Momen Penuh Haru Anak Penjual Gula Jawa Dikukuhkan sebagai Guru Besar UGM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Momen penuh keharuan tercipta pada pengukuhan profesor di UGM, Kamis (2/1/2024). Prof. Ir. Sarjiya dikukuhkan sebagai guru besar dari Fakultas Teknik UGM.
Prof Sarjiya merupakan Dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dia dikukuhkan sebagai profesor setelah menyampaikan pidato mengenai Integrsi Variable Renewable Energy dalam Perencanaan dan Operasi Sistem Tenaga Listrik Menuju Transisi Energi Berkelanjutan.
Baca juga: Petisi Bulaksumur Guru-guru Besar UGM Beri Peringatan untuk Jokowi
Menurutnya, menuju transisi energi yang berkelanjutan di Indonesia diperlukan dalam rangka pemanfataan secara optimal seluruh potensi energi baik terbarukan maupun non terbarukan.
Dengan karakterisitik intermitensinya, integrase potensi variable renewable energy ke dalam grid untuk memenuhi kebutuhan energi nasional menghadapi banyak tantangan.
Oleh kerena itu diperlukan inovasi dalam perencanaan dan operasi sistem tenaga untuk memastikan layanan energi listrik yang handal, aman, berkualitas dapat diberikan kepada konsumen dengan biaya penyediaan yang ekonomis.
Sarjiya, lahir di Lendah, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 51 tahun silam. Berasal dari keluarga sederhana tak membuat ayah ibunya buta akan pendidikan.
Ayahnya, Pudjiyono, hanyalah seorang buruh tobong labor atau pengrajin gamping dan ibunya, Sumirah hanya pedagang gula jawa keliling namun ingin Sarjiya studi setinggi-tingginya.
Baca juga: UGM Jadi Kampus Pencetak Guru Besar Terbanyak di 2023, Fakultas Teknik Tertinggi
“Bapak dan Ibu waktu itu berani membuat keputusan untuk mengizinkan dan membiayai saya melanjutkan sekolah,” katanya, dikutip dari laman UGM, Jumat (2/2/2024).
Ia bercerita, kedua orang tuanya tidak memiliki kemampuan baca dan tulis karena tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah. Meski begitu, keduanya tetap gigih menyekolahkan dirinya meski keputusan itu harus mengorbankan pendidikan adik perempuannya.
“Secara khusus saya mohon maaf kepada adikku, Suparsih, yang waktu itu terpaksa tidak bisa melanjutkan ke bangku SMA, meskipun dengan nilai ujian SMP yang sangat baik, karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah kita berdua secara bersamaan," ungkapnya.
Prof Sarjiya merupakan Dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM).
Fokus pada Energi Keberlanjutan
Dia dikukuhkan sebagai profesor setelah menyampaikan pidato mengenai Integrsi Variable Renewable Energy dalam Perencanaan dan Operasi Sistem Tenaga Listrik Menuju Transisi Energi Berkelanjutan.
Baca juga: Petisi Bulaksumur Guru-guru Besar UGM Beri Peringatan untuk Jokowi
Menurutnya, menuju transisi energi yang berkelanjutan di Indonesia diperlukan dalam rangka pemanfataan secara optimal seluruh potensi energi baik terbarukan maupun non terbarukan.
Dengan karakterisitik intermitensinya, integrase potensi variable renewable energy ke dalam grid untuk memenuhi kebutuhan energi nasional menghadapi banyak tantangan.
Oleh kerena itu diperlukan inovasi dalam perencanaan dan operasi sistem tenaga untuk memastikan layanan energi listrik yang handal, aman, berkualitas dapat diberikan kepada konsumen dengan biaya penyediaan yang ekonomis.
Lahir dari Keluarga Sederhana di Kulonprogo
Sarjiya, lahir di Lendah, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 51 tahun silam. Berasal dari keluarga sederhana tak membuat ayah ibunya buta akan pendidikan.
Ayahnya, Pudjiyono, hanyalah seorang buruh tobong labor atau pengrajin gamping dan ibunya, Sumirah hanya pedagang gula jawa keliling namun ingin Sarjiya studi setinggi-tingginya.
Baca juga: UGM Jadi Kampus Pencetak Guru Besar Terbanyak di 2023, Fakultas Teknik Tertinggi
“Bapak dan Ibu waktu itu berani membuat keputusan untuk mengizinkan dan membiayai saya melanjutkan sekolah,” katanya, dikutip dari laman UGM, Jumat (2/2/2024).
Kedua Orang Tua Buta Huruf
Ia bercerita, kedua orang tuanya tidak memiliki kemampuan baca dan tulis karena tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah. Meski begitu, keduanya tetap gigih menyekolahkan dirinya meski keputusan itu harus mengorbankan pendidikan adik perempuannya.
“Secara khusus saya mohon maaf kepada adikku, Suparsih, yang waktu itu terpaksa tidak bisa melanjutkan ke bangku SMA, meskipun dengan nilai ujian SMP yang sangat baik, karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah kita berdua secara bersamaan," ungkapnya.