Hasil Survei, Mayoritas Orang Tua dan Siswa Ingin Sekolah Dibuka

Kamis, 29 April 2021 - 21:24 WIB
loading...
Hasil Survei, Mayoritas Orang Tua dan Siswa  Ingin Sekolah Dibuka
Sejumlah siswa sekolah dasar mengikuti pembelajaran tatap muka di Jabar. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Hasil sigi Arus Survei Indonesia (ASI) menunjukkan mayoritas orang tua dan siswa-siswi ingin segera melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM). Diminta tetap melihat jumlah penyebaran virus Sars Cov-II yang mengintai kesehatan guru dan siswa.

Sigi yang dilakukan pada 21-25 April 2021 ini untuk melihat pandangan masyarakat terhadap penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Riset dan Teknologi (Ristek), serta efektivitas pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan rencana PTM pada pertengahan tahun ini. Survei ini dilakukan dengan mewawancarai 1.000 responden melalui telepon.



Margin error dari survei ini +/- 3 persen. Direktur eksekutif ASI Ali Rif'an mengungkapkan hanya 39,6 persen masyarakat yang mengetahui penggabungan Kemendikbud dengan Kemenristek. Jumlah orang yang menjawab tidak tahu mencapai 42,7 persen dan sisanya 17,7 persen tidak menjawab. Namun, masyarakat yang mendukung penggabungan ini mencapai 58,9 persen.

Masyarakat yang tidak setuju hanya 22,8 persen. sisanya, sebanyak 18,3 persen menjawab tidak tahu. Akibat penggabungan ini, Menristek Bambang Brodjonegoro harus terdepak dari kabinet. Sedangkan, Nadiem Makarim tetap memimpin Kemendikbud dengan penambahan tugas di bidang ristek. “46,8 persen menyatakan ini sebagai langkah yang tepat untuk memperbaiki masa depan pendidikan nasional,” ujarnya, Kamis (29/4/2021).

Akan tetapi, Nadiem perlu melihat suara masyarakat mengenai pelaksanaan PJJ yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun ini. ada 65,7 persen masyarakat yang menyatakan PJJ tidak efektif. Ini berbanding jomplang dengan yang menyatakan sudah efektif, yakni 24,4 persen. “Ini menjawab kebutuhan bahwa harus segera PTM,” ucap Ali.



Ada beberapa alasan yang diungkap oleh yang pro setuju PTM. Pertama, pembelajaran daring kurang maksimal. Kedua, siswa sudah jenuh belajar dari rumah (BDR). Ketiga, tren penyebaran Covid-19 menurun. Terakhir, sudah ada vaksinasi. Sementara itu, alasan dari yang tidak setuju PTM, antara lain, penyebaran Covid-19 masih tinggi. Persentase yang menyatakan itu mencapai 39,7 persen.

Lalu, 21 persen menyatakan jumlah orang yang divaksinasi masih sedikit. Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19, jumlah orang yang sudah divaksinasi sebanyak dua kali sekitar 7.566.371 dan 12.280.765 orang yang sekali disuntik. Ali Rif'an mengatakan ada 17,3 persen mengungkapkan bahwa siswa-siswi rentan terpapar Covid-19. “Anak-anak lebih rentan tertular karena literasi prokesnya belum kuat. Belum paham,” tuturnya.

Pagebluk Covid-19 memaksa semua orang untuk akrab dengan gawai, internet, dan berbagai platform media sosial (medsos) dan pembelajaran. Dalam sigi ASI, 64,7 persen menyatakan penggunaan teknologi digital sangat dibutuhkan di masa depan. Kemudian, 20,4 persen tidak dibutuhkan lagi setelah pagebluk berlalu.



Mayoritas masyarakat, menurut Ali, yakin pendidikan yang terintegrasi teknologi digital akan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Meskipun nanti PTM digelar, teknologi informasi (TI) dan gawai akan dibutuhkan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar (KBM). “Kalau tidak menjadi penunjang akan ketinggalan. Sekarang informasi tersebar di medsos dan internet,” tegasnya.

Sementera itu, peneliti bidang pendidikan ASI Budi Sugandi mengatakan tidak ada satu negara pun di dunia yang optimal menjalankan aktivitas pendidikannya di masa pagebluk Covid-19. Di Indonesia, sebelum pagebluk saja, sudah banyak pekerjaan rumah (PR) dunia pendidikan yang harus diselesaikan. Dunia pendidikan terseok-seok ketika harus beradaptasi dengan era new normal.

Budi menjelaskan sebenarnya pelaksanaan pendidikan selama pagebluk ini tidak bisa ditumpukan semuanya pada Kemendikbud-Ristek. Perlu ada peran kementerian lain, seperti komunikasi dan informatika (Kominfo) dalam hal penyediaan jaringan internet. Bagi siswa yang tinggal di wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal, PJJ tentu akan sulit dilaksanakan karena jaringan internet yang buruk.

Ditambah lagi, tidak banyak yang memiliki gawai. “Saya melihat orang tua belum siap dengan belajar dari rumah. Banyak orang tua yang stress karena pembelajaran untuk SMP dan SMA jauh lebih sulit dari pengetahuannya. Edukasi terhadap orang tua perlu digalakkan lagi,” jelasnya.

Bertahap

Pengamat pendidikan Itje Chodidjah mengatakan PTM harus dilakukan secara bertahap. Dia mengungkapkan kejenuhan yang dialami anak-anak itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Akan tetapi, dirasakan anak-anak di seluruh dunia. Dia mewanti-wanti Kemendikbud-Ristek untuk memperhatikan psikis anak-anak karena ada jeda satu tahun mereka tidak bertemu dengan teman-teman dan gurunya.

“Anak-anak ke sekolah dengan kondisi psikologis goyah. Ini perlu menjadi perhatian masyarakat dan Kemendikbud. Bagaimana Kemendikbud merancang waktu dan kegiatan kembali ke sekolah yang sehat secara psikologi setelah mengalami turbulensi proses belajar di rumah. Ada proses belajar daring yang menyenangkan, tetapi tidak sedikit anak-anak tidak belajar,” tuturnya.

Itje menyatakan saat ini masyarakat tidak bisa menghindari lagi pemanfaatan dan pengintegrasian TI. Anak-anak, menurutnya, sudah terpapar berbagai informasi dari aneka platform digital. “Saya berharap Kemendikbud mengupayakan adanya program dan panduan melalui aplikasi yang sebar secara luas. Modelnya (harus) sederhana untuk memberikan wawasan kepada guru dan orang tua bagaimana memanfaatkan teknologi dalam proses belajar mengajar,” jelasnya.

Sementara itu, peneliti kependudukan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fikri Muslim memprediksi PJJ masih menjadi pilihan utama pengajaran pada tahun ini. Dia menekankan perlu adanya inovasi dan kreativitas agar proses belajar-mengajar lebih optimal. “Berhubungan masih pandemi, kesehatan tetap utama. PTM bisa digelar di wilayah yang kasus Covid-19 rendah,” katanya.

Beberapa hal yang membuat PJJ tidak efektif adalah infrastruktur, kondisi geografis, dan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Dia mengungkapkan ada guru dan siswa-siswi yang tidak memiliki gawai. Padahal itu “senjata” utama untuk mengikuti PJJ.

“Ada yang harus berebut dengan orang tuanya. Itu kondisi yang terlihat sepele tapi menjadi faktor PJJ tidak efektif. Kemudian, secara kapasitas guru dan siswa belum mampu mengoperasikan gawai atau aplikasi. Kalau sudah lebih satu tahun, lebih luwes mengoperasikan. Terkait wilayah 3T, ada kondisi cakupan internet dan sinyal yang rendah,” pungkasnya.
(mpw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2200 seconds (0.1#10.140)