Dosen Brawijaya Ciptakan Alat Pengelolaan Hutan Berbasis AI, Mampu Mitigasi Kebakaran dan Banjir
loading...
A
A
A
MALANG - Dosen Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur menciptakan alat berbasis Internet of Thing (IoT) untuk pengelolaan hutan. Alat ini diklaim mampu memitigasi kebakaran hutan , terjadinya banjir, hingga identifikasi satwa liar, dengan akurasi tinggi dan efektif.
Berbentuk seperti kotak besar dengan beberapa perangkat pendukung lainnya dikreasikan oleh dua dosen darı Fakultas Vokasi dan Fakultas Pertanian UB. Pengembangan aplikasi ini merupakan hasil kolaborasi lintas disiplin ilmu, mengintegrasikan teknologi loT dan Artificial Intellegence (AI), untuk sistem monitoring yang cerdas.
Di dalam kotak besar itu terdapat beberapa perangkat seperti alat pengirim sinyal, layar monitor untuk memperlihatkan data, baterai berbasis energi panel surya, hingga instalasi kabel.
Dosen Program Studi (Prodi) Kehutanan Fakultas Pertanian UB Rifqi Rahmat Hidayatullah menyampaikan, inovasi alat ini diilhami dari pengawasan dan pengelolaan hutan di Indonesia yang masih kurang. Selama ini wilayah hutan memang kerap kali terjadi perburuan liar, penebangan hutan, hingga konsumsi daya yang rendah.
"Alat yang tahan cuaca dan pencurian, kami coba mengembangkan, bagaimana supaya ketika kita taruh di suatu lokasi ketika ada yang dicuri bisa kita deteksi, Apakah alatnya tercuri atau tidak tentu saja itu kita lengkapi dengan GPS," ucap Rifqi Rahmat Hidayatullah, Minggu (22/12/2024).
Alat ini juga diklaim Rifqi tahan dari cuaca ekstrem seperti badai dan anti pencurian karena dilengkapi sistem pelacakan canggih yang mampu mengirimkan titik koordinat terakhirnya. Penggunaan teknologi Lora atau menyerupai sinyal radio mengantisipasi sulitnya akses sinyal internet di hutan, meski alat ini juga mampu bekerja dengan internet dan memanfaatkan AI.
Informasi dan data yang dikumpulkan akan dikirimkan melalui jaringan LoRa (Long Range) ke pusat kontrol untuk ditampilkan pada dashboard berbasis web, mempermudah pengambilan keputusan oleh pengelola hutan.
"Data itu ditransfer melalui teknologi yang namanya Wifi sama Lora, kalau misalkan untuk di daerah-daerah yang tidak ada sinyal. Yang paling berpotensi adalah Lora, karena bagaimanapun kawasan hutan di Indonesia itu luas, dan hampir semuanya itu tidak ada (sinyal)," bebernya.
Alat ini juga mampu mengintegrasikan dengan IoT dan Artificial Intellegence, dengan menggunakan teknologi You Only Look Once (YOLO), untuk mendeteksi objek secara cepat dan akurat, serta protokol komunikasi LoRa untuk pengiriman data jarak jauh.
"Pengembangan IoT dan AI sesuai dengan rencana jangka panjang UB, yang dikemas program smart forest, di mana penggunaan IoT dan AI, jadi pengelolaan dan pendidikan kita," ucap pria yang juga pengelola hutan edukasi UB Forest.
Sistem penggunaan AI di alat ini diklaim mampu mengawasi biofisik dan iklim di hutan, pengawasan ke satwa - satwa liar, yang aman dan metode berbeda dengan kamera trap yang selama ini kerap digunakan. Kemudian alat ini juga mampu memonitor kebakaran hutan dan lahan, termasuk saya serapan air di kawasan tersebut mengantisipasi banjir, karena mampu pengawasan secara real time atau langsung saat itu juga.
"Kalau Sipongi yang selama ini kan berbasis titik koordinat dan itu perlu waktu, kalau alat ini secara real time mampu mentransmisikan data. Karena monitoring real time, maka dapat mengamankan kawasan hutan darı aktivitas ilegal. Alat ini juga tahan cuaca, anti pencurian, dan baterainya tahan lama," paparnya.
Sementara itu, Rachmad Andri Atmoko selaku Dosen Teknologi Informasi UB mengatakan, penggunaan Lora dinilai cocok untuk vegetasi hutan lebat dan belantara. Dimana Lora untuk merupakan teknologi radio frekuensi menyerupai Handy Talky (HT), menggunakan frekuensi rendah, cukup murah dibandingkan dengan penggunaan internet satelit.
"Yang paling atas IoT yang kita dapat harus divisualisasikan, yang kita kembangkan itu berbasis web. Kalau sudah kita online siapapun bisa hanya berbasis web, bisa dilihat real-time, AI juga kita juga pakai untuk teknologinya," ucap Rachmad Andri Atmoko.
Satu alat ini hanya memakan biaya pembuatan kurang lebih Rp5 juta saja, terdiri darı perangkat Lora yan diimpor darı Cina seharga Rp400.000-Rp500.000-an per satu alat, baterai sekitar Rp1,5 juta, serta perangkat lainnya. Alat Forest Lora Surveilance juga dilengkapi dengan fitur implementasi Artificial Intelligence Deteksi Object, transmisi data menggunakan LORA (rendah daya, jangkauan jauh), Fog Computing Portable, panel surya dan baterai, dan anti perusakan (tampering).
"Alat ini masih dalam bentuk prototipe, dan perlu penyempurnaan-penyempurnaan. Dapat dukungan dari UBbrics, untuk dapat pendanaan potensial. Ke depan akan kami kembangkan lagi supaya bisa diproduksi massal," katanya.
Lihat Juga: Seleksi Mandiri Skor UTBK di UM Dibuka hingga 22 Juli, Ini 10 Prodi dengan Daya Tampung Terbanyak
Berbentuk seperti kotak besar dengan beberapa perangkat pendukung lainnya dikreasikan oleh dua dosen darı Fakultas Vokasi dan Fakultas Pertanian UB. Pengembangan aplikasi ini merupakan hasil kolaborasi lintas disiplin ilmu, mengintegrasikan teknologi loT dan Artificial Intellegence (AI), untuk sistem monitoring yang cerdas.
Di dalam kotak besar itu terdapat beberapa perangkat seperti alat pengirim sinyal, layar monitor untuk memperlihatkan data, baterai berbasis energi panel surya, hingga instalasi kabel.
Dosen Program Studi (Prodi) Kehutanan Fakultas Pertanian UB Rifqi Rahmat Hidayatullah menyampaikan, inovasi alat ini diilhami dari pengawasan dan pengelolaan hutan di Indonesia yang masih kurang. Selama ini wilayah hutan memang kerap kali terjadi perburuan liar, penebangan hutan, hingga konsumsi daya yang rendah.
"Alat yang tahan cuaca dan pencurian, kami coba mengembangkan, bagaimana supaya ketika kita taruh di suatu lokasi ketika ada yang dicuri bisa kita deteksi, Apakah alatnya tercuri atau tidak tentu saja itu kita lengkapi dengan GPS," ucap Rifqi Rahmat Hidayatullah, Minggu (22/12/2024).
Alat ini juga diklaim Rifqi tahan dari cuaca ekstrem seperti badai dan anti pencurian karena dilengkapi sistem pelacakan canggih yang mampu mengirimkan titik koordinat terakhirnya. Penggunaan teknologi Lora atau menyerupai sinyal radio mengantisipasi sulitnya akses sinyal internet di hutan, meski alat ini juga mampu bekerja dengan internet dan memanfaatkan AI.
Informasi dan data yang dikumpulkan akan dikirimkan melalui jaringan LoRa (Long Range) ke pusat kontrol untuk ditampilkan pada dashboard berbasis web, mempermudah pengambilan keputusan oleh pengelola hutan.
"Data itu ditransfer melalui teknologi yang namanya Wifi sama Lora, kalau misalkan untuk di daerah-daerah yang tidak ada sinyal. Yang paling berpotensi adalah Lora, karena bagaimanapun kawasan hutan di Indonesia itu luas, dan hampir semuanya itu tidak ada (sinyal)," bebernya.
Alat ini juga mampu mengintegrasikan dengan IoT dan Artificial Intellegence, dengan menggunakan teknologi You Only Look Once (YOLO), untuk mendeteksi objek secara cepat dan akurat, serta protokol komunikasi LoRa untuk pengiriman data jarak jauh.
"Pengembangan IoT dan AI sesuai dengan rencana jangka panjang UB, yang dikemas program smart forest, di mana penggunaan IoT dan AI, jadi pengelolaan dan pendidikan kita," ucap pria yang juga pengelola hutan edukasi UB Forest.
Sistem penggunaan AI di alat ini diklaim mampu mengawasi biofisik dan iklim di hutan, pengawasan ke satwa - satwa liar, yang aman dan metode berbeda dengan kamera trap yang selama ini kerap digunakan. Kemudian alat ini juga mampu memonitor kebakaran hutan dan lahan, termasuk saya serapan air di kawasan tersebut mengantisipasi banjir, karena mampu pengawasan secara real time atau langsung saat itu juga.
"Kalau Sipongi yang selama ini kan berbasis titik koordinat dan itu perlu waktu, kalau alat ini secara real time mampu mentransmisikan data. Karena monitoring real time, maka dapat mengamankan kawasan hutan darı aktivitas ilegal. Alat ini juga tahan cuaca, anti pencurian, dan baterainya tahan lama," paparnya.
Sementara itu, Rachmad Andri Atmoko selaku Dosen Teknologi Informasi UB mengatakan, penggunaan Lora dinilai cocok untuk vegetasi hutan lebat dan belantara. Dimana Lora untuk merupakan teknologi radio frekuensi menyerupai Handy Talky (HT), menggunakan frekuensi rendah, cukup murah dibandingkan dengan penggunaan internet satelit.
"Yang paling atas IoT yang kita dapat harus divisualisasikan, yang kita kembangkan itu berbasis web. Kalau sudah kita online siapapun bisa hanya berbasis web, bisa dilihat real-time, AI juga kita juga pakai untuk teknologinya," ucap Rachmad Andri Atmoko.
Satu alat ini hanya memakan biaya pembuatan kurang lebih Rp5 juta saja, terdiri darı perangkat Lora yan diimpor darı Cina seharga Rp400.000-Rp500.000-an per satu alat, baterai sekitar Rp1,5 juta, serta perangkat lainnya. Alat Forest Lora Surveilance juga dilengkapi dengan fitur implementasi Artificial Intelligence Deteksi Object, transmisi data menggunakan LORA (rendah daya, jangkauan jauh), Fog Computing Portable, panel surya dan baterai, dan anti perusakan (tampering).
"Alat ini masih dalam bentuk prototipe, dan perlu penyempurnaan-penyempurnaan. Dapat dukungan dari UBbrics, untuk dapat pendanaan potensial. Ke depan akan kami kembangkan lagi supaya bisa diproduksi massal," katanya.
Lihat Juga: Seleksi Mandiri Skor UTBK di UM Dibuka hingga 22 Juli, Ini 10 Prodi dengan Daya Tampung Terbanyak
(abd)