Menko PMK Minta Kemensos Tak Ambil Alih Sekolah Luar Biasa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy meminta Kementerian Sosial (Kemensos) untuk tidak mengambil alih Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebab SLB seyogianya diurus oleh lembaga yang mengurus pendidikan seperti Kemendikbudristek dan Kemenag.
"Sebaiknya tidak (diambil alih) itu pendidikan titik beratnya di lembaga pendidikan," kata Muhadjir kepada wartawan di Kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Jumat (22/9/2023).
Menurutnya pembagian kewenangan telah diatur sejak lama. Dimana Kemendikbudristek berwenang dalam urusan pendidikan, sedangkan Kemensos melayani pemenuhan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Baca juga: Cegah Paham Radikal dari Dunia Digital, SKSG UI Edukasi Ibu-Ibu Majelis Taklim
"Itu kan selamanya sudah ada pembagian wewenangnya. Kalau pendidikan tetap di kementerian teknis urusan pendidikan. Kalau bantuan-bantuan yang sifatnya layanan. Termasuk pemenuhan kebutuhan anak yang berkebutuhan khusus itu menjadi tanggung jawab Kemensos," katanya.
Sehingga ia meminta agar Kemensos melakukan koordinasi di tingkat kementerian yang mengurus pendidikan anak berkebutuhan khusus.
"Jadi lintas K/L aja dan koordinasi nya di Kemenko PMK itu.Iya (kerjasama) koordinasi," tuturnya.
Sebelumnya, Mensos Tri Rismaharini membantah bahwa dirinya akan mengambil alih Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim. Justru dia akan bekerja sama guna meningkatkan keterampilan atau life skill usai menjalani pendidikan formal.
Baca juga: Wapres Berharap UI Lahirkan Pemimpin Berkarakter Baik, Bertakwa, dan Amanah
"Saya bukan ambil alih bukan, tapi bahwa semua anak itu berhak mendapatkan pendidikan apa pun kondisinya itu yang kita utamakan. Nah karena cacatnya bermacam-macam makanya kemudian saya berpikir kalau kita bisa taruhlah nanti bentuknya bukan kami ambil alih kita bisa kerja sama,"kata Mensos kepada wartawan di Jakarta, Senin (18/9/2023).
Dia mengatakan sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia tidak bisa melanjutkan sekolah karena keterbatasan aksesbilitas. Terlebih mereka berada di keluarga tidak mampu.
"Jadi mereka kan tidak bisa sendiri. Dan memang sebagian besar juga dari anak-anak di Disabilitas ini dari keluarga tidak mampu,"katanya.
Dia pun menceritakan sejumlah tantangan yang dihadapi dari sekolah inklusi. Selain dibutuhkan sejumlah fasilitas penunjang, guru yang mengajar pun tidak semua memiliki latar belakang pendidikan inklusi.
"Itu mereka memerlukan treatment-treatment sendiri tidak bisa disamakan semua anak apa, anak disabilitas, tidak bisa," katanya.
Sehingga, dia ingin bekerja sama guna meningkatkan keterampilan para anak-anak di SLB. Risma berharap outputnya adalah mereka dapat mandiri minimal untuk menjalani kegiatan sehari-harinya tanpa bantuan orang lain.
"Saya mohon kayak SMK gitu loh jadi di SLB diberikan life skill untuk kalau misalkan dia tidak bisa melanjutkan sekolah. Oke kalau dia sampai perguruan tinggi enggak papa, tapi diberikan life skill sehingga saat dia keluar dia bisa mandiri untuk kehidupannya," ujarnya.
Lebih lanjut, pemberdayaan disabilitas, kata Risma, sebelumnya telah dilakukan di balai-balai milik Kemensos. Dia mengatakan bahwa banyak dari mereka sukses karena telah diberikan pelatihan untuk dapat mandiri dan melanjutkan hidupnya sehari-hari.
"Contohnya anak NTT itu dia tunarungu wicara kemudian kita latih di balai. Ini kita training di balai kita untuk bengkel motor, kemudian setelah itu dia kita bantu untuk usaha bengkel sehingga sekarang dia bisa mandiri," katanya.
Adapun dia mencatat ada sebanyak 42.940 anak disabilitas usia 6-18 tahun yang putus sekolah. Sehingga dia berharap kerja sama tersebut dapat segera dilakukan.
"Jadi yang paling penting bagi saya adalah mereka dapat bukan hanya pendidikan umum tapi life skill termasuk untuk bagaimana dia merawat dirinya,"tutur Mensos Risma.
"Sebaiknya tidak (diambil alih) itu pendidikan titik beratnya di lembaga pendidikan," kata Muhadjir kepada wartawan di Kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Jumat (22/9/2023).
Menurutnya pembagian kewenangan telah diatur sejak lama. Dimana Kemendikbudristek berwenang dalam urusan pendidikan, sedangkan Kemensos melayani pemenuhan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Baca juga: Cegah Paham Radikal dari Dunia Digital, SKSG UI Edukasi Ibu-Ibu Majelis Taklim
"Itu kan selamanya sudah ada pembagian wewenangnya. Kalau pendidikan tetap di kementerian teknis urusan pendidikan. Kalau bantuan-bantuan yang sifatnya layanan. Termasuk pemenuhan kebutuhan anak yang berkebutuhan khusus itu menjadi tanggung jawab Kemensos," katanya.
Sehingga ia meminta agar Kemensos melakukan koordinasi di tingkat kementerian yang mengurus pendidikan anak berkebutuhan khusus.
"Jadi lintas K/L aja dan koordinasi nya di Kemenko PMK itu.Iya (kerjasama) koordinasi," tuturnya.
Sebelumnya, Mensos Tri Rismaharini membantah bahwa dirinya akan mengambil alih Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim. Justru dia akan bekerja sama guna meningkatkan keterampilan atau life skill usai menjalani pendidikan formal.
Baca juga: Wapres Berharap UI Lahirkan Pemimpin Berkarakter Baik, Bertakwa, dan Amanah
"Saya bukan ambil alih bukan, tapi bahwa semua anak itu berhak mendapatkan pendidikan apa pun kondisinya itu yang kita utamakan. Nah karena cacatnya bermacam-macam makanya kemudian saya berpikir kalau kita bisa taruhlah nanti bentuknya bukan kami ambil alih kita bisa kerja sama,"kata Mensos kepada wartawan di Jakarta, Senin (18/9/2023).
Dia mengatakan sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia tidak bisa melanjutkan sekolah karena keterbatasan aksesbilitas. Terlebih mereka berada di keluarga tidak mampu.
"Jadi mereka kan tidak bisa sendiri. Dan memang sebagian besar juga dari anak-anak di Disabilitas ini dari keluarga tidak mampu,"katanya.
Dia pun menceritakan sejumlah tantangan yang dihadapi dari sekolah inklusi. Selain dibutuhkan sejumlah fasilitas penunjang, guru yang mengajar pun tidak semua memiliki latar belakang pendidikan inklusi.
"Itu mereka memerlukan treatment-treatment sendiri tidak bisa disamakan semua anak apa, anak disabilitas, tidak bisa," katanya.
Sehingga, dia ingin bekerja sama guna meningkatkan keterampilan para anak-anak di SLB. Risma berharap outputnya adalah mereka dapat mandiri minimal untuk menjalani kegiatan sehari-harinya tanpa bantuan orang lain.
"Saya mohon kayak SMK gitu loh jadi di SLB diberikan life skill untuk kalau misalkan dia tidak bisa melanjutkan sekolah. Oke kalau dia sampai perguruan tinggi enggak papa, tapi diberikan life skill sehingga saat dia keluar dia bisa mandiri untuk kehidupannya," ujarnya.
Lebih lanjut, pemberdayaan disabilitas, kata Risma, sebelumnya telah dilakukan di balai-balai milik Kemensos. Dia mengatakan bahwa banyak dari mereka sukses karena telah diberikan pelatihan untuk dapat mandiri dan melanjutkan hidupnya sehari-hari.
"Contohnya anak NTT itu dia tunarungu wicara kemudian kita latih di balai. Ini kita training di balai kita untuk bengkel motor, kemudian setelah itu dia kita bantu untuk usaha bengkel sehingga sekarang dia bisa mandiri," katanya.
Adapun dia mencatat ada sebanyak 42.940 anak disabilitas usia 6-18 tahun yang putus sekolah. Sehingga dia berharap kerja sama tersebut dapat segera dilakukan.
"Jadi yang paling penting bagi saya adalah mereka dapat bukan hanya pendidikan umum tapi life skill termasuk untuk bagaimana dia merawat dirinya,"tutur Mensos Risma.
(nnz)