Kisah Pahlawan: Syarif Hidayat, Mengajar Madrasah Berbekal Dua Liter Beras
Kamis, 04 November 2021 - 05:20 WIB
Sopyan yang juga aktif di Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Kota Sukabumi ini menjelaskan, bagaimana susahnya menjadi petani di Kampung Cilulumpang. Praktis, hanya musim penghujan sawah bisa ditanami padi. Selebihnya, sawah akan dibiarkan. Ketiadaan irigasi atau waduk yang mampu menampung air hujan menjadi penyebab utama. Efeknya, dalam setahun warga cuma dua kali panen saja. “Kalau sudah musim kering, sawah akan dibiarkan saja. Kira-kira 4-5 bulan per tahun sawah jadi tidak produktif,” tambahnya.
Beras menjadi komoditi utama di kampung ini, tapi hasilnya pun tidak terlalu banyak. Syarif Hidayat pun harus memutar otak, bagaimana supaya anak-anak tetap mendapatkan pendidikan agama tanpa memberatkan warga. “Kalau di SD, pendidikan agama hanya satu jam seminggu, kalau nggak ada madrasah repot. Mereka 1-2 jam sehari bisa diajar agama. Biar agama tersebar, akhlaknya bagus, ditambah kitab-kitab,” ujarnya.
Untuk memudahkan pendidikan di madrasah, ia berinisiatif untuk menggunakan beras sebagai metode pembayaran. “Untuk mempermudah warga. Dulu 1 liter per bulan, sekarang naik 2 liter. Tapi itu pun tidak tiap bulan,” ungkapnya.
Syarif Hidayat pernah memakai uang untuk alat tukar untuk biaya pendidikan madrasah, namun macet. Jarang orang tua murid mampu membayar biaya madrasah. Hal ini tentu membuatnya berpikir lebih keras, apalagi terkait dengan penghasilan – meskipun untuk hal ni para guru tidak pernah mengeluh. Jika beras sudah terkumpul akan dibagi rata kepada enam guru yang mengajar di madrasah.
“Itu kalau ada, kebanyakan tidak ada. Tiga sampai empat bulan baru ada,” tambahnya. Syarif Hidayat mengisahkan bahwa perolehan beras ini tidak lancar tiap bulan. Apalagi jika musim paceklik melanda. Yang tidak membayar pun banyak. “Yang penting anak bisa sekolah. Bisa belajar agama,” tambahnya.
Sementara itu untuk mencukupi kebutuhan bulanan madrasah seperti kaur, listrik dan lain sebagainya, ia biasa menggunakan dana pribadi. Tak jarang juga urunan sesama guru, bahkan menurut Ustadz Ismail, tak jarang ia mengajak murid untuk patungan membeli kapur, seribu rupiah tiap murid. Selebihnya, sistem ini mampu membuat madrasah menjadi dinamis, tidak terpaku pada uang-uang bulanan.
Hal berbeda ketika musim panen tiba. Para orang tua murid biasanya akan datang ke madrasah dengan membawa beras, bersamaan dengan digelarnya samenan (kenaikan kelas) yang dilakukan setahun sekali. Di acara semanen ini pula akan digelar ngaleseng (pidato) adri murid dan jamuan bersama hasil dari beras yang dikumpulkan. Tapi sebagaimana hukum pasar, semakin banyak sebuah barang semakin turun harga barang tersebut. Semakin banyak beras yang terkumpul, maka harganya pun kian turun. Itu terjadi tiap tahun.
“Kalau dihitung misalnya, setahun dapat 2.400 liter beras, kalau diuangkan biasanya di sekitar 10 jutaan/tahun. Lalu, ya dibagi rata. Kalau dihitung kurang dari 2 juta/tahun untuk seorang guru. Perbulan tiap guru dapat bisyaroh 200 ribu-an,” papar Ustadz Ismail, lulusan angkatan pertama madrasah Miftahul Aulad.
Ia menambahkan, seperti yang sering diajarkan Kiai Syarif, madrasah bukanlah tempat mencari keuntungan pribadi tapi mengabdi. “Orang pertama yang mengajarkan saya agama ya Pak Syarif. Ngajarin kitab. Ia tokoh ulama yang mengajarkan agama di Kampung Cilulumpang. Dan kampung ini dianggap agamanya bagus dibanding dengan lain karena beliau,” tambahnya.
Sebagaimana lazimnya manusia pada umumnya, terkadang Syarif Hidayat juga terkendala urusan keuangan. Ia memiliki tiga anak: Abdullah Alawi (32 tahun), Sopyan (28), dan Geugeu Awliyah (22). Ketiga anaknya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan ia sendiri hanya lulus SD dan bekerja sebagai petani biasa. “Paling tidak ya harus mengeluarkan biaya 3 juta per bulan,” katanya.
Beras menjadi komoditi utama di kampung ini, tapi hasilnya pun tidak terlalu banyak. Syarif Hidayat pun harus memutar otak, bagaimana supaya anak-anak tetap mendapatkan pendidikan agama tanpa memberatkan warga. “Kalau di SD, pendidikan agama hanya satu jam seminggu, kalau nggak ada madrasah repot. Mereka 1-2 jam sehari bisa diajar agama. Biar agama tersebar, akhlaknya bagus, ditambah kitab-kitab,” ujarnya.
Untuk memudahkan pendidikan di madrasah, ia berinisiatif untuk menggunakan beras sebagai metode pembayaran. “Untuk mempermudah warga. Dulu 1 liter per bulan, sekarang naik 2 liter. Tapi itu pun tidak tiap bulan,” ungkapnya.
Syarif Hidayat pernah memakai uang untuk alat tukar untuk biaya pendidikan madrasah, namun macet. Jarang orang tua murid mampu membayar biaya madrasah. Hal ini tentu membuatnya berpikir lebih keras, apalagi terkait dengan penghasilan – meskipun untuk hal ni para guru tidak pernah mengeluh. Jika beras sudah terkumpul akan dibagi rata kepada enam guru yang mengajar di madrasah.
“Itu kalau ada, kebanyakan tidak ada. Tiga sampai empat bulan baru ada,” tambahnya. Syarif Hidayat mengisahkan bahwa perolehan beras ini tidak lancar tiap bulan. Apalagi jika musim paceklik melanda. Yang tidak membayar pun banyak. “Yang penting anak bisa sekolah. Bisa belajar agama,” tambahnya.
Sementara itu untuk mencukupi kebutuhan bulanan madrasah seperti kaur, listrik dan lain sebagainya, ia biasa menggunakan dana pribadi. Tak jarang juga urunan sesama guru, bahkan menurut Ustadz Ismail, tak jarang ia mengajak murid untuk patungan membeli kapur, seribu rupiah tiap murid. Selebihnya, sistem ini mampu membuat madrasah menjadi dinamis, tidak terpaku pada uang-uang bulanan.
Hal berbeda ketika musim panen tiba. Para orang tua murid biasanya akan datang ke madrasah dengan membawa beras, bersamaan dengan digelarnya samenan (kenaikan kelas) yang dilakukan setahun sekali. Di acara semanen ini pula akan digelar ngaleseng (pidato) adri murid dan jamuan bersama hasil dari beras yang dikumpulkan. Tapi sebagaimana hukum pasar, semakin banyak sebuah barang semakin turun harga barang tersebut. Semakin banyak beras yang terkumpul, maka harganya pun kian turun. Itu terjadi tiap tahun.
“Kalau dihitung misalnya, setahun dapat 2.400 liter beras, kalau diuangkan biasanya di sekitar 10 jutaan/tahun. Lalu, ya dibagi rata. Kalau dihitung kurang dari 2 juta/tahun untuk seorang guru. Perbulan tiap guru dapat bisyaroh 200 ribu-an,” papar Ustadz Ismail, lulusan angkatan pertama madrasah Miftahul Aulad.
Ia menambahkan, seperti yang sering diajarkan Kiai Syarif, madrasah bukanlah tempat mencari keuntungan pribadi tapi mengabdi. “Orang pertama yang mengajarkan saya agama ya Pak Syarif. Ngajarin kitab. Ia tokoh ulama yang mengajarkan agama di Kampung Cilulumpang. Dan kampung ini dianggap agamanya bagus dibanding dengan lain karena beliau,” tambahnya.
Sebagaimana lazimnya manusia pada umumnya, terkadang Syarif Hidayat juga terkendala urusan keuangan. Ia memiliki tiga anak: Abdullah Alawi (32 tahun), Sopyan (28), dan Geugeu Awliyah (22). Ketiga anaknya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan ia sendiri hanya lulus SD dan bekerja sebagai petani biasa. “Paling tidak ya harus mengeluarkan biaya 3 juta per bulan,” katanya.
tulis komentar anda