Cerita Alumnus UNY Berpuasa 16 Jam di Tengah Berkuliah dan Meneliti di Inggris
loading...
A
A
A
Sebelum puasa, dia mengaku, sudah mempersiapkan bahan-bahan makanan seperti beras, bumbu, daging halal, makanan beku, dan buah-buahan di supermarket terdekat.
“Beli daging halal lumayan jauh, harus ke supermarket yang besar dan tidak di pusat kota, jadi saya akalin dengan beli frozen food sosis halal, kebab halal, dan samosa halal yang tinggal dimicrowave, goreng, atau oven untuk sahur dan buka," ungkapnya.
Baca juga: 1.692 Mahasiswa Lolos IISMA, Kuliah 1 Semester di Kampus Top Dunia
Sementara untuk salat tarawih, dia sebenarnya ingin tarawih di kampus atau masjid namun sayangnya lokasi keduanya harus dijangkau dengan bus. Waktu salat Isya di sana pukul 8.30-10 malam sehingga dia tidak berani pulang selarut itu. Alhasil Athi pun memilih salat tarawih di kosnya.
Athi mengaku memiliki banyak teman dari berbagai negara. Namun sebagai minoritas, dia mendapatkan banyak dukungan dari teman-teman internasionalnya. "Ada yang mengucapkan selamat puasa pada jam sahur 3 dini hari saat puasa pertama," tuturnya.
Bahkan, ungkapnya, teman satu kosnya berbagi jus, makanan, dan buah untuk Athi berbuka. Lalu teman kosnya dari China pun bahkan sampai tahu cara menghitung jam buka puasa dan menyemangatinya.
Sementara teman dari Inggris yang merupakan tim risetnya juga sangat perhatian dengan kerap menanyakan kabar, memberikan dia duduk saat eksperimen di lab, hingga dipersilahkan pulang lebih awal saat di lab.
Secara keseluruhan, Athi bersyukur bisa mendapat pengalaman baru berpuasa di Eropa dan merasa bangga bisa menjadi representasi saintis muslimah yang tetap menjalankan kewajibannya untuk berpuasa dan belajar.
“Beli daging halal lumayan jauh, harus ke supermarket yang besar dan tidak di pusat kota, jadi saya akalin dengan beli frozen food sosis halal, kebab halal, dan samosa halal yang tinggal dimicrowave, goreng, atau oven untuk sahur dan buka," ungkapnya.
Baca juga: 1.692 Mahasiswa Lolos IISMA, Kuliah 1 Semester di Kampus Top Dunia
Sementara untuk salat tarawih, dia sebenarnya ingin tarawih di kampus atau masjid namun sayangnya lokasi keduanya harus dijangkau dengan bus. Waktu salat Isya di sana pukul 8.30-10 malam sehingga dia tidak berani pulang selarut itu. Alhasil Athi pun memilih salat tarawih di kosnya.
Athi mengaku memiliki banyak teman dari berbagai negara. Namun sebagai minoritas, dia mendapatkan banyak dukungan dari teman-teman internasionalnya. "Ada yang mengucapkan selamat puasa pada jam sahur 3 dini hari saat puasa pertama," tuturnya.
Bahkan, ungkapnya, teman satu kosnya berbagi jus, makanan, dan buah untuk Athi berbuka. Lalu teman kosnya dari China pun bahkan sampai tahu cara menghitung jam buka puasa dan menyemangatinya.
Sementara teman dari Inggris yang merupakan tim risetnya juga sangat perhatian dengan kerap menanyakan kabar, memberikan dia duduk saat eksperimen di lab, hingga dipersilahkan pulang lebih awal saat di lab.
Secara keseluruhan, Athi bersyukur bisa mendapat pengalaman baru berpuasa di Eropa dan merasa bangga bisa menjadi representasi saintis muslimah yang tetap menjalankan kewajibannya untuk berpuasa dan belajar.
(nnz)