Dosen Biofisika Unair Kembangkan Fotodinamik sebagai Inovasi Medis
loading...
A
A
A
SURABAYA - Inovasi dunia medis terus dikembangkan, di antaranya oleh Universitas Airlangga (Unair) dalam beberapa tahun terakhir, yakni pengembangan biofilm yang berhubungan dengan penyakit infeksi yang kronis.
Apalagi, sejak 1990 telah diketahui kalau bakteri yang menyebabkan penyakit pada manusia mampu membentuk biofilm. Keberadaan biofilm adalah suatu komunitas sel bakteri yang terstruktur dan saling menempel serta melekat pada permukaan biologis maupun benda mati. (Baca juga: Kemenag, LIPI dan Nano Center Indonesia Kembangkan Madrasah Riset )
Dengan formasi tersebut menyebabkan bakteri pembuat biofilm mampu bertahan terhadap lingkungan ekstrim yang membahayakan. Secara klinis dari infeksi bakteri tersebut menyebabkan adanya resistensi atau penghambat terhadap antibiotik. Hanya saja, terapi antibiotik umumnya hanya membunuh sel-sel bakteri planktonic. Sementara bakteri yang tersusun rapat dalam biofilm akan tetap hidup dan berkembang.
Guru besar baru Universitas Airlangga (Unair) Prof. Suryani Dyah Astuti, mencoba inovasi pengembangan instrumen medis berbasis fotonik untuk terapi antimikroba dan biomodulasi. Inovasi ini merupakan metode alternatif untuk mengatasi infeksi biofilm pada penyakit kronis.
Prof. Dyah menuturkan, terapi fotodinamik merupakan suatu metode yang digunakan untuk menghilangkan suatu sel yang berbahaya seperti mikroba, kanker dan penyakit infeksi. Inovasi tersebut dengan kombinasi cahaya, fotosensitiser dan oksigen akan menyebabkan fotoinaktivasi pada bakteri. (Baca juga: Epidemiolog UGM: Cegah Klaster Pesantren, Terapkan Karantina Mandiri )
“Ada penghambatan aktivitas metabolisme sel karena kerusakan membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif,” katanya, Jumat (9/10/2020).
Gubes Fakultas Sains dan Teknologi aktif ke-14 ini melanjutkan, fotosensitisasi sebagai salah satu kombinasi merupakan proses penyerapan cahaya oleh molekul fotosensitiser yang selanjutnya mengaktivasi terjadinya reaksi kimia menghasilkan berbagai spesies oksigen reaktif. Fotosensitisasi bergantung pada jenis dan konsentrasi dari porfirin yang berperan sebagai molekul penyerap cahaya.
Secara alamiah, katanya, beberapa bakteri mensintesis senyawa porfirin sebagai molekul endogen fotosensitiser yang bersifat peka terhadap cahaya. Spektrum porfirin sendiri terdiri atas dua pita terpisah, muncul pada daerah ultraviolet dekat dan daerah cahaya tampak, yang menyebabkan porfirin kaya warna. (Baca juga: Penyetaraan Akreditasi, 30 Program Studi di ITB Raih Predikat Unggul )
“Kepekaan terhadap cahaya ini terutama berkaitan dengan panjang gelombang cahaya yang dipaparkan. Kebanyakan porfirin memiliki serapan pada daerah sinar tampak (400 – 700 nano meter),” kata guru besar bidang biofisika tersebut.
Prof. Dyah bersama tim telah mengembangkan instrumen medis dengan berbagai produk salah satunya dentolaser biomodulasi yang dapat bermanfaat untuk proses penyembuhan luka dan akupuntur. Pengembangan tersebut dimulai sejak 2007 dengan hewan uji mencit dan dikembangkan hingga menjadi produk yang telah masuk paten.
Apalagi, sejak 1990 telah diketahui kalau bakteri yang menyebabkan penyakit pada manusia mampu membentuk biofilm. Keberadaan biofilm adalah suatu komunitas sel bakteri yang terstruktur dan saling menempel serta melekat pada permukaan biologis maupun benda mati. (Baca juga: Kemenag, LIPI dan Nano Center Indonesia Kembangkan Madrasah Riset )
Dengan formasi tersebut menyebabkan bakteri pembuat biofilm mampu bertahan terhadap lingkungan ekstrim yang membahayakan. Secara klinis dari infeksi bakteri tersebut menyebabkan adanya resistensi atau penghambat terhadap antibiotik. Hanya saja, terapi antibiotik umumnya hanya membunuh sel-sel bakteri planktonic. Sementara bakteri yang tersusun rapat dalam biofilm akan tetap hidup dan berkembang.
Guru besar baru Universitas Airlangga (Unair) Prof. Suryani Dyah Astuti, mencoba inovasi pengembangan instrumen medis berbasis fotonik untuk terapi antimikroba dan biomodulasi. Inovasi ini merupakan metode alternatif untuk mengatasi infeksi biofilm pada penyakit kronis.
Prof. Dyah menuturkan, terapi fotodinamik merupakan suatu metode yang digunakan untuk menghilangkan suatu sel yang berbahaya seperti mikroba, kanker dan penyakit infeksi. Inovasi tersebut dengan kombinasi cahaya, fotosensitiser dan oksigen akan menyebabkan fotoinaktivasi pada bakteri. (Baca juga: Epidemiolog UGM: Cegah Klaster Pesantren, Terapkan Karantina Mandiri )
“Ada penghambatan aktivitas metabolisme sel karena kerusakan membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif,” katanya, Jumat (9/10/2020).
Gubes Fakultas Sains dan Teknologi aktif ke-14 ini melanjutkan, fotosensitisasi sebagai salah satu kombinasi merupakan proses penyerapan cahaya oleh molekul fotosensitiser yang selanjutnya mengaktivasi terjadinya reaksi kimia menghasilkan berbagai spesies oksigen reaktif. Fotosensitisasi bergantung pada jenis dan konsentrasi dari porfirin yang berperan sebagai molekul penyerap cahaya.
Secara alamiah, katanya, beberapa bakteri mensintesis senyawa porfirin sebagai molekul endogen fotosensitiser yang bersifat peka terhadap cahaya. Spektrum porfirin sendiri terdiri atas dua pita terpisah, muncul pada daerah ultraviolet dekat dan daerah cahaya tampak, yang menyebabkan porfirin kaya warna. (Baca juga: Penyetaraan Akreditasi, 30 Program Studi di ITB Raih Predikat Unggul )
“Kepekaan terhadap cahaya ini terutama berkaitan dengan panjang gelombang cahaya yang dipaparkan. Kebanyakan porfirin memiliki serapan pada daerah sinar tampak (400 – 700 nano meter),” kata guru besar bidang biofisika tersebut.
Prof. Dyah bersama tim telah mengembangkan instrumen medis dengan berbagai produk salah satunya dentolaser biomodulasi yang dapat bermanfaat untuk proses penyembuhan luka dan akupuntur. Pengembangan tersebut dimulai sejak 2007 dengan hewan uji mencit dan dikembangkan hingga menjadi produk yang telah masuk paten.
(mpw)