Regulasi Pembebasan Tugas Akhir Dorong Perguruan Tinggi Adaptif dengan Zaman

Senin, 04 September 2023 - 21:21 WIB
loading...
Regulasi Pembebasan Tugas Akhir Dorong Perguruan Tinggi Adaptif dengan Zaman
Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) Jakarta, Riko menilai pembebasan wujud tugas akhir sebagai metode kelulusan di perguruan tinggi dinilai sudah tepat. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Peraturan terbaru Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim tentang pembebasan wujud tugas akhir sebagai metode kelulusan dinilai sudah tepat.

Seperti diketahui baru-baru ini Kemendikbudristek mengeluarkan kebijakan untuk transformasi di bidang pendidikan. Salah satunya, kini mahasiswa S1 tidak lagi wajib menyusun skripsi sebagai syarat kelulusan.

Regulasi dari Mendikbudristek tersebut dinilai akan memaksa perguruan tinggi adaptif dengan perubahan zaman. Perguruan tinggi selayaknya didominasi insan akademik berpola pikir maju dan terbuka agar tetap diminati mahasiswanya.

"Selama ini, perguruan tinggi memaksakan mahasiswanya menulis, apa pun wujudnya, termasuk skripsi, tesis atau disertasi. Sementara itu, kita tidak pernah tahu apakah dosen yang membimbing tugas akhirnya tersebut benar-benar memiliki kepiawaian dalam menuangkan gagasan dalam bentuk tertulis karena mereka pun produk pemaksaan menulis tugas akhir. Tentu kita bisa menyimpulkan sendiri kualitas output dari tugas akhir tersebut," kata Lektor Ilmu Filsafat Prodi Teknik Informatika di Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) Jakarta, Riko dalam rilis, Senin (4/9/2023)

Riko berpandangan, keterampilan menulis itu tidak untuk setiap orang. Analoginya setiap orang mungkin bisa menikmati musik, tapi belum tentu mereka bisa menulis dan memproduksi sebuah karya musik. Sama aja, menuliskan tugas akhir dan menulis lagu, itu sama-sama wujud kongkretisasi gagasan.

Riko mencontohkan Prodi Sastra Indonesia di mana lulusannya boleh saja menyerahkan sebuah karya novel, kumpulan puisi atau musikalisasi puisi sebagai indikator tugas akhir kelulusannya. Yang penting dosen harus bisa melihat, menyadari dan mengakui kalau karya sastra mahasiswanya lebih bermutu. Di sinilah dosen yang berpikir maju, terbuka dan bisa mengikuti perkembangan zaman akan diakui kiprahnya.



Riko mengatakan, idealnya perguruan tinggi, khususnya untuk perguruan tinggi akademik, untuk mencetak penerus budaya filosofis atau saintifik. Salah satu metode budaya filosofis atau saintifik adalah menuliskan temuan-temuannya. "Tapi pada faktanya, mayoritas orang tidak melulu harus menjadi seorang filsuf atau saintis. Di sisi lain, wadah untuk mengembangkan diri secara nonsaintifik yang diakui secara formal di jenjang perguruan tinggi jumlahnya bisa dihitung dengan jari," ujar Riko.

Jadi daripada memaksakan setiap orang menjadi saintis, akan lebih bijaksana agar menu di perguruan tinggi dibuat terbuka. Dengan begitu, bakat-bakat kodrati manusia bisa tercakupi dan terakui.

Riko menjelaskan, di Singapura pada awal pembangunan negerinya, perguruan tinggi dikhususkan agar lulusannya bisa bekerja di pabrik, bukan mempelajari siapa itu Plato dan sebagainya. Belakangan, ketika ekonominya bertumbuh dan rakyatnya sejahtera, barulah mereka mengakselerasi budaya pemikiran atau filsafat dan sainsnya. "Tapi, kita tidak bisa lagi meniru langkah Singapura karena sudah kadung tertinggal. Mau tidak mau, perguruan tinggi harus menyediakan semua ruang tersebut," jelas Riko.

Dengan begitu, menurut Riko, mahasiswa yang berbakat menjadi filsuf atau saintis akan dibimbing oleh dosen yang memang sudah terbukti portfolio karya tulisnya. Setidaknya bisa diketahui dari kualitas dan kuantitas publikasi yang dihasilkannya sebelum berkarir sebagai dosen di perguruan tinggi tertentu.
(wyn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1405 seconds (0.1#10.140)