HI UNPAR Gelar Konferensi Internasional, Bahas Sejumlah Tantangan Global
Sabtu, 13 Agustus 2022 - 13:21 WIB
Situasi dunia internasional pada tahun-tahun belakangan ini menunjukkan berbagai tantangan yang masih harus dihadapi oleh umat manusia. Peperangan antarnegara, pandemi Covid-19, merebaknya politik identitas, hingga hambatan dalam kerja sama internasional merupakan beberapa contoh dari sekian banyak rintangan yang harus dihadapi oleh negara-negara di dalam ranah hubungan internasional.
Demi memberikan perspektif-perspektif baru dalam menghadapi berbagai ketidakpastian tersebut, Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan Bandung menyelenggarakan “The 3rd Biennial International Conference on International Relations (ICON-IR) 2022”. Acara ini berlangsung secara hybrid mulai hari Kamis, 11 Agustus 2022 hingga Jumat, 12 Agustus 2022 bertempat di Lecture Theater Lantai 9 Gedung PPAG 2 Kampus Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit no.94 Kota Bandung. Acara ini juga berjalan seiring dengan rangkaian Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan ke-61.
Acara “The 3rd Biennial International Conference on International Relations (ICON-IR) 2022” ini menampilkan tiga pembicara utama yaitu Profesor Vedi R. Hadiz dari University of Melbourne, Australia, Profesor Jorn Dosch dari University of Rostock, Jerman, serta Profesor Sukawarsini Djelantik dari Universitas Katolik Parahyangan. Selain menampilkan ketiga pembicara utama, kegiatan konferensi internasional ini juga menjadi ajang bagi 76 pembicara yang berasal dari 10 negara untuk mempresentasikan 70 makalah dengan beragam topik yang dibagi ke dalam 13 panel.
Dalam penutupan, berdasarkan jalannya konferensi, Parahyangan Center for International Studies (PACIS) menyimpulkan enam poin utama:
1. Dinamika internasional memberikan peluang dan tantangan bagi komunitas Hubungan Internasional untuk berpikir “beyond the box,” sehingga dapat menciptakan terobosan pemikiran yang dapat diimplementasikan sebagai solusi terhadap berbagai permasalahan global
2. Variasi dan perubahan yang cepat dalam fenomena hubungan internasional menuntut komunitas Hubungan Internasional untuk semakin inklusif dan berkolaborasi dengan disiplin lain dalam konteks keilmuan yang bersifat multidisipliner, tanpa melupakan akar ilmu hubungan internasional yang merupakan bagian dari ilmu politik dan mempelajari fenomena lintas batas.
3. Dinamika terkini mengingatkan kita bahwa politik internasional bukan hanya tentang “great power” tetapi kita juga harus memperhatikan negara-negara dengan kekuatan kecil dan menengah. Serta aktor utama dalam hubungan internasional bukan hanya negara, tetapi juga aktor non-negara.
4. Belajar dari pandemi Covid-19 dan Perang di Ukraina. Negara kecil dan menengah harus memikirkan mekanisme untuk bertahan hidup dan self-help. Mereka tidak dapat sepenuhnya bergantung pada komitmen negara besar, karena terbukti negara besar memiliki agenda tersendiri untuk bertahan dan menjaga posisinya, yang mengingatkan kita bahwa kita tetap hidup dalam sistem internasional yang Anarkhi.
5. Negara dengan kekuatan menengah seperti Indonesia tidak dapat hanya fokus kepada agenda jangka pendek dan kebutuhan domestik dalam hubungan luar negerinya seperti pertumbuhan ekonomi, aliran investasi, dan infrastruktur. Kita harus berinvestasi dalam kancah yang lebih strategis seperti Kerja sama keamanan, hubungan politik, dan manajemen krisis yang dapat menunjukkan bahwa kita merupakan mitra yang dapat diandalkan oleh entitas lainnya. Hal tersebut akan membuat Indonesia semakin relevan dalam hubungan internasional di masa depan, walaupun memiliki kapabilitas hard power yang terbatas.
6. Kita harus bersiap-siap untuk masa depan yang semakin menantang, karena tensi antar negara besar meningkat di beberapa titik secara global. Tensi tersebut akan dapat membawa disrupsi baik secara ekonomi, sosial, dan politik secara global dan dapat meninggalkan negara dengan kekuatan menengah dan kecil di belakang.
Demi memberikan perspektif-perspektif baru dalam menghadapi berbagai ketidakpastian tersebut, Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan Bandung menyelenggarakan “The 3rd Biennial International Conference on International Relations (ICON-IR) 2022”. Acara ini berlangsung secara hybrid mulai hari Kamis, 11 Agustus 2022 hingga Jumat, 12 Agustus 2022 bertempat di Lecture Theater Lantai 9 Gedung PPAG 2 Kampus Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit no.94 Kota Bandung. Acara ini juga berjalan seiring dengan rangkaian Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan ke-61.
Acara “The 3rd Biennial International Conference on International Relations (ICON-IR) 2022” ini menampilkan tiga pembicara utama yaitu Profesor Vedi R. Hadiz dari University of Melbourne, Australia, Profesor Jorn Dosch dari University of Rostock, Jerman, serta Profesor Sukawarsini Djelantik dari Universitas Katolik Parahyangan. Selain menampilkan ketiga pembicara utama, kegiatan konferensi internasional ini juga menjadi ajang bagi 76 pembicara yang berasal dari 10 negara untuk mempresentasikan 70 makalah dengan beragam topik yang dibagi ke dalam 13 panel.
Dalam penutupan, berdasarkan jalannya konferensi, Parahyangan Center for International Studies (PACIS) menyimpulkan enam poin utama:
1. Dinamika internasional memberikan peluang dan tantangan bagi komunitas Hubungan Internasional untuk berpikir “beyond the box,” sehingga dapat menciptakan terobosan pemikiran yang dapat diimplementasikan sebagai solusi terhadap berbagai permasalahan global
2. Variasi dan perubahan yang cepat dalam fenomena hubungan internasional menuntut komunitas Hubungan Internasional untuk semakin inklusif dan berkolaborasi dengan disiplin lain dalam konteks keilmuan yang bersifat multidisipliner, tanpa melupakan akar ilmu hubungan internasional yang merupakan bagian dari ilmu politik dan mempelajari fenomena lintas batas.
3. Dinamika terkini mengingatkan kita bahwa politik internasional bukan hanya tentang “great power” tetapi kita juga harus memperhatikan negara-negara dengan kekuatan kecil dan menengah. Serta aktor utama dalam hubungan internasional bukan hanya negara, tetapi juga aktor non-negara.
4. Belajar dari pandemi Covid-19 dan Perang di Ukraina. Negara kecil dan menengah harus memikirkan mekanisme untuk bertahan hidup dan self-help. Mereka tidak dapat sepenuhnya bergantung pada komitmen negara besar, karena terbukti negara besar memiliki agenda tersendiri untuk bertahan dan menjaga posisinya, yang mengingatkan kita bahwa kita tetap hidup dalam sistem internasional yang Anarkhi.
5. Negara dengan kekuatan menengah seperti Indonesia tidak dapat hanya fokus kepada agenda jangka pendek dan kebutuhan domestik dalam hubungan luar negerinya seperti pertumbuhan ekonomi, aliran investasi, dan infrastruktur. Kita harus berinvestasi dalam kancah yang lebih strategis seperti Kerja sama keamanan, hubungan politik, dan manajemen krisis yang dapat menunjukkan bahwa kita merupakan mitra yang dapat diandalkan oleh entitas lainnya. Hal tersebut akan membuat Indonesia semakin relevan dalam hubungan internasional di masa depan, walaupun memiliki kapabilitas hard power yang terbatas.
6. Kita harus bersiap-siap untuk masa depan yang semakin menantang, karena tensi antar negara besar meningkat di beberapa titik secara global. Tensi tersebut akan dapat membawa disrupsi baik secara ekonomi, sosial, dan politik secara global dan dapat meninggalkan negara dengan kekuatan menengah dan kecil di belakang.
(atk)
Lihat Juga :
tulis komentar anda