Kemendikbud Selesaikan Revitalisasi terhadap 2.000 SMK
A
A
A
CIREBON - Pemerintah telah berhasil merevitalisasi ribuan sekolah menengah kejuruan (SMK). Program revitalisasi itu dilakukan sejak 2017 hingga saat ini. “Sekarang ini sudah sekitar 2.000-an dari SMK yang mengalami revitalisasi secara nasional,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy saat kunjungan di Cirrbon, Jawa Barat, kemarin.
Hasil dari revitalisasi SMK itu bisa diketahui antara empat sampai lima tahun ke depan. “Karena revitalisasi SMK itu program pemerintah sekarang ini, baru dimulai tahun 2017 akhir setelah ada Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK,” ungkapnya.
Muhadjir menjelaskan bahwa jumlah SMK di Indonesia mencapai 13.000 lebih. Dari jumlah itu, sebanyak 4.000 SMK dimiliki pemerintah dan sisanya dimiliki swasta.
Mendikbud menjelaskan, banyaknya SMK yang dimiliki swasta itu menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah. Hal itu karena sejumlah SMK swasta itu pendiriannya kurang memenuhi proses yang baik. “Kendalanya karena pendiriannya tidak melalui proses yang baik sehingga ada beberapa sekolah terutama swasta yang tidak memenuhi standar,” tuturnya.
Revitalisasi SMK itu, menurut Muhadjir, mencakup kurikulum dan tenaga pendidikan. Dia menjelaskan, untuk kurikulum yang diubah dari berbasis suplai (supply drive) menjadi berbasis permintaan (demanddrive). Sementara untuk tenaga pendidiknya ditambah dengan tenaga yang sudah berpengalaman bekerja di industri agar bisa menyalurkan kemampuannya kepada peserta didik.
“Dan, mau tidak mau harus segera ditangani agar lulusannya sesuai permintaan dunia kerja. Jadi kurikulum itu untuk SMK tidak hanya ditentukan oleh Kemendikbud, tetapi juga ditentukan oleh dunia usaha dan dunia industri,” katanya.
Dengan begitu, lanjutnya, mereka harus diajak duduk bersama untuk menyusun kurikulum seperti apa yang dikehendaki dunia kerja yang menentukan kurikulumnya.
Sementara pengamat ketenagakerjaan Ade Hanie mengatakan, revitalisasi SMK perlu terus dilanjutkan. “Lulusan SMK masih banyak yang belum mampu bersaing dengan tenaga kerja karena selama di sekolah lebih banyak mengandalkan nilai akademis dari keahlian siswa itu,” ucapnya.
Menurut Ade, sekolah vokasional seperti SMK mestinya yang diajarkan lebih banyak praktik kerja dan bukan didominasi teori atau prediksi. Inilah yang menjadi masalah besar antara SMK dan dunia usaha maupun industri.“Lulusan SMK usianya rata-rata 17-18 tahun sehingga menyulitkan perusahaan menghadapi mereka. Menghadapi yang lulusan perguruan tinggi saja susah, apa lagi yang usianya remaja,” jelas dia. (Sunu Hastoro/Ant)
Hasil dari revitalisasi SMK itu bisa diketahui antara empat sampai lima tahun ke depan. “Karena revitalisasi SMK itu program pemerintah sekarang ini, baru dimulai tahun 2017 akhir setelah ada Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK,” ungkapnya.
Muhadjir menjelaskan bahwa jumlah SMK di Indonesia mencapai 13.000 lebih. Dari jumlah itu, sebanyak 4.000 SMK dimiliki pemerintah dan sisanya dimiliki swasta.
Mendikbud menjelaskan, banyaknya SMK yang dimiliki swasta itu menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah. Hal itu karena sejumlah SMK swasta itu pendiriannya kurang memenuhi proses yang baik. “Kendalanya karena pendiriannya tidak melalui proses yang baik sehingga ada beberapa sekolah terutama swasta yang tidak memenuhi standar,” tuturnya.
Revitalisasi SMK itu, menurut Muhadjir, mencakup kurikulum dan tenaga pendidikan. Dia menjelaskan, untuk kurikulum yang diubah dari berbasis suplai (supply drive) menjadi berbasis permintaan (demanddrive). Sementara untuk tenaga pendidiknya ditambah dengan tenaga yang sudah berpengalaman bekerja di industri agar bisa menyalurkan kemampuannya kepada peserta didik.
“Dan, mau tidak mau harus segera ditangani agar lulusannya sesuai permintaan dunia kerja. Jadi kurikulum itu untuk SMK tidak hanya ditentukan oleh Kemendikbud, tetapi juga ditentukan oleh dunia usaha dan dunia industri,” katanya.
Dengan begitu, lanjutnya, mereka harus diajak duduk bersama untuk menyusun kurikulum seperti apa yang dikehendaki dunia kerja yang menentukan kurikulumnya.
Sementara pengamat ketenagakerjaan Ade Hanie mengatakan, revitalisasi SMK perlu terus dilanjutkan. “Lulusan SMK masih banyak yang belum mampu bersaing dengan tenaga kerja karena selama di sekolah lebih banyak mengandalkan nilai akademis dari keahlian siswa itu,” ucapnya.
Menurut Ade, sekolah vokasional seperti SMK mestinya yang diajarkan lebih banyak praktik kerja dan bukan didominasi teori atau prediksi. Inilah yang menjadi masalah besar antara SMK dan dunia usaha maupun industri.“Lulusan SMK usianya rata-rata 17-18 tahun sehingga menyulitkan perusahaan menghadapi mereka. Menghadapi yang lulusan perguruan tinggi saja susah, apa lagi yang usianya remaja,” jelas dia. (Sunu Hastoro/Ant)
(nfl)