Mengenal RA Kartini, Pahlawan Nasional Pejuang Emansipasi Wanita
Jum'at, 21 April 2023 - 08:32 WIB
Setelah masa pendidikannya sudah usai, Kartini tinggal di rumah untuk belajar sendiri dan mulai menulis surat untuk korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda. Dari teman-temannya, ia mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa tentang kemajuan berpikir wanita Eropa.
Tulisan-tulisan tersebut yang menyulut api baru dalam dirinya. Timbul keinginan di hatinya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang sangat rendah.
Setelah itu, ia mulai rajin mengirimkan tulisan kepada De Hollandsche Lelie, salah satu majalah Belanda yang sering dibacanya.
Buku-buku bertulisan belanda tersebut semakin membuka pikirannya dan semakin maju. Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat ia memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Baca juga: Dukung SDM Indonesia Unggul, Unpad Tawarkan Beasiswa Fast Track dan Doktor
Perhatiannya tak hanya semata-mata tentang emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Ia melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Menginjak usia 24 tahun, ia akhirnya menikah dengan seorang bangsawan juga pada 12 November 1903. K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan Bupati Rembang saat itu sangat beruntung bisa meminang wanita cerdas yang memiliki semangat juang tinggi untuk perempuan.
Menikah bukan menjadi halangan bagi dirinya untuk terus memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sang suami justru sangat mendukung pemikirannya tersebut. Hal itu terbukti dengan mengizinkan dirinya mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Setelah menikah, ia dan suami dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904.
Namun, tak lama kemudian kebahagiaan itu pun sirna. Berselang empat hari setelah persalinan, wanita itu mengembuskan napas terakhirnya pada 19 September 1904.
Tulisan-tulisan tersebut yang menyulut api baru dalam dirinya. Timbul keinginan di hatinya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang sangat rendah.
Setelah itu, ia mulai rajin mengirimkan tulisan kepada De Hollandsche Lelie, salah satu majalah Belanda yang sering dibacanya.
Buku-buku bertulisan belanda tersebut semakin membuka pikirannya dan semakin maju. Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat ia memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Baca juga: Dukung SDM Indonesia Unggul, Unpad Tawarkan Beasiswa Fast Track dan Doktor
Perhatiannya tak hanya semata-mata tentang emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Ia melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Menginjak usia 24 tahun, ia akhirnya menikah dengan seorang bangsawan juga pada 12 November 1903. K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan Bupati Rembang saat itu sangat beruntung bisa meminang wanita cerdas yang memiliki semangat juang tinggi untuk perempuan.
Menikah bukan menjadi halangan bagi dirinya untuk terus memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sang suami justru sangat mendukung pemikirannya tersebut. Hal itu terbukti dengan mengizinkan dirinya mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Setelah menikah, ia dan suami dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904.
Namun, tak lama kemudian kebahagiaan itu pun sirna. Berselang empat hari setelah persalinan, wanita itu mengembuskan napas terakhirnya pada 19 September 1904.
tulis komentar anda