Kearifan Lokal, Macan Ompong Kurikulum Nasional
loading...
A
A
A
Beberapa semester lalu angkat topi jika niat kaum intelek Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, dan Lampung sadar mengemas ragam pendidikan penguatan karakter dan kearifan lokal dalam kurikulum. Janganlah niat ini hanya pemanis untuk menutupi mulok Bahasa Jawa yang direkomendasikan provinsi (Jateng, Jatim, dan DIY). Janganlah menumpuk catatan buram seperti gagasan mulok di Surakarta tentang kurikulum batik yang hingga kini stagnan. Padahal draf kurikulum batik siap.
Draf buku teks ajar tentang batik sudah editing penerbitan. Janganlah hanya berhenti di kisahan seperti kompetisi alat peraga pembelajaran yang sebatas melahirkan kumpulan jawara, tetapi kembang kempis aplikasi. Sebagai tagihan serupa, janganlah gerakan literasi bangsa sekadar gagah dalam kebijakan (Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015).
baca juga: BPIP Dukung Panca Main Masuk Kurikulum Sekolah
Mengapa mulok yang mestinya lumbung pendidikan karakter dan kearifan lokal harus digarap intensif? Satu alasan pasti, kearifan lokal sekadar pupuk bawang kurikulum nasional. Kearifan lokal salah satu sumber primordialisme di Nusantara menjadi mentah untuk dipatenkan secara nasional. Lebih utopis lagi jika kearifan lokal dipaksakan dalam kurikulum nasional.
Solusinya, menjadi bernas jika lumbung nilai kebajikan lokal diberdayakan dalam kurikulum muatan lokal. Bukankah kurikulum nasional dan kurikulum muatan lokal sama-sama menawarkan syarat standar penilaian buku? Baik penilaian buku teks pelajaran, buku pengayaan, maupun buku referensi dibuat standar layak mutu.
Nasionalisasi Kearifan Lokal
Kita sangat mengapresiasi bahwa Indonesia multietnis, multikultur, dan multinilai kearifan lokal. Sangat tidak etis jika memaksakan diri semua kearifan lokal suatu daerah untuk dilebur menjadi kearifan nasional.
Ada satu cara bahwa materi kearifan lokal akan menjadi kiblat bahasan nasional. Satu contoh bahwa substansi materi lalu lintas sepadan dengan ide pendidikan penguatan karakter, kewirausahaan, cinta bahari, cinta lingkungan, iklim, antikorupsi, bahkan pendidikan ekonomi kreatif yang sesungguhnya butuh waktu untuk menuai hasil. Kalaupun tidak sedikit kritisi pendidikan yang sudah mengklaim dini bahwa sematan nilai pendidikan itu sebatas alur gaya pikir yang emosionalitas temporer.
baca juga: Bupati Jayapura Meluncurkan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Ibu
Untuk itu, cara mengangkat kearifan lokal menjadi nasional yaitu dengan menjadikan materi atau bahan ajar (yang disusun sesuai Kompetensi Inti-KI dan Kompetensi Dasar-KD) sungguh-sungguh dipilih dari ceruk budaya lokal. Kelemahan selama ini, sedikit buku ajar nasional yang direkomendasi Pemerintah melalui proyek penilaian Puskurbuk itu yang berbau kearifan lokal. Terjadilah ompong implementasi. Padahal KD yang dijabarkan dalam beberapa indikator sangat leluasa mengeksplorasi nilai kearifan lokal. KI yang mencantumkan aspek religius-moral-afektif pun bisu, sebatas gagah bahasa instrumen kurikulum. Nol untuk tataran praksis pembelajaran di kelas.
Draf buku teks ajar tentang batik sudah editing penerbitan. Janganlah hanya berhenti di kisahan seperti kompetisi alat peraga pembelajaran yang sebatas melahirkan kumpulan jawara, tetapi kembang kempis aplikasi. Sebagai tagihan serupa, janganlah gerakan literasi bangsa sekadar gagah dalam kebijakan (Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015).
baca juga: BPIP Dukung Panca Main Masuk Kurikulum Sekolah
Mengapa mulok yang mestinya lumbung pendidikan karakter dan kearifan lokal harus digarap intensif? Satu alasan pasti, kearifan lokal sekadar pupuk bawang kurikulum nasional. Kearifan lokal salah satu sumber primordialisme di Nusantara menjadi mentah untuk dipatenkan secara nasional. Lebih utopis lagi jika kearifan lokal dipaksakan dalam kurikulum nasional.
Solusinya, menjadi bernas jika lumbung nilai kebajikan lokal diberdayakan dalam kurikulum muatan lokal. Bukankah kurikulum nasional dan kurikulum muatan lokal sama-sama menawarkan syarat standar penilaian buku? Baik penilaian buku teks pelajaran, buku pengayaan, maupun buku referensi dibuat standar layak mutu.
Nasionalisasi Kearifan Lokal
Kita sangat mengapresiasi bahwa Indonesia multietnis, multikultur, dan multinilai kearifan lokal. Sangat tidak etis jika memaksakan diri semua kearifan lokal suatu daerah untuk dilebur menjadi kearifan nasional.
Ada satu cara bahwa materi kearifan lokal akan menjadi kiblat bahasan nasional. Satu contoh bahwa substansi materi lalu lintas sepadan dengan ide pendidikan penguatan karakter, kewirausahaan, cinta bahari, cinta lingkungan, iklim, antikorupsi, bahkan pendidikan ekonomi kreatif yang sesungguhnya butuh waktu untuk menuai hasil. Kalaupun tidak sedikit kritisi pendidikan yang sudah mengklaim dini bahwa sematan nilai pendidikan itu sebatas alur gaya pikir yang emosionalitas temporer.
baca juga: Bupati Jayapura Meluncurkan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Ibu
Untuk itu, cara mengangkat kearifan lokal menjadi nasional yaitu dengan menjadikan materi atau bahan ajar (yang disusun sesuai Kompetensi Inti-KI dan Kompetensi Dasar-KD) sungguh-sungguh dipilih dari ceruk budaya lokal. Kelemahan selama ini, sedikit buku ajar nasional yang direkomendasi Pemerintah melalui proyek penilaian Puskurbuk itu yang berbau kearifan lokal. Terjadilah ompong implementasi. Padahal KD yang dijabarkan dalam beberapa indikator sangat leluasa mengeksplorasi nilai kearifan lokal. KI yang mencantumkan aspek religius-moral-afektif pun bisu, sebatas gagah bahasa instrumen kurikulum. Nol untuk tataran praksis pembelajaran di kelas.