Kearifan Lokal, Macan Ompong Kurikulum Nasional
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
Esais dan Buruh Perbukuan di PT Penerbit Intan Pariwara
KONON kita hidup pada abad yang berlari ini selalu membuncahkan gimik kata-kata. Sekadar contoh di bidang persekolahan muncul sekolah penggerak, guru penggerak, profil pelajar Pancasila, pun paket merdeka belajar. Gimik ini membuat kulit wajah pendidikan mengerut ketimbang mengilap. Belum lagi kita dikerjai istilah 4.0 yang bergegas digodai istilah 5.0. Gerangan apa ini?
baca juga: Arab Saudi Masukkan Epos Hindu Ramayana dalam Kurikulum Sekolah Baru
Gaung empat kecakapan abad XXI telah mencabik dunia buku, guru, siswa, dan sekolah. Tiliklah ngiang 1) penguatan pendidikan karakter (PPK), 2) peluit literasi di lini pendidikan, 3) sinergi analisis pola pikir 4C (kreatif, kritis, komunikatif, dan kerja sama; atau four Cs: creativity, critical thinking, communications skills, and collaboration), dan 4) pengakuan kritis secara nasional terhadap higher order thinking skills (HOTS). Siapa yang mau bergerak untuk berubah?
Beragam reka daya telah dikemas dengan sayembara, lomba, hingga olimpiade seputar pendidikan. Prestasi dan prestise dimeteraikan dengan kurikulum terbaru. Namun, buah harapannya masihlah fantasi yang fantastis jika enggan dicap delusi atau utopis. Adakah kiprah positifnya?
Ambisi yang menggejolak adalah tidak sedikit sekolah di kota besar mulai berani memproyeksikan diri berbasis budaya. Visi basis budaya mengemban arti bahwa kearifan lokal sadar dibutuhkan. Ide besar ini pernah digenggam di Surakarta, Yogyakarta, dan Bandar Lampung. Bahkan, proyek serupa muncul di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Bagaimana gereget kontinuitasnya kali ini?
Ambisi Daerah
Sudah diidam-idamkan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur berselingkung dengan dosen FBS Unesa-Surabaya memporsir buku teks-ajar Tantri Basa (SD), Kirtya Basa (SMP), dan Sastri Basa (SMA). MGMP Mulok DIY pun menyuntik literasi ajar dengan Ajar Basa, Kartika, dan Wibawa. Tiga jenis buku teks siswa berbahasa Jawa ini dipasarkan kala terjadi krisis buku ajar muatan lokal. Prinsipnya pengadaan buku teks menjadi nomor satu dan mutu menjadi nomor dua. Justru yang ditonjolkan terjadinya sinergi buku dengan niatan Kurikulum 2013.
baca juga: Pertama di Dunia, Game This War of Mine Masuk Kurikulum Sekolah di Polandia
Tilik juga, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta memberdayakan kurikulum daerah untuk muatan lokal (mulok) pilihan. Ada empat mulok pilihan yakni seni tari gaya Yogya, seni karawitan gaya Yogya, seni batik, dan kerajinan tangan. Mulok pilihan akan diajarkan mulai jenjang TK. Tekad ini menjadi upaya daerah untuk mengakomodasi kearifan lokal sebagai urat nadi pendidikan karakter (tabiat, watak, perilaku, pun budi pekerti). Terdengar selentingan di kota X berani memasukkan olahraga panahan untuk segera dilentingkan. Nah, jangan-jangan adu gaming juga menjadi terobosan untuk diajarkan!
Esais dan Buruh Perbukuan di PT Penerbit Intan Pariwara
KONON kita hidup pada abad yang berlari ini selalu membuncahkan gimik kata-kata. Sekadar contoh di bidang persekolahan muncul sekolah penggerak, guru penggerak, profil pelajar Pancasila, pun paket merdeka belajar. Gimik ini membuat kulit wajah pendidikan mengerut ketimbang mengilap. Belum lagi kita dikerjai istilah 4.0 yang bergegas digodai istilah 5.0. Gerangan apa ini?
baca juga: Arab Saudi Masukkan Epos Hindu Ramayana dalam Kurikulum Sekolah Baru
Gaung empat kecakapan abad XXI telah mencabik dunia buku, guru, siswa, dan sekolah. Tiliklah ngiang 1) penguatan pendidikan karakter (PPK), 2) peluit literasi di lini pendidikan, 3) sinergi analisis pola pikir 4C (kreatif, kritis, komunikatif, dan kerja sama; atau four Cs: creativity, critical thinking, communications skills, and collaboration), dan 4) pengakuan kritis secara nasional terhadap higher order thinking skills (HOTS). Siapa yang mau bergerak untuk berubah?
Beragam reka daya telah dikemas dengan sayembara, lomba, hingga olimpiade seputar pendidikan. Prestasi dan prestise dimeteraikan dengan kurikulum terbaru. Namun, buah harapannya masihlah fantasi yang fantastis jika enggan dicap delusi atau utopis. Adakah kiprah positifnya?
Ambisi yang menggejolak adalah tidak sedikit sekolah di kota besar mulai berani memproyeksikan diri berbasis budaya. Visi basis budaya mengemban arti bahwa kearifan lokal sadar dibutuhkan. Ide besar ini pernah digenggam di Surakarta, Yogyakarta, dan Bandar Lampung. Bahkan, proyek serupa muncul di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Bagaimana gereget kontinuitasnya kali ini?
Ambisi Daerah
Sudah diidam-idamkan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur berselingkung dengan dosen FBS Unesa-Surabaya memporsir buku teks-ajar Tantri Basa (SD), Kirtya Basa (SMP), dan Sastri Basa (SMA). MGMP Mulok DIY pun menyuntik literasi ajar dengan Ajar Basa, Kartika, dan Wibawa. Tiga jenis buku teks siswa berbahasa Jawa ini dipasarkan kala terjadi krisis buku ajar muatan lokal. Prinsipnya pengadaan buku teks menjadi nomor satu dan mutu menjadi nomor dua. Justru yang ditonjolkan terjadinya sinergi buku dengan niatan Kurikulum 2013.
baca juga: Pertama di Dunia, Game This War of Mine Masuk Kurikulum Sekolah di Polandia
Tilik juga, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta memberdayakan kurikulum daerah untuk muatan lokal (mulok) pilihan. Ada empat mulok pilihan yakni seni tari gaya Yogya, seni karawitan gaya Yogya, seni batik, dan kerajinan tangan. Mulok pilihan akan diajarkan mulai jenjang TK. Tekad ini menjadi upaya daerah untuk mengakomodasi kearifan lokal sebagai urat nadi pendidikan karakter (tabiat, watak, perilaku, pun budi pekerti). Terdengar selentingan di kota X berani memasukkan olahraga panahan untuk segera dilentingkan. Nah, jangan-jangan adu gaming juga menjadi terobosan untuk diajarkan!