Guru Besar Psikologi Ukrida Jadi Pembicara di Harvard University dan UCLA
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana ( Ukrida ), Prof. Johana Endang Prawitasari mendapat kesempatan menjadi pembicara dalam kuliah umum di Harvard University dan UCLA Center for Southeast Asia Studies di Amerika Serikat.
Kuliah umum di kedua perguruan tinggi dunia tersebut mengusung topik The Psychology of Indonesian Communities on Javanese Cultural Psychology.
Saat di Harvard University, Prof. Johana dalam sesinya mengetengahkan contoh kondisi sosial masyarakat di wilayah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pasca gempa bumi 27 Mei 2006. Contoh yang sekaligus menjadi studi kasus ini kemudian menjadi pembahasan yang menarik dan interaktif.
Berawal dari serangkaian kegiatan penelitian bersama dalam Action Research Design, yang kemudian melahirkan gagasan pendekatan melalui seni dan budaya, guna merepresentasikan kondisi sosial masyarakat.
“Latar belakang kegiatan penelitian berlanjut ke pengabdian pada masyarakat, dimana gempa tahun 2006 tersebut menyisakan penderitaan, peluang sekaligus tantangan. Selain pemberian bantuan, ditemukan juga potensi masalah sosial karena dirasakan adanya ketidakadilan distribusi bantuan,” ujarnya, dalam keterangan resmi, Selasa (9/12024).
baca juga: Unggul di PKKM, Ukrida Raih Gold Winner Anugerah Kelembagaan Diktiristek 2023
Konteks penelitian yang dipaparkan meliputi karakteristik kehidupan beragama setempat, psikologi budaya masyarakat Jawa, karakteristik kehidupan masyarakat pedesaan, dan konteks sosial-ekonomi.
Saat itu, katanya, dalam pengamatan terhadap kondisi masyarakat sempat ditawarkan Srandul, yaitu drama tari dan merupakan seni tradisional kerakyatan dari Yogyakarta yang didasarkan pada kearifan masyarakat setempat.
Tetapi setelah melalui dialog dalam komunitas kemudian bersama masyarakat setempat secara khusus disajikan sosiodrama (social artistry) pasca gempa, dimana melalui pentas seni itu tercermin terjadinya konflik sosial.
Dia menjelaskan, pasca musibah gempa bumi itu ternyata terjadi ketidakadilan distribusi bantuan, yaitu warga masyarakat korban gempa memperoleh bantuan dana karena memiliki KTP setempat, sementara yang rumahnya hancur karena gempa malah tidak memperoleh bantuan dana karena tidak memiliki KTP setempat.
Kuliah umum di kedua perguruan tinggi dunia tersebut mengusung topik The Psychology of Indonesian Communities on Javanese Cultural Psychology.
Saat di Harvard University, Prof. Johana dalam sesinya mengetengahkan contoh kondisi sosial masyarakat di wilayah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pasca gempa bumi 27 Mei 2006. Contoh yang sekaligus menjadi studi kasus ini kemudian menjadi pembahasan yang menarik dan interaktif.
Berawal dari serangkaian kegiatan penelitian bersama dalam Action Research Design, yang kemudian melahirkan gagasan pendekatan melalui seni dan budaya, guna merepresentasikan kondisi sosial masyarakat.
“Latar belakang kegiatan penelitian berlanjut ke pengabdian pada masyarakat, dimana gempa tahun 2006 tersebut menyisakan penderitaan, peluang sekaligus tantangan. Selain pemberian bantuan, ditemukan juga potensi masalah sosial karena dirasakan adanya ketidakadilan distribusi bantuan,” ujarnya, dalam keterangan resmi, Selasa (9/12024).
baca juga: Unggul di PKKM, Ukrida Raih Gold Winner Anugerah Kelembagaan Diktiristek 2023
Konteks penelitian yang dipaparkan meliputi karakteristik kehidupan beragama setempat, psikologi budaya masyarakat Jawa, karakteristik kehidupan masyarakat pedesaan, dan konteks sosial-ekonomi.
Saat itu, katanya, dalam pengamatan terhadap kondisi masyarakat sempat ditawarkan Srandul, yaitu drama tari dan merupakan seni tradisional kerakyatan dari Yogyakarta yang didasarkan pada kearifan masyarakat setempat.
Tetapi setelah melalui dialog dalam komunitas kemudian bersama masyarakat setempat secara khusus disajikan sosiodrama (social artistry) pasca gempa, dimana melalui pentas seni itu tercermin terjadinya konflik sosial.
Dia menjelaskan, pasca musibah gempa bumi itu ternyata terjadi ketidakadilan distribusi bantuan, yaitu warga masyarakat korban gempa memperoleh bantuan dana karena memiliki KTP setempat, sementara yang rumahnya hancur karena gempa malah tidak memperoleh bantuan dana karena tidak memiliki KTP setempat.