Ini Cara Menanamkan Kecintaan Generasi Muda pada Pendidikan Sejarah Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila ( PSPP ) Syaiful Arif menilai pendidikan sejarah tidak cukup hanya dikenalkan kepada generasi muda secara deskriptif, tetapi harus dihadirkan sebagai living history atau sejarah yang hidup. Di mana, generasi muda saat ini bisa merasakan daya hidup, cita-cita, dan nilai nilai yang dirasakan dan diperjuangkan oleh para tokoh sejarah atau para pendiri bangsa.
“Jadi kita harus menghadirkan sisi-sisi psikologis dari para pelaku sejarah dan pergulatan mereka dengan tantangan yang ada di sejarah itu, termasuk visi dan pemikirannya sehingga kita bisa menemukan gagasan-gagasan besar dari para pelaku sejarah,” kata Syaiful Arif di Jakarta, Selasa (13/10/2021).
Menurut Arif, selama ini kelemahan sejarah yang dihadirkan hanya sebagai fakta yang ditulis secara deskriptif, tidak dihadirkan layaknya menghadirkan cerita kehidupan dari para pelaku sejarah. Misalnya soal sejarah kelahiran pancasila, hanya ditulis deskriptif secara kronologis dari proses perumusan pancasila.
Mantan Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini memandang, seharusnya yang lebih penting adalah kenapa Soekarno merumuskan Pancasila, kenapa kemudian Pancasila disepakati sebagai rumusan dasar Pancasila, apa yang terjadi di sidang-sidang itu, kemudaian Pancasila bisa menjadi titik temu dari barbagai perbedaan yang ada, terutama di kalangan Islam dan nasionalis.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ketua DPR Puan Maharani yang mengimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk selalu menanamkan prinsip 'jas merah' atau jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Ini adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya yang terakhir pada HUT Republik Indonesia pada 17 Agustus 1966.
Menurut Puan, prinsip jas merah memang dikenalkan oleh Presiden Soekarno dan berlaku sepanjang masa. Menurutnya, bangsa yang besar bisa selalu belajar dari masa lalunya. Hal ini termasuk mengakui kekurangan dan berani untuk melakukan perbaikan demi masa depan yang semakin baik.
Mengenang sejarah, menurut Puan, bukan hanya tentang meromantisasi serta melakukan glorifikasi kebaikan di masa lalu, tetapi juga bagaimana masa jaya yang pernah ada dapat terulang atau dipertahankan. Sejarah adalah proses pembelajaran bagi generasi saat ini dan di masa mendatang yang diberikan oleh pendahulu kita.
Pernyataan Puan Maharani memang sudah terkenal bahwa generasi muda tidak boleh melupakan jasmerah atau melupakan sejarah. Masyarakat Indonesia sepakat dengan semboyan tersebut. Negara dan bangsa ini didirikan di masa lalu, sehingga mengetahui masa lalu dalam kontek berbangsa dan bernegara menjadi sangat penting.
Dengan cara itu, lanjut Arif, generasi muda bisa mengetahui kembali apa latar belakang pendirian negara Indonesia. Lalu visi dari pendirian negara, tujuan dari pendirian negara, dan perjuangan dari para pendiri bangsa. “Karena memang, negara kita didirikan melalui perjuangan, dan itu sangat mahal sekali perjuangan yang dilakukan para pahlawan kita,” terangnya.
Pada saat bersamaan, keberadaan pancasila memang sudah mengalami ketercerabutan sejarah atau historis. Hal itu terjadi sejak Orde Baru (Orba) di mana Orba melakukan dehistorisasi terhadap pancasila. Misalnya dengan cara menghapuskan peran Soekarno sebagai penggali Pancasila dan pengabaian dari peran perumus pancasila yang lain seperti Bung Hatta dan panitia lima.
“Jadi memang sejak Orba itu, pancasila dikenalkan tanpa didasarkan pada pemikiran para perumus Pancasila dan pemikiran penggali Pancasila. Sehingga, kita berpancasila tapi tidak berakar dan tidak hanya soal pancasila,” jelasnya.
“Jadi kita harus menghadirkan sisi-sisi psikologis dari para pelaku sejarah dan pergulatan mereka dengan tantangan yang ada di sejarah itu, termasuk visi dan pemikirannya sehingga kita bisa menemukan gagasan-gagasan besar dari para pelaku sejarah,” kata Syaiful Arif di Jakarta, Selasa (13/10/2021).
Menurut Arif, selama ini kelemahan sejarah yang dihadirkan hanya sebagai fakta yang ditulis secara deskriptif, tidak dihadirkan layaknya menghadirkan cerita kehidupan dari para pelaku sejarah. Misalnya soal sejarah kelahiran pancasila, hanya ditulis deskriptif secara kronologis dari proses perumusan pancasila.
Mantan Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini memandang, seharusnya yang lebih penting adalah kenapa Soekarno merumuskan Pancasila, kenapa kemudian Pancasila disepakati sebagai rumusan dasar Pancasila, apa yang terjadi di sidang-sidang itu, kemudaian Pancasila bisa menjadi titik temu dari barbagai perbedaan yang ada, terutama di kalangan Islam dan nasionalis.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ketua DPR Puan Maharani yang mengimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk selalu menanamkan prinsip 'jas merah' atau jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Ini adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya yang terakhir pada HUT Republik Indonesia pada 17 Agustus 1966.
Baca Juga
Menurut Puan, prinsip jas merah memang dikenalkan oleh Presiden Soekarno dan berlaku sepanjang masa. Menurutnya, bangsa yang besar bisa selalu belajar dari masa lalunya. Hal ini termasuk mengakui kekurangan dan berani untuk melakukan perbaikan demi masa depan yang semakin baik.
Mengenang sejarah, menurut Puan, bukan hanya tentang meromantisasi serta melakukan glorifikasi kebaikan di masa lalu, tetapi juga bagaimana masa jaya yang pernah ada dapat terulang atau dipertahankan. Sejarah adalah proses pembelajaran bagi generasi saat ini dan di masa mendatang yang diberikan oleh pendahulu kita.
Pernyataan Puan Maharani memang sudah terkenal bahwa generasi muda tidak boleh melupakan jasmerah atau melupakan sejarah. Masyarakat Indonesia sepakat dengan semboyan tersebut. Negara dan bangsa ini didirikan di masa lalu, sehingga mengetahui masa lalu dalam kontek berbangsa dan bernegara menjadi sangat penting.
Dengan cara itu, lanjut Arif, generasi muda bisa mengetahui kembali apa latar belakang pendirian negara Indonesia. Lalu visi dari pendirian negara, tujuan dari pendirian negara, dan perjuangan dari para pendiri bangsa. “Karena memang, negara kita didirikan melalui perjuangan, dan itu sangat mahal sekali perjuangan yang dilakukan para pahlawan kita,” terangnya.
Pada saat bersamaan, keberadaan pancasila memang sudah mengalami ketercerabutan sejarah atau historis. Hal itu terjadi sejak Orde Baru (Orba) di mana Orba melakukan dehistorisasi terhadap pancasila. Misalnya dengan cara menghapuskan peran Soekarno sebagai penggali Pancasila dan pengabaian dari peran perumus pancasila yang lain seperti Bung Hatta dan panitia lima.
“Jadi memang sejak Orba itu, pancasila dikenalkan tanpa didasarkan pada pemikiran para perumus Pancasila dan pemikiran penggali Pancasila. Sehingga, kita berpancasila tapi tidak berakar dan tidak hanya soal pancasila,” jelasnya.
(mpw)