu kuning, atau lampu merah,” tandasnya.
Dengan demikian, menurutnya, China memang telah menjadi ancaman yang makin nyata di kawasan. Tetapi ia juga menggaris bawahi bahwa sikap China sedikit banyak juga terkait dengan respons negara adi daya lain, yaitu Amerika Serikat. “Tak ada dansa yang dimainkan sendirian,” pungkasnya.
Pembicara ketiga, Muhamad Iksan menekankan pentingnya memberi perhatian bagi dampak ekonomi dalam isu terkait ketegangan China dan Taiwan. “Taiwan menguasai semi konduktor dan ekosistem di dalamnya,” tutur Iksan.
Ia juga berasumsi bahwa sangat mungkin salah satu motivasi China untuk menaklukan Taiwan adalah demi menguasai ekosistem semi konduktor itu.
Sementara itu, dalam keterangannya, Ketua FSI Johanes Herlijanto menekankan pentingnya ASEAN menyuarakan keprihatinan mereka. Ia memuji pernyataan Menteri Luar Negeri RI tentang perkembangan lintas Selat pada Agustus 2022, yang menyerukan semua pihak untuk menahan diri secara maksimal dan menahan diri dari tindakan provokatif.
Itulah sebabnya, Ratih menganggap sangat penting bagi negara-negara ASEAN untuk mengambil langkah lebih lanjut demi memastikan stabilitas di kawasan Selat Taiwan. Menurut Ratih, dialog dialog track dua, yang bukan hanya melibatkan pejabat pemerintahan, tetapi juga akademisi dan komunitas epistemik, penting untuk digalangkan.
Dialog-dialog itu menurutnya dapat dilangsungkan secara terpisah, antara ASESN dan China, ASEAN dan Taiwan, dan sebagainya. Ratih juga menekankan pentingnya negara-negara ASEAN terus menyerukan larangan penggunaan kekuatan militer dalam menyelesaikan permasalahan di Selat Taiwan, serta perlunya pemerintah negara-negara ASEAN memikirkan langkah untuk melindungi warganya, bila terjadi konflik bersenjata.
Senada dengan Ratih, pembicara lain Broto Wardoyo menekankan bahwa pemerintah Indonesia harus uptodate dan memahami situasi terkini terkait ketegangan antara China dan Taiwan.
Menurutnya, pemahaman ini dibutuhkan agar pemerintah bisa cepat tanggap dalam mengamankan warga negara Indonesia di Taiwan. Menurut Broto, kemampuan pemerintah Indonesia untuk cepat tanggap ini penting diasah karena situasi di Selat Taiwan maupun Laut China Selatan makin sulit diprediksi.
“China sekarang sudah semakin asertif, atau bahkan agresif di Selat Taiwan dan Laut China Selatan,” tuturnya. Berbeda dengan era sebelum Xi Jinping, sekarang makin sulit memahami kapan China memberikan lampu hikau, lampu kuning, atau lampu merah,” tandasnya.
Dengan demikian, menurutnya, China memang telah menjadi ancaman yang makin nyata di kawasan. Tetapi ia juga menggaris bawahi bahwa sikap China sedikit banyak juga terkait dengan respons negara adi daya lain, yaitu Amerika Serikat. “Tak ada dansa yang dimainkan sendirian,” pungkasnya.
Pembicara ketiga, Muhamad Iksan menekankan pentingnya memberi perhatian bagi dampak ekonomi dalam isu terkait ketegangan China dan Taiwan. “Taiwan menguasai semi konduktor dan ekosistem di dalamnya,” tutur Iksan.
Ia juga berasumsi bahwa sangat mungkin salah satu motivasi China untuk menaklukan Taiwan adalah demi menguasai ekosistem semi konduktor itu.
Sementara itu, dalam keterangannya, Ketua FSI Johanes Herlijanto menekankan pentingnya ASEAN menyuarakan keprihatinan mereka. Ia memuji pernyataan Menteri Luar Negeri RI tentang perkembangan lintas Selat pada Agustus 2022, yang menyerukan semua pihak untuk menahan diri secara maksimal dan menahan diri dari tindakan provokatif.
Lihat Juga :
tulis komentar anda