Seminar Pusat Studi G20 UPH dan FSI: China Ancaman De Facto di Laut China Selatan

Sabtu, 22 Juni 2024 - 11:26 WIB
loading...
A A A
Ketua FSI Johanes Herlijanto menyebut, pemahaman responden atas hasil survei ISDS memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat sensitif dan menentang setiap upaya pihak luar mempengaruhi kemandirian negara dan pemerintah Indonesia melalui cara apapun.

Menurut Johanes yang juga dosen MIKOM UPH ini berpandangan bahwa persepsi China sebagai ancaman dapat ditelurusi hingga ke pertengahan abad yang lalu.

“Persepsi China sebagai ancaman sangat dominan di era pemerintahan Orde Baru, dan terus bertahan hingga rezim tersebut berakhir,” tuturnya.

Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah kecurigaan bahwa China telah melakukan intervensi dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan memberikan bantuan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta yang gagal pada tahun 1965.

“Sekitar satu dasawarsa setelah runtuhnya rezim Orde Baru, tepatnya di zaman pemerintahan Presiden Yudhoyono, persepsi terhadap China di kalangan publik di Indonesia, khususnya kelas menengah, bergeser menjadi positif,” jelas Johanes.

Namun, berdasarkan keterangannya, persepsi negatif kembali mendominasi publik sejak tahun 2015. “Penyebabnya antara lain adalah berkembangnya media baru yang membuka arus informasi terkait tingkah laku China di dunia internasional, makin intensifnya hubungan ekonomi Indonesia China yang diwarnai dengan berbagai isu termasuk isu pekerja migran dan kekhawatiran terhadap ketergantungan Indonesia terhadap China, dan sikap China yang makin agresif dan asertif di Laut China Selatan, termasuk di ZEE Indonesia dekat Kepulauan Natuna,” tandas Johanes.

Namun dalam konteks Laut China Selatan, Laksamana Muda TNI (Purn) Dr Surya Wiranto menegaskan perbedaan antara kedaulatan dan hak berdaulat. “Kedaulatan termasuk dalam wilayah teritorial Indonesia, dan hanya sejauh 12 mil dari pulau terluar Indonesia, sedangkan hak berdaulat yang meliputi zona ekonomi ekslusif (ZEE) yang membentang hingga 200 mil laut dari pulau terluar,” tuturnya.

Ditinjau dari hal di atas, seolah-olah tak ada permasalahan antara Indonesia dan China di Laut China Selatan. Namun pada praktiknya, menurut Surya, China melakukan klaim terhadap wilayah ZEE Indonesia, dengan menarik garis putus-putus sebagai tanda kepemilikan China atas sebagian ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna, sebuah perairan yang sejak 2017 dinamakan sebagai Laut Natuna Utara.

“Perlu diketahui bahwa klaim China tersebut bukan hanya terkait hak menangkap ikan yang menurut mereka telah mereka lakukan di sana dalam sejarah, tetapi juga klaim terhadap landas kontinen Indonesia, yang menentukan hak Indonesia melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di bawah laut,” tegasnya.

Meskipun klaim tersebut tidak berdasar dan dinilai ilegal menurut Konvensi PBB Terhadap Hukum Laut (UNCLOS), China tetap melakukan berbagai aktivitas untuk menegakan klaimnya tersebut.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1098 seconds (0.1#10.140)