Di Era Digital, DPR Dorong Balai Pustaka Lakukan Transformasi Bisnis
loading...
A
A
A
Coba belajar bagaimana perusahaan penerbitan dunia melakukan transformasi, jangan tanggung-tanggung. Termasuk dalam pengembangan minat baca, ke depan tentunya tidak bisa lagi mengandalkan taman bacaan dalam bentuk cetak tapi mengikuti budaya baca baru, dan perpustakaan digital baru.
“Siapa sekarang yang kita lihat menenteng-nenteng buku cetak, tapi sudah buku digital yang bisa dibaca di laptop, smartphone, tab dan lainnya. Kita mau yang mereka baca digital itu adalah buku-buku digital terbitan Balai Pustaka, entah saat di jalan, saat liburan atau dimanapun,” sambung Evita lagi.
Evita menyebut dirinya sering ke daerah-daerah dan menemukan banyak buku mengenai Bung Karno maupun bapak pendiri bangsa lainnya yang kusut-kusut, dan tidak bisa dibaca oleh generasi muda sekarang.
Padahal, kalau ada versi digitalnya pasti lebih mudah. Begitu juga buku-buku yang ada di toko-toko lain, masih banyak juga yang bahasa Inggris tidak ada bahasa Indonesianya.
“Kita selalu bilang jangan lupa sejarah, tapi bagaimana mereka tahu kalau tidak membaca. Jadi penting agar anak-anak muda kita ini menjadi suka membaca dan mengenal tokoh bangsanya, sejarah bangsanya melalui e-book secara luas dan mudah diakses. Saya kuatir anak-anak muda kita ini tidak kenal lagi siapa itu Bung Hatta, Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Rangkayo Rasuna Said dan lainnya. Dulu waktu sekolah kita mengenal siapa itu Julius Caesar, tapi sekarang ditanya Bung Hatta saja cucu kita tidak tahu,” ucapnya.
Dalam rangka memperluas buku digital ini, Balai Pustaka bisa kolaborasi dan kerja sama dengan penerbit cetak lainnya di Indonesia.
“Siapa sekarang yang kita lihat menenteng-nenteng buku cetak, tapi sudah buku digital yang bisa dibaca di laptop, smartphone, tab dan lainnya. Kita mau yang mereka baca digital itu adalah buku-buku digital terbitan Balai Pustaka, entah saat di jalan, saat liburan atau dimanapun,” sambung Evita lagi.
Evita menyebut dirinya sering ke daerah-daerah dan menemukan banyak buku mengenai Bung Karno maupun bapak pendiri bangsa lainnya yang kusut-kusut, dan tidak bisa dibaca oleh generasi muda sekarang.
Padahal, kalau ada versi digitalnya pasti lebih mudah. Begitu juga buku-buku yang ada di toko-toko lain, masih banyak juga yang bahasa Inggris tidak ada bahasa Indonesianya.
“Kita selalu bilang jangan lupa sejarah, tapi bagaimana mereka tahu kalau tidak membaca. Jadi penting agar anak-anak muda kita ini menjadi suka membaca dan mengenal tokoh bangsanya, sejarah bangsanya melalui e-book secara luas dan mudah diakses. Saya kuatir anak-anak muda kita ini tidak kenal lagi siapa itu Bung Hatta, Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Rangkayo Rasuna Said dan lainnya. Dulu waktu sekolah kita mengenal siapa itu Julius Caesar, tapi sekarang ditanya Bung Hatta saja cucu kita tidak tahu,” ucapnya.
Dalam rangka memperluas buku digital ini, Balai Pustaka bisa kolaborasi dan kerja sama dengan penerbit cetak lainnya di Indonesia.
(mpw)