Kisah Zainul Muttaqin, Guru Tunanetra yang Berjuang dari Ruang Gelap Kehidupan
loading...
A
A
A
"Yang paling berkesan bagi saya pertama adalah mengajarkan Al-Qur’an Braille kepada para murid dan kedua mengajarkan nilai-nilai akhlak, sehingga pada akhirnya murid-murid saya mampu membaca Alquran dengan baik dan benar serta bersungguh-sungguh mengamalkan akhlak yang baik. Bagi saya ini merupakan kepuasan batin yang amat luar biasa," ujarnya seperti dilansir dari laman resmi Kemenag, Selasa (6/4/2021).
Zainulpun merasa bangga bahwa di antara murid-muridnya ada yang memiliki hafalan lebih dari 1 juz. Menurutnya, hal ini merupakan tren positif yang sedang menggejala di kalangan peserta didik tunanetra.
"Anak-anak itu banyak yang ingin menjadi hafiz, dan ini buat saya suatu perkembangan yang menggembirakan. Murid saya setidaknya ada dua orang yang sudah memiliki hafalan lebih dari 1 juz. Jadi, di samping mereka belajar membaca sesuai kaidah ilmu tajwid, mereka juga berusaha untuk menghafalkannya," terangnya.
Namun demikian, seringkali kenyataan hidup tak selamanya ditaburi sesuatu yang menyenangkan. Raut wajah Zainul berubah getir, nafasnya menghela berat saat menceritakan kondisi keluarga murid-muridnya.
"Murid-murid saya kebanyakan dari keluarga pra sejahtera atau tidak mampu, dan umumnya kalangan tunanetra seperti itu. Ditambah yang menyandang tunanetra bukan hanya satu dua orang, ada yang hampir satu keluarga menyandang tunanetra semuanya. Ini keadaan yang harus saya hadapi, tidak bisa saya meminta lebih dari mereka. Semisal pembelajaran jarak jauh seperti sekarang ini, satu rumah hanya ada satu telepon seluler, sehingga saya harus maklum dengan kondisi murid-murid saya," cerita Zainul.
Persoalan lain yang memicu keprihatinannya adalah pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille yang belum tuntas. Masih banyak penyandang tunanetra yang belum mampu membaca Al-Qur’an Braille. "Angka yang saya dapat dari sebuah penelitian, tunanetra muslim di Indonesia ini tidak lebih dari 5% yang mampu membaca Al-Qur’an Braille. Darurat buta huruf Al-Qur’an Braille istilahnya, dan ini harus menjadi keprihatinan kita bersama," ungkapnya.
Zainul berharap pemerintah khususnya Kementerian Agama, dapat lebih memberikan perhatian terhadap pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille, karena institusi pemerintah dengan jaringannyalah yang mampu mengoptimalkan sumber daya untuk pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille.
"Saya berterima kasih kepada Kementerian Agama yang sudah banyak mengangkat CPNS Guru PAI untuk SLB. Saya juga pernah mengikuti kegiatan Lajnah Pentashih Alquran dalam rangka Penyusunan Modul Penulisan Al-Qur’an Braille. Lebih dari itu, saya berharap Kementerian Agama dapat mengambil peran dalam pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille. Pemerintah dengan segala jaringannyalah yang mampu menggerakkan segala sumber daya demi pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille ini," tukas Zainul.
Bertugas mengajar peserta didik berkebutuhan khusus, dimana dirinya juga tergolong orang berkebutuhan khusus, tidak menyurutkan langkah Zainul untuk mengabdi sepenuh hati. Langkahnya mantap untuk selalu merajut asa di tengah ruang gelap yang menjadi takdir kehidupannya.
"Pegangan saya dua, pertama saya yakin bahwa Allah tidak membebani di luar kesanggupan kita. Kedua, saya yakin bahwa Allah memberikan segala kemampuan kepada kita untuk menghadapi masalah, jadi satu paket. Selama saya bertawakal, insya Allah akan selalu ada jalan untuk memecahkan masalah yang terjadi," tutupnya.
Zainulpun merasa bangga bahwa di antara murid-muridnya ada yang memiliki hafalan lebih dari 1 juz. Menurutnya, hal ini merupakan tren positif yang sedang menggejala di kalangan peserta didik tunanetra.
"Anak-anak itu banyak yang ingin menjadi hafiz, dan ini buat saya suatu perkembangan yang menggembirakan. Murid saya setidaknya ada dua orang yang sudah memiliki hafalan lebih dari 1 juz. Jadi, di samping mereka belajar membaca sesuai kaidah ilmu tajwid, mereka juga berusaha untuk menghafalkannya," terangnya.
Namun demikian, seringkali kenyataan hidup tak selamanya ditaburi sesuatu yang menyenangkan. Raut wajah Zainul berubah getir, nafasnya menghela berat saat menceritakan kondisi keluarga murid-muridnya.
"Murid-murid saya kebanyakan dari keluarga pra sejahtera atau tidak mampu, dan umumnya kalangan tunanetra seperti itu. Ditambah yang menyandang tunanetra bukan hanya satu dua orang, ada yang hampir satu keluarga menyandang tunanetra semuanya. Ini keadaan yang harus saya hadapi, tidak bisa saya meminta lebih dari mereka. Semisal pembelajaran jarak jauh seperti sekarang ini, satu rumah hanya ada satu telepon seluler, sehingga saya harus maklum dengan kondisi murid-murid saya," cerita Zainul.
Persoalan lain yang memicu keprihatinannya adalah pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille yang belum tuntas. Masih banyak penyandang tunanetra yang belum mampu membaca Al-Qur’an Braille. "Angka yang saya dapat dari sebuah penelitian, tunanetra muslim di Indonesia ini tidak lebih dari 5% yang mampu membaca Al-Qur’an Braille. Darurat buta huruf Al-Qur’an Braille istilahnya, dan ini harus menjadi keprihatinan kita bersama," ungkapnya.
Zainul berharap pemerintah khususnya Kementerian Agama, dapat lebih memberikan perhatian terhadap pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille, karena institusi pemerintah dengan jaringannyalah yang mampu mengoptimalkan sumber daya untuk pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille.
"Saya berterima kasih kepada Kementerian Agama yang sudah banyak mengangkat CPNS Guru PAI untuk SLB. Saya juga pernah mengikuti kegiatan Lajnah Pentashih Alquran dalam rangka Penyusunan Modul Penulisan Al-Qur’an Braille. Lebih dari itu, saya berharap Kementerian Agama dapat mengambil peran dalam pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille. Pemerintah dengan segala jaringannyalah yang mampu menggerakkan segala sumber daya demi pemberantasan buta huruf Al-Qur’an Braille ini," tukas Zainul.
Bertugas mengajar peserta didik berkebutuhan khusus, dimana dirinya juga tergolong orang berkebutuhan khusus, tidak menyurutkan langkah Zainul untuk mengabdi sepenuh hati. Langkahnya mantap untuk selalu merajut asa di tengah ruang gelap yang menjadi takdir kehidupannya.
"Pegangan saya dua, pertama saya yakin bahwa Allah tidak membebani di luar kesanggupan kita. Kedua, saya yakin bahwa Allah memberikan segala kemampuan kepada kita untuk menghadapi masalah, jadi satu paket. Selama saya bertawakal, insya Allah akan selalu ada jalan untuk memecahkan masalah yang terjadi," tutupnya.