Gelar Doktor Bahlil Lahadalia Ditempuh Kurang 2 tahun, Ini Penjelasan UI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi meraih gelar doktor dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI). Namun gelar S3 yang diraihnya kini menjadi sorotan di X (dulu Twitter).
Sebelumnya diberitakan, warganet di X mempertanyakan gelar S3 Bahlil yang didapatnya kurang dari 2 tahun. Sementara biasanya kuliah S3 itu diselesaikan dalam kurun waktu 3 tahun.
Baca juga: Bahlil Promosi Doktor di UI Kurang dari 2 Tahun, Warganet: Cetak Sejarah
Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI Amelita Lusia menjelaskan, Bahlil tercatat sebagai mahasiswa SKSG UI tahun 2022 dan mengambil jalur riset.
"Pak Bahlil tercatat sebagai mahasiswa program doktor pada SKSG UI mulai pada tahun akademik 2022/2023 term 2 hingga 2024/2025 term 1, jalur riset," katanya ketika dikonfirmasi SINDOnews, Rabu (16/10/2024).
Amelita menjelaskan, masa studi mahasiswa program doktor jalur riset itu sesuai dengan Peraturan Rektor UI Nomor 016 Tahun 2026 tentang Penyelenggaraan Program Doktor di UI.
Baca juga: Dipanggil Prabowo, Bahlil Diminta Urus Kedaulatan Sumber Kekayaan Indonesia
"Pasal 14 menyebutkan bahwa Program Doktor dirancang untuk 6 (enam) semester, dan dapat ditempuh sekurang-kurangnya dalam 4 (empat) semester dan selama-lamanya 10 (sepuluh) semester," jelasnya.
Sementara itu melalui siaran pers, Bahlil berhasil meraih gelar doktor setelah mempertahankan disertasi bertajuk “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia”. Sidang Promosi Doktor berlangsung di Makara Art Center (MAC) UI.
Baca juga: Bocoran Siapa Menteri Ekonomi Kabinet Prabowo-Gibran? Bahlil Sebut Masih Muka Lama
Sidang tersebut diketuai oleh Prof. Dr. I Ketut Surajaya dengan Prof. Dr. Chandra Wijaya sebagai promotor, serta Dr. Teguh Dartanto, dan Athor Subroto, sebagai ko-promotor.
Tim penguji terdiri dari para ahli seperti Dr. Margaretha Hanita, Prof. Dr. A. Hanief Saha Ghafur, Prof. Didik Junaidi Rachbini, Prof. Dr. Arif Satria, dan Prof. Dr. Kosuke Mizuno.
Disertasi Bahlil menyoroti pentingnya reformulasi kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia untuk menciptakan keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat, pengusaha, dan pemerintah daerah.
Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa hilirisasi saat ini menghasilkan dampak positif, khususnya bagi pemerintah pusat dan investor melalui peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, dan ekspor. Namun, ia juga mengidentifikasi empat masalah utama yang perlu segera disikapi.
Baca juga: Profil Dyah Roro Esti, Calon Anggota Kabinet Prabowo Lulusan 3 Kampus Terbaik Dunia
“Pemerintah daerah belum mendapat dana transfer yang adil untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan lingkungan di daerah. Pengusaha daerah juga belum terlibat secara maksimal dalam ekosistem hilirisasi, sementara hilirisasi masih didominasi oleh investor asing. Selain itu, investor di daerah belum memiliki rencana diversifikasi jangka panjang yang berdampak pada keberlanjutan hilirisasi di masa mendatang,” ujar Bahlil.
Bahlil merekomendasikan empat kebijakan utama untuk menjawab tantangan tersebut. Pertama, reformulasi alokasi dana bagi hasil terkait aktivitas hilirisasi agar lebih adil bagi pemerintah daerah. Kedua, penguatan kebijakan kemitraan dengan pengusaha daerah untuk menciptakan nilai tambah lokal.
Baca juga: Profil Christina Aryani, Alumnus S2 Hukum UI Calon Wamen di Kabinet Prabowo
Ketiga, penyediaan pendanaan jangka panjang bagi perusahaan nasional yang terlibat dalam hilirisasi. Terakhir, kewajiban diversifikasi jangka panjang bagi investor guna memastikan keberlanjutan setelah cadangan mineral habis.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya pembentukan Satuan Tugas dengan mandat dari Presiden untuk mengoordinasikan kebijakan hilirisasi, baik dengan pemerintah maupun pelaku usaha, serta mengusulkan penguatan tata kelola yang berorientasi pada hasil konkret, penerapan conditionalities, dan pendekatan yang iteratif dan eksperimental.
“Saya berharap temuan dalam penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah atau pemangku kepentingan lain di Indonesia yang terlibat dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi panduan dalam mereformulasi kebijakan hilirisasi nikel dan memperkuat kelembagaan serta tata kelola untuk mendukung hilirisasi industri sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, warganet di X mempertanyakan gelar S3 Bahlil yang didapatnya kurang dari 2 tahun. Sementara biasanya kuliah S3 itu diselesaikan dalam kurun waktu 3 tahun.
Baca juga: Bahlil Promosi Doktor di UI Kurang dari 2 Tahun, Warganet: Cetak Sejarah
Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI Amelita Lusia menjelaskan, Bahlil tercatat sebagai mahasiswa SKSG UI tahun 2022 dan mengambil jalur riset.
"Pak Bahlil tercatat sebagai mahasiswa program doktor pada SKSG UI mulai pada tahun akademik 2022/2023 term 2 hingga 2024/2025 term 1, jalur riset," katanya ketika dikonfirmasi SINDOnews, Rabu (16/10/2024).
Amelita menjelaskan, masa studi mahasiswa program doktor jalur riset itu sesuai dengan Peraturan Rektor UI Nomor 016 Tahun 2026 tentang Penyelenggaraan Program Doktor di UI.
Baca juga: Dipanggil Prabowo, Bahlil Diminta Urus Kedaulatan Sumber Kekayaan Indonesia
"Pasal 14 menyebutkan bahwa Program Doktor dirancang untuk 6 (enam) semester, dan dapat ditempuh sekurang-kurangnya dalam 4 (empat) semester dan selama-lamanya 10 (sepuluh) semester," jelasnya.
Disertasi Bahlil Lahadalia
Sementara itu melalui siaran pers, Bahlil berhasil meraih gelar doktor setelah mempertahankan disertasi bertajuk “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia”. Sidang Promosi Doktor berlangsung di Makara Art Center (MAC) UI.
Baca juga: Bocoran Siapa Menteri Ekonomi Kabinet Prabowo-Gibran? Bahlil Sebut Masih Muka Lama
Sidang tersebut diketuai oleh Prof. Dr. I Ketut Surajaya dengan Prof. Dr. Chandra Wijaya sebagai promotor, serta Dr. Teguh Dartanto, dan Athor Subroto, sebagai ko-promotor.
Tim penguji terdiri dari para ahli seperti Dr. Margaretha Hanita, Prof. Dr. A. Hanief Saha Ghafur, Prof. Didik Junaidi Rachbini, Prof. Dr. Arif Satria, dan Prof. Dr. Kosuke Mizuno.
Disertasi Bahlil menyoroti pentingnya reformulasi kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia untuk menciptakan keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat, pengusaha, dan pemerintah daerah.
Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa hilirisasi saat ini menghasilkan dampak positif, khususnya bagi pemerintah pusat dan investor melalui peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, dan ekspor. Namun, ia juga mengidentifikasi empat masalah utama yang perlu segera disikapi.
Baca juga: Profil Dyah Roro Esti, Calon Anggota Kabinet Prabowo Lulusan 3 Kampus Terbaik Dunia
“Pemerintah daerah belum mendapat dana transfer yang adil untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan lingkungan di daerah. Pengusaha daerah juga belum terlibat secara maksimal dalam ekosistem hilirisasi, sementara hilirisasi masih didominasi oleh investor asing. Selain itu, investor di daerah belum memiliki rencana diversifikasi jangka panjang yang berdampak pada keberlanjutan hilirisasi di masa mendatang,” ujar Bahlil.
Bahlil merekomendasikan empat kebijakan utama untuk menjawab tantangan tersebut. Pertama, reformulasi alokasi dana bagi hasil terkait aktivitas hilirisasi agar lebih adil bagi pemerintah daerah. Kedua, penguatan kebijakan kemitraan dengan pengusaha daerah untuk menciptakan nilai tambah lokal.
Baca juga: Profil Christina Aryani, Alumnus S2 Hukum UI Calon Wamen di Kabinet Prabowo
Ketiga, penyediaan pendanaan jangka panjang bagi perusahaan nasional yang terlibat dalam hilirisasi. Terakhir, kewajiban diversifikasi jangka panjang bagi investor guna memastikan keberlanjutan setelah cadangan mineral habis.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya pembentukan Satuan Tugas dengan mandat dari Presiden untuk mengoordinasikan kebijakan hilirisasi, baik dengan pemerintah maupun pelaku usaha, serta mengusulkan penguatan tata kelola yang berorientasi pada hasil konkret, penerapan conditionalities, dan pendekatan yang iteratif dan eksperimental.
“Saya berharap temuan dalam penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah atau pemangku kepentingan lain di Indonesia yang terlibat dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi panduan dalam mereformulasi kebijakan hilirisasi nikel dan memperkuat kelembagaan serta tata kelola untuk mendukung hilirisasi industri sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan,” ujarnya.
(nnz)