Psikolog UI Kaji Penyebab Diamnya Mahasiswa yang Jadi Saksi Kecurangan Akademik
Selasa, 17 Januari 2023 - 10:57 WIB
Baca juga: 5.133 Relawan akan Dampingi Calon Mahasiswa Daftar KIP Kuliah
“Motif silence defensif yang juga ditemukan sebagai motif yang dominan sangat terkait dengan hubungan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Motif silence defensif mahasiswa yang menyaksikan kecurangan akademik ditunjukkan dengan rasa takut disingkirkan dari pergaulan dan dimusuhi oleh mahasiswa lain akibat melaporkan kecurangan yang terjadi,” kata Anna yang juga merupakan dosen di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Penelitian yang dilakukan Anna memiliki kontribusi praktis bagi pihak-pihak yang terkait dengan dunia pendidikan tinggi. Pertama, peraturan yang terkait dengan kecurangan akademik perlu mencantumkan tanggung jawab peran mahasiswa saksi kecurangan secara eksplisit.
Kedua, tersedianya sarana pelaporan yang memadai, aman, dan menjaga kerahasiaan identitas pelapor. Ketiga, standardisasi peraturan yang terkait dengan kecurangan akademik di kelas-kelas perkuliahan dan juga antarfakultas. Standardisasi ini agar academic cheating awareness, seriousness of academic cheating, dan peer reporting judgment semakin menguat di benak mahasiswa serta memperbesar peluang terjadinya pelaporan kecurangan.
“Terakhir, mengingat pentingnya peran persepsi keseriusan kecurangan akademik untuk melemahkan silence mahasiswa yang menyaksikan terjadinya kecurangan, maka pihak dosen pengajar dan institusi pendidikan disarankan untuk melakukan sosialisasi tentang beragam dampak serius kecurangan akademik bagi kehidupan individu, institusi, bahkan negara. Kecurangan akademik merupakan persoalan yang serius yang idealnya ditangani juga dengan serius oleh seluruh sivitas akademika,” ujar Anna.
“Motif silence defensif yang juga ditemukan sebagai motif yang dominan sangat terkait dengan hubungan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Motif silence defensif mahasiswa yang menyaksikan kecurangan akademik ditunjukkan dengan rasa takut disingkirkan dari pergaulan dan dimusuhi oleh mahasiswa lain akibat melaporkan kecurangan yang terjadi,” kata Anna yang juga merupakan dosen di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Penelitian yang dilakukan Anna memiliki kontribusi praktis bagi pihak-pihak yang terkait dengan dunia pendidikan tinggi. Pertama, peraturan yang terkait dengan kecurangan akademik perlu mencantumkan tanggung jawab peran mahasiswa saksi kecurangan secara eksplisit.
Kedua, tersedianya sarana pelaporan yang memadai, aman, dan menjaga kerahasiaan identitas pelapor. Ketiga, standardisasi peraturan yang terkait dengan kecurangan akademik di kelas-kelas perkuliahan dan juga antarfakultas. Standardisasi ini agar academic cheating awareness, seriousness of academic cheating, dan peer reporting judgment semakin menguat di benak mahasiswa serta memperbesar peluang terjadinya pelaporan kecurangan.
“Terakhir, mengingat pentingnya peran persepsi keseriusan kecurangan akademik untuk melemahkan silence mahasiswa yang menyaksikan terjadinya kecurangan, maka pihak dosen pengajar dan institusi pendidikan disarankan untuk melakukan sosialisasi tentang beragam dampak serius kecurangan akademik bagi kehidupan individu, institusi, bahkan negara. Kecurangan akademik merupakan persoalan yang serius yang idealnya ditangani juga dengan serius oleh seluruh sivitas akademika,” ujar Anna.
(nnz)
tulis komentar anda