Lavita Nur'aviana, Lulusan Pertama Prodi Magister Teknologi Nano ITB dengan Predikat Cumlaude
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lavita Nur'aviana Rizalputri merasakan euforia luar biasa pada prosesi Wisuda Ketiga ITB Tahun Akademik 2021/2022 yang digelar Sabtu (23/7/2022) di Kampus ITB, Bandung.
Pasalnya, ia terpilih mewakili 2.049 wisudawan lainnya untuk menyampaikan kata-kata perpisahan serta memimpin Salam Ganesa pada acara Sidang Terbuka tersebut.
Dilansir dari laman resmi ITB , Minggu (31/7/2022), hal itu tentunya ada maksudnya, diketahui Lavita menjadi orang pertama yang lulus dari Program Studi Magister Tenologi Nano ITB, bahkan dengan predikat cumlaude.
Memulai pendidikan S2 di tahun 2020 dalam kondisi pandemi yang serba daring dan penuh keterbatasan tidak menghalangi asanya untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan studinya.
“Pas pertama masuk udah full online (kegiatan belajarnya), ke laboratorium juga ga bisa, sedangkan Teknologi Nano ini fokusnya ke riset. Jadi harus menyesuaikan kondisi saat itu," Kata Lavita Nur'aviana Rizalputri.
"Untungnya setelah satu semester ada kebijakan diperbolehkan masuk lab untuk pengerjaan tesis, jadi untuk penelitian bisa balik normal lagi meskipun kelas tetap online,” ceritanya tentang kesulitan yang dihadapi selama menempuh pendidikan.
Lavita mulai mengenal dunia nano material saat terlibat dalam riset bersama dosen ITB selama enam bulan pasca kelulusannya dari Program Studi Sarjana Teknik Biomedis ITB.
Di sana, ia bekerja sama dengan berbagai program studi, profesi, universitas, bahkan industri sehingga kesadaran akan pentingnya kolaborasi multidisiplin pun muncul.
Bersamaan dengan itu, ITB membuka Program Studi Magister Teknologi Nano untuk pertama kalinya di tahun 2020 yang mengusung konsep kolaborasi.
“Prodi ini berada langsung di bawah Sekolah Pascasarjana, gak di bawah Fakultas/Sekolah tertentu karena dosen-dosennya sendiri berasal dari berbagai fakultas. Di sini kita boleh riset apapun. Selain itu, konsep kolaborasi juga ditekankan banget. Jadi aku tertarik banget karena menurutku prodi di Indonesia kebanyakan risetnya selinear dengan bidangnya, sementara di prodi ini kita bisa riset ke berbagai bidang keilmuan,” jelasnya.
Dalam tesisnya, Lavita mencoba mengembangkan kinerja sebuah sensor bernama screen printed carbon electrode untuk mendeteksi dopamin di dalam tubuh tanpa menyakiti tubuh.
Ia menggunakan emas berukuran nano sebagai material yang bisa meningkatkan performa sensor tersebut.
Hasil penelitian ini tentu sangat bermanfaat mengingat dopamin bisa mengindikasi banyak penyakit seperti Alzheimer dan Parkinson, sementara cara yang selama ini dilakukan untuk memeriksanya dapat dibilang menyakitkan bagi tubuh.
Setelah menyandang gelar baru, perempuan asal Bandung ini berencana kembali melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi karena ingin memperdalam pengetahuan yang telah ia dapat sebelumnya dan kesukaannya terhadap riset.
Ia pun masih terbuka akan opsi-opsi yang ada apakah akan melanjutkan pendidikan di dalam atau luar negeri.
Pada sesi wawancara dengan Tim Reporter ITB, Lavita juga memberikan beberapa tips bagi teman-teman mahasiswa yang saat ini masih berjuang untuk menyelesaikan pendidikannya di ITB.
“Dalam kondisi apapun (baik pembelajaran online maupun offline), kita lihat dari sisi baiknya aja biar kita bisa memanfaatkan situasi yang ada dan cari cara bagaimana kita bisa nyaman dalam belajar. Misalnya pas online ketika dosen menjelaskan dan ada hal yang kita gak paham, kita bisa langsung searching untuk bisa dibaca setelah selesai kelas. Jangan lupa juga untuk reach teman-teman seperjuangan kita, jadi bisa bertanya kalau ada yang kurang ngerti,” tambahnya.
Ia pun memberikan pesan kepada para wisudawan maupun mahasiswa ITB untuk lebih terbuka dalam melihat peluang-peluang yang ada di sekitar kita. Peluang tersebut salah satunya dapat hadir dalam bentuk kerja sama dan kolaborasi.
Menurutnya, bekerja sama dengan orang lain membuat kita mendapatkan banyak pembelajaran. Karena itu, sebaiknya kita tidak menutup diri dari kerja sama serta menurunkan arogansi kita.
Pasalnya, ia terpilih mewakili 2.049 wisudawan lainnya untuk menyampaikan kata-kata perpisahan serta memimpin Salam Ganesa pada acara Sidang Terbuka tersebut.
Dilansir dari laman resmi ITB , Minggu (31/7/2022), hal itu tentunya ada maksudnya, diketahui Lavita menjadi orang pertama yang lulus dari Program Studi Magister Tenologi Nano ITB, bahkan dengan predikat cumlaude.
Memulai pendidikan S2 di tahun 2020 dalam kondisi pandemi yang serba daring dan penuh keterbatasan tidak menghalangi asanya untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan studinya.
“Pas pertama masuk udah full online (kegiatan belajarnya), ke laboratorium juga ga bisa, sedangkan Teknologi Nano ini fokusnya ke riset. Jadi harus menyesuaikan kondisi saat itu," Kata Lavita Nur'aviana Rizalputri.
"Untungnya setelah satu semester ada kebijakan diperbolehkan masuk lab untuk pengerjaan tesis, jadi untuk penelitian bisa balik normal lagi meskipun kelas tetap online,” ceritanya tentang kesulitan yang dihadapi selama menempuh pendidikan.
Lavita mulai mengenal dunia nano material saat terlibat dalam riset bersama dosen ITB selama enam bulan pasca kelulusannya dari Program Studi Sarjana Teknik Biomedis ITB.
Di sana, ia bekerja sama dengan berbagai program studi, profesi, universitas, bahkan industri sehingga kesadaran akan pentingnya kolaborasi multidisiplin pun muncul.
Bersamaan dengan itu, ITB membuka Program Studi Magister Teknologi Nano untuk pertama kalinya di tahun 2020 yang mengusung konsep kolaborasi.
“Prodi ini berada langsung di bawah Sekolah Pascasarjana, gak di bawah Fakultas/Sekolah tertentu karena dosen-dosennya sendiri berasal dari berbagai fakultas. Di sini kita boleh riset apapun. Selain itu, konsep kolaborasi juga ditekankan banget. Jadi aku tertarik banget karena menurutku prodi di Indonesia kebanyakan risetnya selinear dengan bidangnya, sementara di prodi ini kita bisa riset ke berbagai bidang keilmuan,” jelasnya.
Dalam tesisnya, Lavita mencoba mengembangkan kinerja sebuah sensor bernama screen printed carbon electrode untuk mendeteksi dopamin di dalam tubuh tanpa menyakiti tubuh.
Ia menggunakan emas berukuran nano sebagai material yang bisa meningkatkan performa sensor tersebut.
Hasil penelitian ini tentu sangat bermanfaat mengingat dopamin bisa mengindikasi banyak penyakit seperti Alzheimer dan Parkinson, sementara cara yang selama ini dilakukan untuk memeriksanya dapat dibilang menyakitkan bagi tubuh.
Setelah menyandang gelar baru, perempuan asal Bandung ini berencana kembali melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi karena ingin memperdalam pengetahuan yang telah ia dapat sebelumnya dan kesukaannya terhadap riset.
Ia pun masih terbuka akan opsi-opsi yang ada apakah akan melanjutkan pendidikan di dalam atau luar negeri.
Pada sesi wawancara dengan Tim Reporter ITB, Lavita juga memberikan beberapa tips bagi teman-teman mahasiswa yang saat ini masih berjuang untuk menyelesaikan pendidikannya di ITB.
“Dalam kondisi apapun (baik pembelajaran online maupun offline), kita lihat dari sisi baiknya aja biar kita bisa memanfaatkan situasi yang ada dan cari cara bagaimana kita bisa nyaman dalam belajar. Misalnya pas online ketika dosen menjelaskan dan ada hal yang kita gak paham, kita bisa langsung searching untuk bisa dibaca setelah selesai kelas. Jangan lupa juga untuk reach teman-teman seperjuangan kita, jadi bisa bertanya kalau ada yang kurang ngerti,” tambahnya.
Ia pun memberikan pesan kepada para wisudawan maupun mahasiswa ITB untuk lebih terbuka dalam melihat peluang-peluang yang ada di sekitar kita. Peluang tersebut salah satunya dapat hadir dalam bentuk kerja sama dan kolaborasi.
Menurutnya, bekerja sama dengan orang lain membuat kita mendapatkan banyak pembelajaran. Karena itu, sebaiknya kita tidak menutup diri dari kerja sama serta menurunkan arogansi kita.
(mpw)