Selama Pandemi, Ciptakan Pendidikan Menyenangkan bagi Anak di Rumah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membolehkan sekolah kembali dibuka di kawasan zona kuning. Namun orang tua diingatkan bahwa tidak ada kewajiban anak harus ikut pelajaran tatap muka di sekolah. Setiap orang tua tetap dibebaskan jika ingin memilih model pembelajaran jarah jauh (PJJ) selama masa pandemi corona (Covid-19).
Ketua Lembaga Pemerhati Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan, kunci melindungi anak ada pada orang tua. Mau memilih sekolah tatap muka atau tetap belajar secara daring di rumah, pertimbangan orang tua haruslah keselamatan anak.
Intinya pendidikan harus memenuhi hak hidup dan sehat anak. “Kami titip agar setiap orang tua jadi pelindung putra putrinya. Keputusan belajar tatap muka atau tetap di rumah harus karena kepentingan anak, bahwa itu yang terbaik buat anak sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Anak dan konvensi anak,” ujar pemerhati anak yang akrab dengan sapaan Kak Seto itu kemarin. (Baca: Sekolah Tatap Muka di Zona Hijau dan Kuning, Pemda Harus Gelar Simulasi)
Mengenai kebijakan sekolah boleh dibuka di zona hijau dan zona kuning, Kak Seto menyebut hal itu mengkhawatirkan. Alasannya, meski sebuah daerah dinyatakan sebagai zona hijau, hal itu belum tentu aman karena ada lalu lintas orang. Orang dari zona merah atau kuning setiap saat bisa masuk ke zona hijau. Anak-anak pun saat di sekolah rentan tertular virus karena kebiasaan bermain dan seru-seruan dengan teman-temannya, misalnya berpegangan tangan, berangkulan, atau bertukaran masker.
Kak Seto juga mengingatkan perihal peringatan dari Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) soal betapa sulit bagi orang tua jika anaknya harus dirawat di rumah sakit akibat tertular Covid-19.
“Peringatan Ketua Umum IDAI ini harus disimak baik-baik oleh orang tua. Katanya, apakah rela anak sakit dan orang tua tidak bisa mendampingi di rumah sakit?” ujarnya.
Kak Seto mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan belajar daring di rumah. Dia juga meminta guru agar tidak memaksakan pencapaian nilai akademik atau pemenuhan kurikulum kepada anak selama belajar daring. (Baca juga: Ilmuwan Jepang Bangunkan Mikroba yang Tertidur Selama 100 Juta Tahun)
“Kami dari awal menganjurkan bahwa ini adalah keadaan darurat sehingga kurikulum pendidikan yang dipakai juga harus darurat. Apa itu? Kurikulum yang menyenangkan anak, kurikulum kehidupan. Ayo ajak anak-anak mendongeng, ciptakan suasana gembira,” paparnya.
Kak Seto yang juga pengajar di universitas ini mengatakan, sejatinya pendidikan itu mengutamakan lima hal. Pertama yang diprioritaskan bukan soal iptek, melainkan etika, yakni mengajari anak bagaimana cara bersopan-santun dan menghargai sesama. Kedua adalah estetika, yakni bagaimana anak belajar keindahan dan kerapian. Di masa pandemi ini anak bisa diajari bagaimana cara menata rumah, mengatur meja belajar, merapikan pakaian sendiri, dan lain-lain.
Pelajaran seperti itu menurut Kak Seto lebih menyenangkan daripada seharian anak diminta menonton layar. “Setelah etika dan estetika, berikutnya baru unsur iptek. Iptek pun bisa dengan cara menyenangkan, bukan sekadar belajar kalkulus, tapi bagaimana belajar menghadapi hidup. Bayangkan berapa anak yang tidak bisa tidur, kabur tengah malam karena stres dengan pelajaran,” ujarnya. (Baca juga: Turki-Yunani Memanas, Ini Perbandingan Kekuatan Militernya)
Ketua Lembaga Pemerhati Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan, kunci melindungi anak ada pada orang tua. Mau memilih sekolah tatap muka atau tetap belajar secara daring di rumah, pertimbangan orang tua haruslah keselamatan anak.
Intinya pendidikan harus memenuhi hak hidup dan sehat anak. “Kami titip agar setiap orang tua jadi pelindung putra putrinya. Keputusan belajar tatap muka atau tetap di rumah harus karena kepentingan anak, bahwa itu yang terbaik buat anak sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Anak dan konvensi anak,” ujar pemerhati anak yang akrab dengan sapaan Kak Seto itu kemarin. (Baca: Sekolah Tatap Muka di Zona Hijau dan Kuning, Pemda Harus Gelar Simulasi)
Mengenai kebijakan sekolah boleh dibuka di zona hijau dan zona kuning, Kak Seto menyebut hal itu mengkhawatirkan. Alasannya, meski sebuah daerah dinyatakan sebagai zona hijau, hal itu belum tentu aman karena ada lalu lintas orang. Orang dari zona merah atau kuning setiap saat bisa masuk ke zona hijau. Anak-anak pun saat di sekolah rentan tertular virus karena kebiasaan bermain dan seru-seruan dengan teman-temannya, misalnya berpegangan tangan, berangkulan, atau bertukaran masker.
Kak Seto juga mengingatkan perihal peringatan dari Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) soal betapa sulit bagi orang tua jika anaknya harus dirawat di rumah sakit akibat tertular Covid-19.
“Peringatan Ketua Umum IDAI ini harus disimak baik-baik oleh orang tua. Katanya, apakah rela anak sakit dan orang tua tidak bisa mendampingi di rumah sakit?” ujarnya.
Kak Seto mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan belajar daring di rumah. Dia juga meminta guru agar tidak memaksakan pencapaian nilai akademik atau pemenuhan kurikulum kepada anak selama belajar daring. (Baca juga: Ilmuwan Jepang Bangunkan Mikroba yang Tertidur Selama 100 Juta Tahun)
“Kami dari awal menganjurkan bahwa ini adalah keadaan darurat sehingga kurikulum pendidikan yang dipakai juga harus darurat. Apa itu? Kurikulum yang menyenangkan anak, kurikulum kehidupan. Ayo ajak anak-anak mendongeng, ciptakan suasana gembira,” paparnya.
Kak Seto yang juga pengajar di universitas ini mengatakan, sejatinya pendidikan itu mengutamakan lima hal. Pertama yang diprioritaskan bukan soal iptek, melainkan etika, yakni mengajari anak bagaimana cara bersopan-santun dan menghargai sesama. Kedua adalah estetika, yakni bagaimana anak belajar keindahan dan kerapian. Di masa pandemi ini anak bisa diajari bagaimana cara menata rumah, mengatur meja belajar, merapikan pakaian sendiri, dan lain-lain.
Pelajaran seperti itu menurut Kak Seto lebih menyenangkan daripada seharian anak diminta menonton layar. “Setelah etika dan estetika, berikutnya baru unsur iptek. Iptek pun bisa dengan cara menyenangkan, bukan sekadar belajar kalkulus, tapi bagaimana belajar menghadapi hidup. Bayangkan berapa anak yang tidak bisa tidur, kabur tengah malam karena stres dengan pelajaran,” ujarnya. (Baca juga: Turki-Yunani Memanas, Ini Perbandingan Kekuatan Militernya)