3 Mahasiswi IPB University Gagas Resilient Ecotone untuk Keberlanjutan Hutan
loading...
A
A
A
JAKARTA - 3 mahasiswi IPB University berhasil membuat konsep resilient ecotone. Resilient Ecotone merupakan konsep perencanaan kawasan resistansi melalui pendekatan ekologi lanskap berbasis sosial, ekonomi, dan ekologi sebagai penyokong keberlanjutan hutan.
Para mahasiswi Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB University ini adalah Anisa Muplihah, Nafidzah Qisthina, Ai’ Sukma Wisiking Gusti dengan bimbingan Dr Kaswanto.
Dr Kaswanto menjelaskan konsep ini berasal dari penerapan dasar ilmiah keilmuan Ekologi Lanskap (Landscape Ecology) yang berfokus pada mitigasi terhadap gangguan (disturbance) yang mucul pada lanskap hutan. Ia pun berharap, konsepnya itu dapat terimplementasi dalam jangka waktu 20-30 tahun mendatang.
“Model Resilient Ecotone ini sangat diharapkan menjadi perhatian bersama, bahwa sebenarnya kebakaran hutan dapat ditanggulangi secara masif dan berkelanjutan. Kombinasi gagasan model ini dilakukan dengan pola kawasan, sensor kebakaran, konservasi, dan strata vegetasi merupakan model mumpuni dan multiplikatif,” katanya melalui siaran pers, Selasa (9/2/2021).
Dia menuturkam, resilient ecotone ini juga akan disampaikan ke Letjen TNI Doni Monardo selaku Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ia berharap upayanya itu dapat memberikan energi positif bagi seluruh pihak dalam mengatasi kebakaran hutan.
Ketua Tim Anisa Muplihah mengatakan, model kawasan yang mereka kembangkan menggunakan pendekatan ekologi lanskap. Harapannya, konsep ini dapat melindungi dan memperbaiki ekosistem di dalamnya secara alami.
Anisa menambahkan, input teknologi yang ditawarkan dalam model ini menggunakan teknologi ramah lingkungan. Tidak hanya itu, teknologi yang digunakan merupakan teknologi terbarukan sehingga tidak mengganggu ekosistem.
Ia pun mengklaim, konsep Resilient Ecotone mengedepankan keberlanjutan ekologi dan input teknologi yang direalisasikan dengan 4 elemen penting: pola kawasan, sensor kebakaran, konservasi, dan strata vegetasi. Vegetasi di sekitar hutan membantu menahan api yang berguna sebagai sekat bakar hijau (greenbelt).
"Sistem sensor dapat menjadi cara cepat untuk mengetahui awal mula terjadi kebakaran sehingga dapat dilakukan penanganan secara cepat dengan teknologi sensor satelit, dan eco-foam bomb sebagai agen pemadam api yang akan melontar secara otomatis ke titik koordinat kebakaran hutan terdeteksi," tambah Anisa.
Saat ini konsep Resilient Ecotone masih berada pada tahap penelitian dan kajian yang dilakukan secara simultan melalui pelibatan stakeholders. Konsep pelibatan yang digagas adalah kerjasama antara Academician, Businessman, Government, Community and Massmedia (ABGCM) atau Pentahelix Collaboration.
"Gagasan ini menjadi bukti kontribusi dari kalangan akademisi terhadap konservasi lanskap hutan agar pemanfaatannya semakin berkelanjutan. Model Resilient Ecotone ini menjadi jawaban terhadap eskalasi kejadian forest fire disturbance di Indonesia," tutup Dr Kaswanto.
Para mahasiswi Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB University ini adalah Anisa Muplihah, Nafidzah Qisthina, Ai’ Sukma Wisiking Gusti dengan bimbingan Dr Kaswanto.
Dr Kaswanto menjelaskan konsep ini berasal dari penerapan dasar ilmiah keilmuan Ekologi Lanskap (Landscape Ecology) yang berfokus pada mitigasi terhadap gangguan (disturbance) yang mucul pada lanskap hutan. Ia pun berharap, konsepnya itu dapat terimplementasi dalam jangka waktu 20-30 tahun mendatang.
“Model Resilient Ecotone ini sangat diharapkan menjadi perhatian bersama, bahwa sebenarnya kebakaran hutan dapat ditanggulangi secara masif dan berkelanjutan. Kombinasi gagasan model ini dilakukan dengan pola kawasan, sensor kebakaran, konservasi, dan strata vegetasi merupakan model mumpuni dan multiplikatif,” katanya melalui siaran pers, Selasa (9/2/2021).
Dia menuturkam, resilient ecotone ini juga akan disampaikan ke Letjen TNI Doni Monardo selaku Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ia berharap upayanya itu dapat memberikan energi positif bagi seluruh pihak dalam mengatasi kebakaran hutan.
Ketua Tim Anisa Muplihah mengatakan, model kawasan yang mereka kembangkan menggunakan pendekatan ekologi lanskap. Harapannya, konsep ini dapat melindungi dan memperbaiki ekosistem di dalamnya secara alami.
Anisa menambahkan, input teknologi yang ditawarkan dalam model ini menggunakan teknologi ramah lingkungan. Tidak hanya itu, teknologi yang digunakan merupakan teknologi terbarukan sehingga tidak mengganggu ekosistem.
Ia pun mengklaim, konsep Resilient Ecotone mengedepankan keberlanjutan ekologi dan input teknologi yang direalisasikan dengan 4 elemen penting: pola kawasan, sensor kebakaran, konservasi, dan strata vegetasi. Vegetasi di sekitar hutan membantu menahan api yang berguna sebagai sekat bakar hijau (greenbelt).
"Sistem sensor dapat menjadi cara cepat untuk mengetahui awal mula terjadi kebakaran sehingga dapat dilakukan penanganan secara cepat dengan teknologi sensor satelit, dan eco-foam bomb sebagai agen pemadam api yang akan melontar secara otomatis ke titik koordinat kebakaran hutan terdeteksi," tambah Anisa.
Saat ini konsep Resilient Ecotone masih berada pada tahap penelitian dan kajian yang dilakukan secara simultan melalui pelibatan stakeholders. Konsep pelibatan yang digagas adalah kerjasama antara Academician, Businessman, Government, Community and Massmedia (ABGCM) atau Pentahelix Collaboration.
"Gagasan ini menjadi bukti kontribusi dari kalangan akademisi terhadap konservasi lanskap hutan agar pemanfaatannya semakin berkelanjutan. Model Resilient Ecotone ini menjadi jawaban terhadap eskalasi kejadian forest fire disturbance di Indonesia," tutup Dr Kaswanto.
(mpw)