Uhamka-UNDP Gelar Webinar Cegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Senin, 30 November 2020 - 20:51 WIB
JAKARTA - Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Lemlitbang) Uhamka bersama United Nations Development Programme (UNDP) menggelar seminar nasional secara daring terkait maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak . Webinar diikuti oleh 500 peserta yang mayoritas kalangan remaja dan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi.
Berdasarkan data laporan kasus kekerasan perempuan dan anak dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) dari 1 Januari-31 Juli 2020, terdapat 4.615 kasus kekerasan yang tebagi atas 3.296 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.319 kasus kekerasan tehadap anak. (Baca juga: Plt Rektor UNY: Sarjana Bukan Cari Kerja tapi Pencipta Dunia Kerja )
Rektor Uhamka Gunawan Suryoputro mengatakan, Uhamka sudah berkomitmen dari awal sebagai perguruan tinggi tanpa kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Menurutnya, perempuan dan anak merupakan penentu masa depan dan aset penting dalam pembangunan bangsa.
“Perempuan sering dijadikan sebagai subjek dalam konten komersial maupun pornografi, sudah sepantasnya kita melindungi dari kekerasan. Ini juga menjadi perhatian tersendiri bagi Uhamka , karena sebagian besar mahasiswa Uhamka adalah perempuan, terkhusus di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP),” kata Gunawan melalui keterangan pers, Senin (30/11/2020).
Senada juga diungkapkan Ketua Lemlitbang Uhamka, Suswandari. Menurutnya, berdasarkan data SIMPONI PPA, korban kekerasan terbanyak adalah perempuan dan anak-anak. Namun, hal tersebut bukan berarti kaum laki-laki tidak pernah menjadi korban kekerasan. (Baca juga: UGM Kembali Juara Umum Ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasiona 2020 )
“Dalam hal ini, saya tidak bermasuk untuk menghakimi laki-laki. Bahwasannya dalam konteks berinteraksi, kita tidak boleh melanggar koridor tetapi kita bisa menjadi manusia yang selalu diwarnai dengan kebajikan apa yang ada di dalam diri kita selalu pada konteks peace (perdamaian) dan harmonis,” ujarnya.
Menurutnya, dengan adanya perdamaian atara perempuan dan laki-laki, maka situasi kondisi bersosial akan terasa nyaman dan aman. Sehingga, tidak akan ada lagi kesan sedih dan turunnya semangat belajar bagi remaja, terutama mahasiswa atau generasi milenial. “Makanya, kami mengkampanyekan untuk mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia bersama UNDP dalam rangka 16 hari tanpa kekerasan dari 25 November hingga 10 Desember 2020," jelasnya.
Dalam kampanye tersebut, Suswandari juga mengatakan bahwa pacaran bukan pilihan utama. Namun, apapun kondisinya antara laki-laki dan perempuan pasti memiliki rasa saling menyukai. “Maka dengan demikian, kita harus bisa berinteraksi antara laki-laki dan perempuan harus cerdas dan secara sehat tetap kreatif dan tetap pada koridor aturan sosial dan ketentaun agama,” ujarnya. (Baca juga: 27 Kampus akan Adu Tanding di Kontes Mobil Hemat Energi )
Sementara, Psikolog Klinis Nurul Adiningtyas dalam paparannya mengatakan, rata-rata kekerasan pada remaja terjadi dalam situasi pacaran, di antaranya dengan kekerasan fisik. Misalnya menendang ataupun memukul yang berawal dari permasalahan kecil, kekerasan agresi psikologis, kekerasan seksual, stalking ataupun menguntit, dan sebagainya.
Kekeran yang terus berkelanjutan, kata dia, dapat menyebakan dampak yang merugikan terhadap korban menjadi depresi dan berprilaku tidak sehat. Misalnya seperti menggunakan tembakau, narkoba, dan alkohol. Di lain hal, dampak lain yang terjadi adanya perilaku antisosial, seperti berbohong, mencuri, menindas, atau memukul, bahkan bisa terjadi prilaku ingin bunuh diri.
“Kekerasan dalam pacaran dapat berdampak berkepanjangan di masa depan, seperti halnya kekerasan di rumah tangga. Harusnya, dalam berpacaran bisa saling menghormati privasi pasangan, memberikan perhatian yang wajar dan yang paling penting yaitu memberikan kesempatan kepada pasangan untuk mengembangkan diri kepada hal yang positif, serta berani mengatakan tidak untuk melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan,” ujar Nurul.
Lihat Juga: Dosen UNJ Gelar Pelatihan Website Weebly untuk Tingkatkan ICT Literacy Mahasiswa Vietnam
Berdasarkan data laporan kasus kekerasan perempuan dan anak dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) dari 1 Januari-31 Juli 2020, terdapat 4.615 kasus kekerasan yang tebagi atas 3.296 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.319 kasus kekerasan tehadap anak. (Baca juga: Plt Rektor UNY: Sarjana Bukan Cari Kerja tapi Pencipta Dunia Kerja )
Rektor Uhamka Gunawan Suryoputro mengatakan, Uhamka sudah berkomitmen dari awal sebagai perguruan tinggi tanpa kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Menurutnya, perempuan dan anak merupakan penentu masa depan dan aset penting dalam pembangunan bangsa.
“Perempuan sering dijadikan sebagai subjek dalam konten komersial maupun pornografi, sudah sepantasnya kita melindungi dari kekerasan. Ini juga menjadi perhatian tersendiri bagi Uhamka , karena sebagian besar mahasiswa Uhamka adalah perempuan, terkhusus di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP),” kata Gunawan melalui keterangan pers, Senin (30/11/2020).
Senada juga diungkapkan Ketua Lemlitbang Uhamka, Suswandari. Menurutnya, berdasarkan data SIMPONI PPA, korban kekerasan terbanyak adalah perempuan dan anak-anak. Namun, hal tersebut bukan berarti kaum laki-laki tidak pernah menjadi korban kekerasan. (Baca juga: UGM Kembali Juara Umum Ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasiona 2020 )
“Dalam hal ini, saya tidak bermasuk untuk menghakimi laki-laki. Bahwasannya dalam konteks berinteraksi, kita tidak boleh melanggar koridor tetapi kita bisa menjadi manusia yang selalu diwarnai dengan kebajikan apa yang ada di dalam diri kita selalu pada konteks peace (perdamaian) dan harmonis,” ujarnya.
Menurutnya, dengan adanya perdamaian atara perempuan dan laki-laki, maka situasi kondisi bersosial akan terasa nyaman dan aman. Sehingga, tidak akan ada lagi kesan sedih dan turunnya semangat belajar bagi remaja, terutama mahasiswa atau generasi milenial. “Makanya, kami mengkampanyekan untuk mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia bersama UNDP dalam rangka 16 hari tanpa kekerasan dari 25 November hingga 10 Desember 2020," jelasnya.
Dalam kampanye tersebut, Suswandari juga mengatakan bahwa pacaran bukan pilihan utama. Namun, apapun kondisinya antara laki-laki dan perempuan pasti memiliki rasa saling menyukai. “Maka dengan demikian, kita harus bisa berinteraksi antara laki-laki dan perempuan harus cerdas dan secara sehat tetap kreatif dan tetap pada koridor aturan sosial dan ketentaun agama,” ujarnya. (Baca juga: 27 Kampus akan Adu Tanding di Kontes Mobil Hemat Energi )
Sementara, Psikolog Klinis Nurul Adiningtyas dalam paparannya mengatakan, rata-rata kekerasan pada remaja terjadi dalam situasi pacaran, di antaranya dengan kekerasan fisik. Misalnya menendang ataupun memukul yang berawal dari permasalahan kecil, kekerasan agresi psikologis, kekerasan seksual, stalking ataupun menguntit, dan sebagainya.
Kekeran yang terus berkelanjutan, kata dia, dapat menyebakan dampak yang merugikan terhadap korban menjadi depresi dan berprilaku tidak sehat. Misalnya seperti menggunakan tembakau, narkoba, dan alkohol. Di lain hal, dampak lain yang terjadi adanya perilaku antisosial, seperti berbohong, mencuri, menindas, atau memukul, bahkan bisa terjadi prilaku ingin bunuh diri.
“Kekerasan dalam pacaran dapat berdampak berkepanjangan di masa depan, seperti halnya kekerasan di rumah tangga. Harusnya, dalam berpacaran bisa saling menghormati privasi pasangan, memberikan perhatian yang wajar dan yang paling penting yaitu memberikan kesempatan kepada pasangan untuk mengembangkan diri kepada hal yang positif, serta berani mengatakan tidak untuk melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan,” ujar Nurul.
Lihat Juga: Dosen UNJ Gelar Pelatihan Website Weebly untuk Tingkatkan ICT Literacy Mahasiswa Vietnam
(mpw)
tulis komentar anda