Anggota Dewan Ini Setuju Sekolah Tatap Muka, Ini Alasannya

Kamis, 31 Desember 2020 - 20:40 WIB
loading...
Anggota Dewan Ini Setuju Sekolah Tatap Muka, Ini Alasannya
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian melihat bahwa pandemi Covid-19 memberikan tekanan yang berat bagi semua pihak, tidak hanya secara ekonomi dan kesehatan, tapi juga psikologis. Bahkan, bagi anak-anak yang selama pandemi tidak melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah, tekanan itu cukup terasa berat.

"Menurut survei Kemendikbud , 62,5 persen siswa tidak menganggap bahwa belajar dari rumah menyenangkan. Dari berbagai kegiatan penyerapan aspirasi yang kami lakukan melalui berbagai kanal, banyak sekali umpan balik dari siswa yang meminta sekolah untuk dibuka kembali. Ini cukup mengejutkan, karena ternyata siswa tidak menikmati belajar di rumah dan justru tidak sabar ingin masuk kembali ke sekolah. Menurut survey yang dilaksanakan oleh Balitbang Kemendikbud, 62,5 persen siswa tidak menganggap bahwa belajar dari rumah menyenangkan," kata Hetifah dalam keterangannya, Kamis (31/12/2020). (Baca juga: Pembelajaran Daring akan Menjadi Metode Belajar Efektif )

Hetifah melanjutkan, data-data yang ada juga menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga meningkat selama pandemi. Menurut catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 75% selama pandemi. Sementara menurut LBH Apik, laporan kekerasan pada perempuan selama pandemi mencapai rata-rata 90 kasus per bulan, dari yang biasanya hanya sekitar 30 kasus per bulan, mayoritas terjadi dalam skala rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua rumah dapat menghadirkan perasaan nyaman bagi anak.

"Banyak siswa yang menganggap berada di sekolah lebih aman daripada di rumah, dan sekolah menjadi tempat bernaung dari kondisi rumah yang tidak kondusif," terangnya.

Untuk itu, menurut legislator Dapil Kalimantan Timur ini, data-data tersebut menjadi pertimbangan besar bagi pemerintah untuk mulai melonggarkan kebijakan pembukaan sekolah. Selain hal yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa dampak negatif yang dapat terjadi jika kebijakan belajar dari rumah tetap dilaksanakan, salah satunya adalah potensi learning loss, atau kehilangan pembelajaran. Hal ini disebabkan salah satunya karena rendahnya akses internet di berbagai daerah, juga perbedaan kemampuan SDM pengajar dalam melakukan pendidikan jarak jauh. (Baca juga: Bantuan Subsidi Upah Cair, Ribuan Guru Honorer di Rembang Ucap Syukur )

"Jika ini terjadi, kesenjangan dalam dunia pendidikan akan terus melebar antara mereka yang berasal dari keadaan sosial ekonomi tinggi dan rendah. Jika ini dibiarkan, angka putus sekolah juga terancam meningkat akibat banyaknya anak yang tidak bersekolah dan justru bekerja di masa pandemi ini," beber Hetifah.

Dengan demikian, kata Hetifah, pembukaan sekolah adalah salah satu upaya yang diambil untuk mereduksi dampak-dampak negatif di atas. Tentu saja kebijakan tersebut tidak diambil dengan semena-mena dan terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan tatap muka.

Dan sekali lagi, pembelajaran tatap muka bukan diwajibkan, tetapi dibolehkan untuk mereka yang merasa perlu. Kebijakan pembukaan sekolah yang sebelumnya direstriksi oleh pusat, sekarang diberikan ke daerah. Hal ini disebabkan oleh besar dan beragamnya wilayah di Indonesia, sehingga kebijakan yang tersentralisasi dan one size fits all tidak akan berhasil dan justru tidak optimal dalam menangani permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan.

"Pemerintah daerah (pemda) dengan kebijaksanaannya harusnya dapat menilai dengan lebih baik, apakah sebuah daerah siap dan aman untuk melakukan pembelajaran tatap muka," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini.

Setelah pemda memperbolehkan daerahnya melakukan pembelajaran tatap muka, dia melanjutkan, pihak yang berwenang selanjutnya adalah kepala sekolah. Bagi kepala sekolah yang merasa sudah dapat memenuhi daftar periksa, dapat membuka sekolahnya. Namun jika kepala sekolah merasa sekolahnya belum siap, maka tidak ada kewajiban baginya untuk membuka sekolah, dan pembelajaran tetap dapat dilakukan secara jarak jauh.

"Daftar periksa yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan pembelajaran tatap muka meliputi antara lain ketersediaan sarana sanitasi termasuk toilet layak, sarana cuci tangan, dan disinfektan, adanya akses terhadap pelayanan kesehatan, kesiapan menerapkan wajib masker, memiliki thermogun, memiliki pemetaan warga sekolah yang memiliki komorbid, pemetaan warga yang tidak memiliki akses transportasi yang aman, memiliki riwayat perjalanan dari wilayah resiko tinggi, serta terakhir harus mendapat persetujuan dari komite sekolah, perwakilan orangtua atau wali," urainya.

Terakhir, kata Hetifah, persetujuan dari orang tua/wali menjadi poin krusial, karena mereka menjadi garda terdepan kebijakan ini. Jika orang tua belum mengizinkan anak-anaknya menjalankan pembelajaran tatap muka, maka hal itu tidak boleh dipaksakan, dan anak-anak tersebut harus tetap mendapatkan layanan pendidikan secara daring atau melalui cara-cara lainnya. Kalaupun suatu sekolah telah memenuhi semua syarat pembukaan, tidak berarti mereka dapat melakukan pembelajaran tatap muka secara normal seperti sebelum pandemi.

"Terdapat protokol ketat yang harus dipenuhi, antara lain harus menjaga jarak antar meja di kelas minimal 1,5 meter, jumlah maksimal peserta didik di ruang kelas 50 persen dari keadaan normal, sistem bergiliran rombongan belajar, menggunakan masker kain 3 lapis atau masker bedah sekali pakai, cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau menggunakan hand sanitizer, serta menerapkan etika batuk atau bersin," terang Hetifah.

Oleh karena itu, kata dia, dengan berbagai persyaratan di atas, kebijakan pembukaan suatu sekolah bukan suatu hal yang mudah untuk diambil. Tidak terpenuhinya satu saja poin di atas, berarti sekolah tersebut dilarang untuk dibuka. Tinggal bagaimana praktiknya di lapangan dan juga pengawasan yang efektif dari masyarakat. Sehingga, komite sekolah, dewan pengawas, dan anggota masyarakat lainnya dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, membuat sistem terintegrasi yang memungkinkan seluruh masyarakat untuk mengawasi keberjalanan pembelajaran tatap muka di suatu daerah dan menyediakan hotline untuk aspirasi dan pengaduan.

"Kami sebagai wakil rakyat mendorong seluruh stakeholder untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan ini. Lebih baik menghindari mudarat yang lebih besar, dan lebih baik mencegah daripada mengobati," tutur Hetifah.

"Pembangunan infrastruktur telekomunikasi, bantuan gawai, serta program pendampingan guru tetap harus menjadi fokus pembangunan pendidikan kedepannya, karena di masa depan, blended learning atau pembelajaran campuran daring dan luring tidak dapat terelakkan. Kami mengimbau para pemangku kepentingan di seluruh daerah di Indonesia untuk berusaha sebaik mungkin dalam mengambil kebijakan pendidikan yang berkeadilan, dengan tetap menomorsatukan kesehatan, demi pembangunan SDM Indonesia Unggul yang sehat dan cerdas," tandasnya.
(mpw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1346 seconds (0.1#10.140)