Belajar Harus Tetap Menyenangkan

Jum'at, 09 Oktober 2020 - 06:06 WIB
loading...
Belajar Harus Tetap Menyenangkan
Membangun suasana menyenangkan bagi anak menjadi hal penting dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) di saat pandemi Covid-19. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Membangun suasana menyenangkan bagi anak menjadi hal penting dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) di saat pandemi Covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan berakhir ini. Dengan cara itu pembelajaran akan lebih efektif karena anak tak mudah bosan dan merasa mendapat banyak tekanan.

Dengan belajar yang menyenangkan anak-anak kian termotivasi untuk belajar lebih maksimal. Hal ini beralasan karena kian hari persoalan yang menyertai PJJ juga makin kompleks. Masalah yang banyak dihadapi selama pembelajaran di masa pandemi ini adalah ketiadaan gawai, susah sinyal, kuota habis, mata lelah hingga belajar pun terasa sulit. Bahkan muncul dampak buruk lain, yakni konflik keluarga hingga tindak kekerasan pada anak. (Baca: Keajaiban Surah Al-Fatihah Menyembuhkan Penyakit dan Penawar Racun)

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan, meski tengah menghadapi pandemi, perlu disadari bahwa pada dasarnya anak-anak memiliki kesenangan belajar. Namun, kegiatan belajar ini harus dilakukan dengan suasana yang menyenangkan ataupun gembira.

“Belajar apa pun senang asal suasananya menyenangkan. Senang bergerak senang berteman, berpetualang senang menghadapi tantangan, senang bermain gembira dan senang mencipta atau istilahnya kreatif,” katanya pada webinar BNPB: A to Z Dongrak Motivasi Belajar Anak Selama Pandemi melalui streaming Youtube SINDONews kemarin.

Belajar Harus Tetap Menyenangkan


Pria yang akrab disapa Kak Seto ini menjelaskan, memang pada masa pandemi ini orang tua banyak yang mengalami stres. Anak pun dipaksa menatap layar berjam-jam untuk belajar sehingga mereka cepat lelah dan akhirnya mengantuk.

Hal ini menjadi persoalan tersendiri, apalagi jika tidak ada kesadaran yang tinggi dari para pendidik dan orang tua. Menurut Kak Seto, dalam kondisi tersebut, dibutuhkan pola pengajaran yang kreatif dengan menghadirkan suasana menyenangkan agar peserta didik tidak merasa bosan.

Jika model pendidikan monoton, anak juga tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran melalui layar gawai dalam waktu yang lama. “Dalam hal ini peran orang tua juga sangat penting ciptakan suasana belajar dalam keluarga yang lebih ramah anak, lebih membuat anak gembira,” pintanya. (Baca juga: Miris, UU Ciptaker Tempatkan Pendidikan Sebagai Komoditas yang Diperdagangkan)

Kak Seto menuturkan, kurikulum pendidikan yang berlaku pada masa pandemi ini juga harus berpihak kepada anak. Dengan demikian, kurikulum berstandar nasional hendaknya tidak dipakai, melainkan harus menerapkan kurikulum kehidupan.

Selain itu, standar isi pendidikan pun sebaiknya tidak terpaku pada standar ilmu pengetahuan (iptek), melainkan meluas ke standar etika, estetika, nasionalisme, kesehatan, dan olahraga.

Seimbang Pikiran, Tubuh, Jiwa

Pandemi ini juga memaksa anak beradaptasi dengan perubahan metode pembelajaran. Dalam pandangan dosen, psikolog, dan penulis buku Efnie Indrianie, ada tiga aspek yang harus diseimbangkan yakni pikiran (mind)), tubuh (body), dan jiwa (soul).

Pada intinya, untuk memotivasi anak untuk belajar selama masa pandemi ini adalah harus ada koordinasi dan kerja sama antara guru dan orang tua. Mereka harus sejalan dalam proses pendampingan anak. “Satu hal yang perlu diingat adalah jagalah keseimbangan antara mind, body and soul itu,'' katanya.

Efnie menjelaskan, ketiga hal di atas perlu diseimbangkan karena akan bisa menciptakan kesejahteraan. Hal ini tentunya harus dimulai dari orang tua terlebih dulu sehingga ketika orang tua merasa sudah sejahtera dan tenang maka akan bisa menciptakan situasi yang tenang. Muaranya anak juga bahagia dan hal tersebut memengaruhi tumbuh kembangnya. (Baca juga: Pandemi, Jangan Stop Vaksin Anak)

Kenapa pikiran, tubuh, dan jiwa itu penting? Dalam pandangan Indrianie, terbentuknya perilaku anak adalah karena adanya integrasi ketiganya. Dia menjelaskan, pada fase anak sebelum usia lima tahun anak membutuhkan afeksi, kasih sayang, kebersamaan, dan belajar berbagi.

“Untuk memotivasi anak sebelum usia lima tahun harus ditekankan kebersamaan dan kekompakan keluarga. Karena tahapan perkembangan fungsi otak di usia ini membutuhkan itu," paparnya.

Anak-anak usia lima tahun ke atas atau anak-anak di jenjang SD sudah mulai berpikir kritis. Maka, untuk meningkatkan motivasi pada anak tidak bisa diberi instruksi saja. Anak usia ini harus diberi tanggung jawab dan tugas dengan diawali adanya perencanaan bersama. Tugas yang diberikan pun harus dimulai yang mudah dulu.

Aspek yang perlu dijaga kedua adalah aspek tubuh. Indrianie menjelaskan, hal yang harus dilakukan pada aspek ini adalah menjaga kadar oksigen di dalam tubuh. Jika anak-anak hanya diberi tugas tanpa ada kesempatan untuk bergerak dan bermain maka kadar oksigen di tubuh akan turun. Hal ini akan berdampak anak malas untuk mengerjakan sesuatu.

Afnie menjabarkan, untuk meningkatkan kehangatan dan kebersamaan maka aktivitas olahraga ringan atau jalan santai dengan protokol kesehatan bisa dilakukan bersama anak. "Saat anak bisa menikmati sinar matahari dan berjalan kaki maka kadar endorfinnya naik. Dia pun akan lebih bahagia," ujarnya. (Baca juga: Selandia Baru Berhasil Lenyapkan Covid-19 untuk Kedua Kalinya)

Afnie menerangkan, aspek ketiga yang harus dijaga keseimbangannya adalah sisi spiritualitas anak. Dia menjelaskan, ketika anak mengucapkan kata-kata baik sesuai keyakinannya dalam bentuk doa maka ada aliran elektromagnetik yang membuat fungsi otak menjadi lebih kuat. Dengan demikian, anak tidak gampang stres dan lebih siap dalam menghadapi tantangan.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, perubahan cara mengajar atau belajar pada saat pandemi juga bisa berpengaruh terhadap psikologi seseorang. Dia menyebutkan, berbagai kendala dirasakan para orang tua dan siswa ketika menjalani pembelajaran dalam jaringan (daring).

"Juga pada anak-anak ada sistem yang mengharuskan menjalani pendidikan di rumah atau jarak jauh. Ini juga membuat stres kepada anak dan orang tua, apalagi keterbatasan internet dan lainnya. Sungguh sangat memprihatinkan," ucapnya kemarin.

Atas dasar ini, RSJ Provinsi Jabar juga meluncurkan program Konsultasi Jiwa Online (KJOL) sebagai jawaban atas meningkatnya masalah kejiwaan di masa pandemi Covid-19. Berdasarkan survei Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Puslitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2020, 6,8% masyarakat Indonesia mengalami kecemasan. Padahal, 85,3% sebelumnya tidak memiliki riwayat gangguan psikis. (Lihat videonya: Pedagang Tanaman Hias Raup Untung di Tengah Pandemi Covid-19)

Direktur Utama (Dirut) RSJ Jabar, Elly Marliyani, mengungkapkan, terdapat peningkatan durasi penggunaan gawai selama pandemi. Berdasarkan penelitian RSCM FK UI April-Juni 2020, terjadi peningkatan waktu rata-rata penggunaan gawai hingga 11,6 Jam per hari dan peningkatan kecanduan internet pada remaja 19,3%. Kondisi tersebut berpotensi menyebabkan stres bagi orang tua maupun anak.

"Terbukti sejak pandemi terjadi peningkatan kunjungan pasien gangguan cemas di RSJ sampai September 2020 sebanyak 14% dibandingkan bulan yang sama pada 2019," ungkap Elly. (Neneng Zubaidah/Agung Bakti Sarasa)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1084 seconds (0.1#10.140)