Jatah Siluman Siswa Baru, Ribuan Kursi Kosong Disiapkan Sekolah Negeri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terbongkarnya praktik siswa titipan di SMAN 3 Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, membuka rumor dunia percaloan di sekolah-sekolah negeri favorit selama ini.
Tidak hanya lurah, sederet pejabat lain diduga terlibat. Semakin tinggi jabatannya, maka semakin besar kuotanya. Termasuk anggota dewan, ormas, LSM, hingga wartawan punya kuota titipan. Di luar itu, pihak sekolah juga diduga banyak terlibat dalam permainan kotor tersebut. Tidak sedikit, kuota bangku yang tersisa dijadikan bahan bancakan untuk diperjualbelikan.
Setiap berlangsung penerimaan peserta didik baru (PPDB), hampir ribuan bangku kosong yang disiapkan untuk praktik busuk seperti itu. Alhasil, masyarakat yang dirugikan dan para cukong diuntungkan. Praktik siswa titipan ini terbongkar saat Lurah Benda Baru Saidun mengamuk di SMAN 3 Kota Tangsel, pada 10 Juli 2020. Dia tak terima karena lima siswa titipannya tidak diterima masuk. Dengan gaya preman, dia menendang stoples di atas meja.
Aksi arogan Saidun kontan membuat pihak sekolah shock. Sebab bukan kali ini saja pihak sekolah mendapat ancaman, lantaran titip-menitip siswa dari para oknum pejabat. Dengan keberanian yang tersisa, pihak sekolah akhirnya melapor ke Polsek Pamulang, pada 14 Juli 2020. Dari sinilah, rumor siswa titipan itu tersingkap. (Baca: PKS Terkejut Gaji Pengelola Kartu Prakerja Rp47-77 Juta)
Praktik yang sebelumnya dilakukan senyap dan tanpa bukti, kini menjadi perbincangan umum masyarakat. Siswa titipan ini menarik karena dampak yang disebabkan merugikan masyarakat dari semua lapisan kelas sosial. Tidak hanya siswa miskin dan kaya, tetapi juga siswa berprestasi, para generasi penerus bangsa.
Plt Kepala SMAN 3 Tangsel Aan Sri Analiah mengatakan, Lurah Benda Baru Saidun meminta lima jatah kursi siswa baru. Namun, permintaan itu terlambat. PPDB sudah selesai dan masuk daftar ulang. “Biasa, masa PPDB. Pak Lurah banyak dapat tekanan agar bisa mengusahakan masyarakatnya masuk ke SMAN 3. Kan PPDB sudah berakhir dan sudah daftar ulang," kata Aan.
Alhasil, permintaan Lurah Saidun ditolak. Tidak pernah mendapat penolakan sebelumnya, dia marah dan menendang stoples kaca di meja. “Kemudian kita sampaikan baik-baik, karena ingin membela rakyatnya dan titipannya diakomodasi, kita enggak mungkin menambah kelas. Paling menambah kuota. Itu pun harus mengajukan ke pemerintah," sambung Aan. (Baca juga: Gokir, Dua Juta Kartu Prakerja Hangus Gara-gara Tekan Tombol Enter)
Terkait laporan oleh pihak sekolah atas tindakan tidak menyenangkan dan perusakan ke Polsek Pamulang, Aan masih mempertimbangkan apakah akan mencabutnya atau berlanjut. "Sebenarnya masalahnya sudah selesai. Pak Lurah sudah minta maaf didampingi camat, tokoh masyarakat, dan dinas. Kita intinya dari kejadian kemarin, meminta beliau datang ke sekolah untuk meminta maaf," ungkapnya.
Kapolsek Pamulang Kompol Supiyatno mengatakan, akan menyelidiki kasus itu. Setelah pemeriksaan saksi, pihaknya akan melakukan gelar perkara, selanjutnya memanggil Lurah Benda Baru Saidun. Rencananya, Lurah Saidun akan diperiksa pada Selasa (28/7/2020). "Nanti dulu lah, digelar dulu. Sabar. Kalau kapan digelarnya, itu nanti saya lah. Kita akan koordinasi dulu dengan Pak Kanit. Belum. Lurah masih belum dipanggil," kata Supiyanto.
Selain sanksi pidana, desakan agar Saidun dicopot dari jabatan lurah pun menyeruak. Tidak hanya dari masyarakat, anggota DPRD Kota Tangsel pun nyaring suaranya terkait pencopotan ini. Anggota Komisi I Bidang Pemerintahan dan Hukum dari Fraksi Gerindra-PAN Samtoni mendesak Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany untuk segera memproses dan memecat Saidun dari jabatan Lurah Benda Baru.
"Perbuatan Lurah Saidun itu tidak pantas karena layaknya seorang pereman dan tentu sudah melanggar kode etik ASN. Oleh karena itu, kami mendesak Wali Kota agar segera memecat Lurah Benda Baru," ungkapnya.
Lurah Saidun ternyata tidak sendiri. Beberapa temannya sesama lurah yang tergabung dalam Paguyuban Lurah se-Tangsel juga mendapat jatah kursi sekolah. Melalui juru bicaranya Tomi Patria, dia juga mengaku melakukan praktik titip-menitip. Bahkan dengan bangganya, dia mengaku mendapat kuota siswa titipan 9 hingga 10 orang. Di Kota Tangsel, sedikitnya ada sekira 45 kelurahan. "Waktu saya di SMAN 9 Serua, saya masukin 9-10 orang. Saya minta berapa saja dikasih. Masuk TKS juga ada tarifnya Rp15-20 juta. Lurah hari ini, satu saja seperak gak ngasih duit. Lurah gak main duit," katanya. (Baca juga: Penagguran Meningkar Warga ISrael Ramai-ramai Donor Sperma)
Sudah Berlangsung Lama
Menurut sumber internal di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangsel, praktik percaloan, siswa titipan, dan jual beli bangku sekolah ini sudah berlangsung sejak lama. "Itu mah bukan rahasia lagi. Dewan, ormas, sampai teman-teman media juga dapat," kata BCL.
Proses siswa titipan tidak sulit. Apalagi untuk pejabat yang kuotanya tak terbatas. Mereka tinggal atau cukup membuat surat, bisa juga lewat pesan singkat dan telepon ke dinas terkait dan titip ke sekolah yang dituju. “Kalau dulu bahasanya dititip. Misalkan dari ini, untuk wilayah dia berapa persen, karena belum online jadi gampang saja. Kalau sekarang kan harusnya gak bisa," paparnya.
Tidak jarang, jika titipan ditolak oleh dinas dan pihak sekolah, penitip akan mengamuk. Mereka tidak segan melakukan aksi premanisme kepada sekolah. Pernah terjadi, sekolah digembok, bangku kelas dibakar. "Karena ketika kita tidak fasilitasi itu, mereka ngamuk. Sampai saya diledek Dinas DKI, di Tangsel itu banci. Sebab aturan jelas, tapi titipan masih boleh. Kalau di DKI, ada titipan, cuma dikembalikam ke wilayah," jelasnya.
Rumor yang menyebut sekolah menyediakan sekira 1-2 ruang khusus siswa titipan pun diakuinya benar. Hal ini berlaku untuk tingkat SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA Negeri. Misal dalam 1 tahun mata pelajaran ada 10 kelas, ketika ada hasil seleksi itu yang lolos cuma ada 8 angkatan, 2 kelas itu jadi rebutan. (Baca juga: PKS Desak Pemerintah Berikan Akses Internet yang Murah Bagi Para Siswa-Siswi)
Menurut dia, praktik percaloan dalam dunia pendidikan sulit dihapus. Sebab, hal ini sudah mendarah daging dan semuanya terlibat, termasuk dari TNI/Polri. Pihak dinas, menurutnya berada dalam posisi yang sulit. Mereka juga tidak menerima imbalan uang dalam setiap titipan pejabat itu. Tambah lagi, praktik itu dilakukan senyap.
"Jadi pernah dinas dan sekolah berbenturan karena sekolah juga sudah menerima lebih dahulu. Kalau lurah dan camat biasanya langsung ke sekolah, ormas ke dinas juga, dewan juga. Kalau biayanya tidak ada, titip saja," katanya.
Tidak hanya masyarakat, pihak sekolah juga kadang muak dengan praktik titipan ini. Namun, mereka sama-sama tidak berdaya. Kekuasaan dan massa memiliki kewenangan. "Jadi polanya itu, dia ikut dulu PPDB. Kalau gagal, baru bawa bukti pendaftaran. Tetap jalur itunya dijalankan. Kalau sekarang kuotanya lebih banyak zonasi, cuma kalau untuk titipan itu bisa di kuota itu," ungkapnya.
Menurut dia, apa yang membuat praktik ini tetap berjalan bukan karena sistem yang buruk. Sebaliknya, kalau menggunakan sistem yang ada, justru terasa sangat sulit. Tetapi permainan ini ada di atas sistem itu. "Kenapa sampai sekarang masih banyak titipan, karena masyarakat menganggap sekolah negeri itu favorit. Padahal gak begitu. Harusnya di balik, sekolah negeri itu untuk sekolah orang miskin saja," sambungnya. (Baca juga: PJJ Butuh Bahan Ajar Khusus)
Beragam Modus
Praktik culas ini bukan tidak diketahui oleh kepala daerah. Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany mengetahuinya. Bahkan dia sempat marah, saat tahu banyak siswa titipan itu. Namun, dia juga tidak berdaya. "Tapi karena sudah ramai dan ormas sudah ramai mau bakar-bakar, ya kita gak bisa ngapa-ngapain juga dan semua diakomodasi juga akhirnya. Untuk SMP siswa titipan bisa 800 orang, dan SMA 600 siswa," ungkapnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menemukan dugaan jual beli kursi di jenjang SMA negeri favorit pada PPDB 2019 di Tangsel. Komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Listyarti mengatakan, tim pengawasan KPAI mendatangi beberapa SMA saat pendaftaran PPDB dan mewawancari sejumlah orang tua sebagai responden. (Baca juga: Siap-siap Melaksanakan Puasa Tarwiyah dan Arafah)
"Yang menginformasikan itu salah satu responden dari orang tua calon siswa. Beliau ditawarkan Rp20 juta untuk satu kursi agar bisa masuk di SMAN favorit di Tangsel. Temuan tim KPAI ada 3 dugaan tawaran jual beli kursi di Tangsel," ungkapnya.
Dia menegaskan, tim KPAI telah memberikan solusi kepada responden yang berkeberatan untuk melaporkan ke pihak Saber Pungli atau tim inspektorat jenderal Kemendikbud guna ditindaklanjuti. "Kalau KPAI tidak dapat menyelidiki dan tak punya kewenangan menyelidiki," tukasnya.
Menurut pengamat Pendidikan Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema, Tangsel memang sudah terkenal dengan praktik percaloan, titip-menitip siswa, bermain di jalur belakang, dan sogok-menyogok. “Di daerah lain juga modusnya sama. Tapi di Provinsi Banten, di Tangsel dan Kota Tangerang, hal ini biasa," kata Doni.
Mulai bangku SDN hingga SMAN semua ada nilainya. Untuk SDN misalnya. Modus yang digunakan titip bangku dengan nilai Rp500.000 sampai Rp1 juta untuk sekolah favorit. Di SMA lebih mahal lagi bisa Rp15-20 juta per bangku untuk sekolah favorit. “Dibagi-bagi ke komite, anggota dewan, wartawan, dan lain-lain. Banyak. Makanya zaman Pak Muhadjir diterapkan sistem zonasi," jelasnya. (Lihat infografis: Tahun Ajaran Baru, Siswa-Orang Tua Harus Siap dengan Suasana Baru)
Namun, sistem yang dibuat tidak mampu untuk membendung permainan yang ada. Buktinya, sistem zonasi tidak berpengaruh terhadap titipan yang dibawa langsung ke sekolah. "Modus titip bangku atau jual beli ini akan selalu ada selama pengelola sekolah tidak berintegritas. Karena ini namanya pungli. Cuma ya tahu sama tahu, dan tak ada bukti tertulis. Ini hebatnya pungli," sambungnya.
Praktik haram ini memang hampir terjadi di semua daerah, termasuk di Jakarta. Hanya saja, mereka tak mau bersuara karena tahu apa yang dilakukan perbuatan salah. Di Depok, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menerima laporan adanya transaksi atau jual-beli kursi di tingkat SMP dan SMA dalam PPDB Depok 2020.
Arist bahkan tak ragu menyebutkan nama sejumlah sekolah negeri yang dilaporkan menawari orang tua murid untuk membeli kursi kosong saat PPDB lalu. "Di Depok terjadi jual-beli kursi dan ada 3-4 yang sudah dilaporkan ke Komnas PA. Bahkan ada yang sampai mau meminjam uang ke saya nilainya Rp5 juta," kata Arist. (Baca juga: Tragis! Hilang 4 Tahun Lalu, Indonesia Baru Ribut Cari Harta Karun)
Menurut dia, transaksi semacam ini semakin mempersulit kesempatan bagi para siswa mengakses pendidikan yang adil. Arist berujar, hal ini ditemui dalam PPDB di Bodetabek. Sudah muncul masalah kependudukan dalam sistem zonasi yang dipakai di PPDB, praktik jual-beli kursi semakin menambah sengkarut. "Akhirnya puluhan ribu anak kehilangan kesempatan belajar karena kuota sangat sedikit dan disinyalir ada kecurangan," kata Arist.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengungkapkan, fenomena siswa titipan dan praktik kecurangan lainnya yang ditemukan dalam proses PPDB harus menjadi perhatian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdik) setempat sebagai kepanjangan tangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dengan demikian, Kepala Disdik (Kadisdik) harus lebih jeli mengawasi setiap tahapan pendidikan yang terjadi di daerah masing-masing.
“Begini, kalau titip-menitip itu sifatnya bahwa anak ini memiliki prestasi, tempat tinggal zonasinya di situ, dia punya kemampuan jadi sebetulnya bukan menitip, itu adalah meminta agar diurus dengan baik-baik. Sebab yang saya tahu beberapa laporan dari kepala sekolah dan lain-lain, menitip ini ada yang kebijaksaan juga dan ada juga yang pakai tekanan, dengan ancaman,” katanya. (Lihat videonya: Kawanan Monyet Liar Serbu Permukiman Warga di Lembang Bandung)
Politikus Partai Demokrat ini mencontohkan kasus yang terjadi di DKI Jakarta kemarin, banyak anak yang tidak masuk ke sekolah tersebut padahal tempat tinggalnya sesuai zonasi sekolah, dan juga anak-anak yang berprestasi. Tapi, anak yang di luar zonasi yang masuk ke sekolah tersebut. Dan sekarang baru ketahuan bahwa gagalnya siswa di DKI masuk ke sekolah tersebut karena kalah bersaing dengan anak-anak yang lebih mampu. “Siswa miskin tidak bisa masuk ke dalam sekolah karena kalah bersaing dengan anak-anak yang punya uang untuk bimbel dan les, punya kemampuan macam-macam,” ungkap Dede.
Untuk itu, Dede meminta agar pemerintah mengambil langkah dengan memasukkan anak-anak yang tidak terserap itu ke sekolah yang seharusnya. Jangan sampai anak-anak yang berhak kalah karena adanya tekanan dari luar sekolah. “Itu pendapat saya, karena saya lihat di daerah banyak juga tekanan-tekanan dari oknum-oknum,” ucapnya. (Hasan Kurniawan/Kiswondari)
Tidak hanya lurah, sederet pejabat lain diduga terlibat. Semakin tinggi jabatannya, maka semakin besar kuotanya. Termasuk anggota dewan, ormas, LSM, hingga wartawan punya kuota titipan. Di luar itu, pihak sekolah juga diduga banyak terlibat dalam permainan kotor tersebut. Tidak sedikit, kuota bangku yang tersisa dijadikan bahan bancakan untuk diperjualbelikan.
Setiap berlangsung penerimaan peserta didik baru (PPDB), hampir ribuan bangku kosong yang disiapkan untuk praktik busuk seperti itu. Alhasil, masyarakat yang dirugikan dan para cukong diuntungkan. Praktik siswa titipan ini terbongkar saat Lurah Benda Baru Saidun mengamuk di SMAN 3 Kota Tangsel, pada 10 Juli 2020. Dia tak terima karena lima siswa titipannya tidak diterima masuk. Dengan gaya preman, dia menendang stoples di atas meja.
Aksi arogan Saidun kontan membuat pihak sekolah shock. Sebab bukan kali ini saja pihak sekolah mendapat ancaman, lantaran titip-menitip siswa dari para oknum pejabat. Dengan keberanian yang tersisa, pihak sekolah akhirnya melapor ke Polsek Pamulang, pada 14 Juli 2020. Dari sinilah, rumor siswa titipan itu tersingkap. (Baca: PKS Terkejut Gaji Pengelola Kartu Prakerja Rp47-77 Juta)
Praktik yang sebelumnya dilakukan senyap dan tanpa bukti, kini menjadi perbincangan umum masyarakat. Siswa titipan ini menarik karena dampak yang disebabkan merugikan masyarakat dari semua lapisan kelas sosial. Tidak hanya siswa miskin dan kaya, tetapi juga siswa berprestasi, para generasi penerus bangsa.
Plt Kepala SMAN 3 Tangsel Aan Sri Analiah mengatakan, Lurah Benda Baru Saidun meminta lima jatah kursi siswa baru. Namun, permintaan itu terlambat. PPDB sudah selesai dan masuk daftar ulang. “Biasa, masa PPDB. Pak Lurah banyak dapat tekanan agar bisa mengusahakan masyarakatnya masuk ke SMAN 3. Kan PPDB sudah berakhir dan sudah daftar ulang," kata Aan.
Alhasil, permintaan Lurah Saidun ditolak. Tidak pernah mendapat penolakan sebelumnya, dia marah dan menendang stoples kaca di meja. “Kemudian kita sampaikan baik-baik, karena ingin membela rakyatnya dan titipannya diakomodasi, kita enggak mungkin menambah kelas. Paling menambah kuota. Itu pun harus mengajukan ke pemerintah," sambung Aan. (Baca juga: Gokir, Dua Juta Kartu Prakerja Hangus Gara-gara Tekan Tombol Enter)
Terkait laporan oleh pihak sekolah atas tindakan tidak menyenangkan dan perusakan ke Polsek Pamulang, Aan masih mempertimbangkan apakah akan mencabutnya atau berlanjut. "Sebenarnya masalahnya sudah selesai. Pak Lurah sudah minta maaf didampingi camat, tokoh masyarakat, dan dinas. Kita intinya dari kejadian kemarin, meminta beliau datang ke sekolah untuk meminta maaf," ungkapnya.
Kapolsek Pamulang Kompol Supiyatno mengatakan, akan menyelidiki kasus itu. Setelah pemeriksaan saksi, pihaknya akan melakukan gelar perkara, selanjutnya memanggil Lurah Benda Baru Saidun. Rencananya, Lurah Saidun akan diperiksa pada Selasa (28/7/2020). "Nanti dulu lah, digelar dulu. Sabar. Kalau kapan digelarnya, itu nanti saya lah. Kita akan koordinasi dulu dengan Pak Kanit. Belum. Lurah masih belum dipanggil," kata Supiyanto.
Selain sanksi pidana, desakan agar Saidun dicopot dari jabatan lurah pun menyeruak. Tidak hanya dari masyarakat, anggota DPRD Kota Tangsel pun nyaring suaranya terkait pencopotan ini. Anggota Komisi I Bidang Pemerintahan dan Hukum dari Fraksi Gerindra-PAN Samtoni mendesak Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany untuk segera memproses dan memecat Saidun dari jabatan Lurah Benda Baru.
"Perbuatan Lurah Saidun itu tidak pantas karena layaknya seorang pereman dan tentu sudah melanggar kode etik ASN. Oleh karena itu, kami mendesak Wali Kota agar segera memecat Lurah Benda Baru," ungkapnya.
Lurah Saidun ternyata tidak sendiri. Beberapa temannya sesama lurah yang tergabung dalam Paguyuban Lurah se-Tangsel juga mendapat jatah kursi sekolah. Melalui juru bicaranya Tomi Patria, dia juga mengaku melakukan praktik titip-menitip. Bahkan dengan bangganya, dia mengaku mendapat kuota siswa titipan 9 hingga 10 orang. Di Kota Tangsel, sedikitnya ada sekira 45 kelurahan. "Waktu saya di SMAN 9 Serua, saya masukin 9-10 orang. Saya minta berapa saja dikasih. Masuk TKS juga ada tarifnya Rp15-20 juta. Lurah hari ini, satu saja seperak gak ngasih duit. Lurah gak main duit," katanya. (Baca juga: Penagguran Meningkar Warga ISrael Ramai-ramai Donor Sperma)
Sudah Berlangsung Lama
Menurut sumber internal di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangsel, praktik percaloan, siswa titipan, dan jual beli bangku sekolah ini sudah berlangsung sejak lama. "Itu mah bukan rahasia lagi. Dewan, ormas, sampai teman-teman media juga dapat," kata BCL.
Proses siswa titipan tidak sulit. Apalagi untuk pejabat yang kuotanya tak terbatas. Mereka tinggal atau cukup membuat surat, bisa juga lewat pesan singkat dan telepon ke dinas terkait dan titip ke sekolah yang dituju. “Kalau dulu bahasanya dititip. Misalkan dari ini, untuk wilayah dia berapa persen, karena belum online jadi gampang saja. Kalau sekarang kan harusnya gak bisa," paparnya.
Tidak jarang, jika titipan ditolak oleh dinas dan pihak sekolah, penitip akan mengamuk. Mereka tidak segan melakukan aksi premanisme kepada sekolah. Pernah terjadi, sekolah digembok, bangku kelas dibakar. "Karena ketika kita tidak fasilitasi itu, mereka ngamuk. Sampai saya diledek Dinas DKI, di Tangsel itu banci. Sebab aturan jelas, tapi titipan masih boleh. Kalau di DKI, ada titipan, cuma dikembalikam ke wilayah," jelasnya.
Rumor yang menyebut sekolah menyediakan sekira 1-2 ruang khusus siswa titipan pun diakuinya benar. Hal ini berlaku untuk tingkat SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA Negeri. Misal dalam 1 tahun mata pelajaran ada 10 kelas, ketika ada hasil seleksi itu yang lolos cuma ada 8 angkatan, 2 kelas itu jadi rebutan. (Baca juga: PKS Desak Pemerintah Berikan Akses Internet yang Murah Bagi Para Siswa-Siswi)
Menurut dia, praktik percaloan dalam dunia pendidikan sulit dihapus. Sebab, hal ini sudah mendarah daging dan semuanya terlibat, termasuk dari TNI/Polri. Pihak dinas, menurutnya berada dalam posisi yang sulit. Mereka juga tidak menerima imbalan uang dalam setiap titipan pejabat itu. Tambah lagi, praktik itu dilakukan senyap.
"Jadi pernah dinas dan sekolah berbenturan karena sekolah juga sudah menerima lebih dahulu. Kalau lurah dan camat biasanya langsung ke sekolah, ormas ke dinas juga, dewan juga. Kalau biayanya tidak ada, titip saja," katanya.
Tidak hanya masyarakat, pihak sekolah juga kadang muak dengan praktik titipan ini. Namun, mereka sama-sama tidak berdaya. Kekuasaan dan massa memiliki kewenangan. "Jadi polanya itu, dia ikut dulu PPDB. Kalau gagal, baru bawa bukti pendaftaran. Tetap jalur itunya dijalankan. Kalau sekarang kuotanya lebih banyak zonasi, cuma kalau untuk titipan itu bisa di kuota itu," ungkapnya.
Menurut dia, apa yang membuat praktik ini tetap berjalan bukan karena sistem yang buruk. Sebaliknya, kalau menggunakan sistem yang ada, justru terasa sangat sulit. Tetapi permainan ini ada di atas sistem itu. "Kenapa sampai sekarang masih banyak titipan, karena masyarakat menganggap sekolah negeri itu favorit. Padahal gak begitu. Harusnya di balik, sekolah negeri itu untuk sekolah orang miskin saja," sambungnya. (Baca juga: PJJ Butuh Bahan Ajar Khusus)
Beragam Modus
Praktik culas ini bukan tidak diketahui oleh kepala daerah. Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany mengetahuinya. Bahkan dia sempat marah, saat tahu banyak siswa titipan itu. Namun, dia juga tidak berdaya. "Tapi karena sudah ramai dan ormas sudah ramai mau bakar-bakar, ya kita gak bisa ngapa-ngapain juga dan semua diakomodasi juga akhirnya. Untuk SMP siswa titipan bisa 800 orang, dan SMA 600 siswa," ungkapnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menemukan dugaan jual beli kursi di jenjang SMA negeri favorit pada PPDB 2019 di Tangsel. Komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Listyarti mengatakan, tim pengawasan KPAI mendatangi beberapa SMA saat pendaftaran PPDB dan mewawancari sejumlah orang tua sebagai responden. (Baca juga: Siap-siap Melaksanakan Puasa Tarwiyah dan Arafah)
"Yang menginformasikan itu salah satu responden dari orang tua calon siswa. Beliau ditawarkan Rp20 juta untuk satu kursi agar bisa masuk di SMAN favorit di Tangsel. Temuan tim KPAI ada 3 dugaan tawaran jual beli kursi di Tangsel," ungkapnya.
Dia menegaskan, tim KPAI telah memberikan solusi kepada responden yang berkeberatan untuk melaporkan ke pihak Saber Pungli atau tim inspektorat jenderal Kemendikbud guna ditindaklanjuti. "Kalau KPAI tidak dapat menyelidiki dan tak punya kewenangan menyelidiki," tukasnya.
Menurut pengamat Pendidikan Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema, Tangsel memang sudah terkenal dengan praktik percaloan, titip-menitip siswa, bermain di jalur belakang, dan sogok-menyogok. “Di daerah lain juga modusnya sama. Tapi di Provinsi Banten, di Tangsel dan Kota Tangerang, hal ini biasa," kata Doni.
Mulai bangku SDN hingga SMAN semua ada nilainya. Untuk SDN misalnya. Modus yang digunakan titip bangku dengan nilai Rp500.000 sampai Rp1 juta untuk sekolah favorit. Di SMA lebih mahal lagi bisa Rp15-20 juta per bangku untuk sekolah favorit. “Dibagi-bagi ke komite, anggota dewan, wartawan, dan lain-lain. Banyak. Makanya zaman Pak Muhadjir diterapkan sistem zonasi," jelasnya. (Lihat infografis: Tahun Ajaran Baru, Siswa-Orang Tua Harus Siap dengan Suasana Baru)
Namun, sistem yang dibuat tidak mampu untuk membendung permainan yang ada. Buktinya, sistem zonasi tidak berpengaruh terhadap titipan yang dibawa langsung ke sekolah. "Modus titip bangku atau jual beli ini akan selalu ada selama pengelola sekolah tidak berintegritas. Karena ini namanya pungli. Cuma ya tahu sama tahu, dan tak ada bukti tertulis. Ini hebatnya pungli," sambungnya.
Praktik haram ini memang hampir terjadi di semua daerah, termasuk di Jakarta. Hanya saja, mereka tak mau bersuara karena tahu apa yang dilakukan perbuatan salah. Di Depok, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menerima laporan adanya transaksi atau jual-beli kursi di tingkat SMP dan SMA dalam PPDB Depok 2020.
Arist bahkan tak ragu menyebutkan nama sejumlah sekolah negeri yang dilaporkan menawari orang tua murid untuk membeli kursi kosong saat PPDB lalu. "Di Depok terjadi jual-beli kursi dan ada 3-4 yang sudah dilaporkan ke Komnas PA. Bahkan ada yang sampai mau meminjam uang ke saya nilainya Rp5 juta," kata Arist. (Baca juga: Tragis! Hilang 4 Tahun Lalu, Indonesia Baru Ribut Cari Harta Karun)
Menurut dia, transaksi semacam ini semakin mempersulit kesempatan bagi para siswa mengakses pendidikan yang adil. Arist berujar, hal ini ditemui dalam PPDB di Bodetabek. Sudah muncul masalah kependudukan dalam sistem zonasi yang dipakai di PPDB, praktik jual-beli kursi semakin menambah sengkarut. "Akhirnya puluhan ribu anak kehilangan kesempatan belajar karena kuota sangat sedikit dan disinyalir ada kecurangan," kata Arist.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengungkapkan, fenomena siswa titipan dan praktik kecurangan lainnya yang ditemukan dalam proses PPDB harus menjadi perhatian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdik) setempat sebagai kepanjangan tangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dengan demikian, Kepala Disdik (Kadisdik) harus lebih jeli mengawasi setiap tahapan pendidikan yang terjadi di daerah masing-masing.
“Begini, kalau titip-menitip itu sifatnya bahwa anak ini memiliki prestasi, tempat tinggal zonasinya di situ, dia punya kemampuan jadi sebetulnya bukan menitip, itu adalah meminta agar diurus dengan baik-baik. Sebab yang saya tahu beberapa laporan dari kepala sekolah dan lain-lain, menitip ini ada yang kebijaksaan juga dan ada juga yang pakai tekanan, dengan ancaman,” katanya. (Lihat videonya: Kawanan Monyet Liar Serbu Permukiman Warga di Lembang Bandung)
Politikus Partai Demokrat ini mencontohkan kasus yang terjadi di DKI Jakarta kemarin, banyak anak yang tidak masuk ke sekolah tersebut padahal tempat tinggalnya sesuai zonasi sekolah, dan juga anak-anak yang berprestasi. Tapi, anak yang di luar zonasi yang masuk ke sekolah tersebut. Dan sekarang baru ketahuan bahwa gagalnya siswa di DKI masuk ke sekolah tersebut karena kalah bersaing dengan anak-anak yang lebih mampu. “Siswa miskin tidak bisa masuk ke dalam sekolah karena kalah bersaing dengan anak-anak yang punya uang untuk bimbel dan les, punya kemampuan macam-macam,” ungkap Dede.
Untuk itu, Dede meminta agar pemerintah mengambil langkah dengan memasukkan anak-anak yang tidak terserap itu ke sekolah yang seharusnya. Jangan sampai anak-anak yang berhak kalah karena adanya tekanan dari luar sekolah. “Itu pendapat saya, karena saya lihat di daerah banyak juga tekanan-tekanan dari oknum-oknum,” ucapnya. (Hasan Kurniawan/Kiswondari)
(ysw)