FSGI Nilai Program Organisasi Penggerak Tidak Efektif Dilaksanakan di Tengah Pandemi
Senin, 27 Juli 2020 - 08:02 WIB
JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengevaluasi program Merdeka Belajar beserta turunannya. Program Organisasi Penggerak (POP) sebagainya turunannya tidak efektif dijalankan di masa pandemi COVID-19.
Wasekjen FSGI mengatakan Kemendikbud harus mencabut istilah belajar Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang rencana strategis dan di berbagai program unggulan lainnya. (Baca juga: Gugat Cerai ke Pengadilan, Ribuan Orang di Ciamis Bakal Menjanda-Menduda)
Berdasarkan penelusuran FSGI, ada organisasi masyarakat atau yayasan yang ikut dalam POP dan mendapatkan gajah tapi hanya mengajar guru di tiga kota. Bahkan ada yang hanya di satu kota. Padahal, nilai uang untuk “gajah” Rp20 miliar.
“Berbanding terbalik dengan Muhammadiyah dan LP Maaruf Nahdlatul Ulama (NU) yang masing-masing mendapatkan satu gajah. Akan tetapi, sasarannya guru dan sekolah di 25 provinsi,” ujarnya dalam keterangannya, Minggu (26/7/2020).
Hal ini menunjukkan seleksi POP tidak ada adil, proporsional, dan berpeluang menghamburkan uang negara. Pengurus FSGI lainnya, Fahriza Tanjung mengkhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan di program-program turunan Merdeka Belajar lainnya, seperti Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, Pendamping Penggerak, dan Fasilitator Penggerak.
“Hari ini kami dikejutkan oleh adanya dua perusahaan CSR yang mendapatkan anggaran dari APBN puluhan miliar. Semestinya, mereka yang menyumbang CSR untuk kepentingan pendidikan bangsa dan negara,” tutur guru SMK di Medan itu.
Fahriza menuturkan jika dibiarkan dikhawatirkan Kemendikbud akan terus menggelontorkan uang puluhan miliar untuk perusahaan-perusahaan. Dalam POP, ada dua organisasi yang menjadi sorotan, yakni Sampoerna dan Tanoto Foundation.
Di luar itu, FSGI menilai ada potensi ketidakefektifan pelaksanaan POP bagi guru-guru selama pandemi. Sebab, ada keterbatasan sarana dan ketergantungan kepada media internet.
Sedangkan, banyak daerah yang tidak ada jaringan internet, guru tidak memiliki gawai, dan hambatan-hambatan lainnya. Hal ini bisa dilihat dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang banyak mengalami hambatan. (Baca juga: Wow! Pemerintah Buru Harta Karun Batangan Emas di Dasar Laut)
“POP ini hanya mengejar keterserapan anggaran Kemendikbud semata, maka menggelontorkan uang yang sangat fantastis. Kemendikbud jangan menjadikan ketidakefektifan pelaksanaan POP nanti dengan alasan pandemi COVID-19,” pungkasnya.
Wasekjen FSGI mengatakan Kemendikbud harus mencabut istilah belajar Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang rencana strategis dan di berbagai program unggulan lainnya. (Baca juga: Gugat Cerai ke Pengadilan, Ribuan Orang di Ciamis Bakal Menjanda-Menduda)
Berdasarkan penelusuran FSGI, ada organisasi masyarakat atau yayasan yang ikut dalam POP dan mendapatkan gajah tapi hanya mengajar guru di tiga kota. Bahkan ada yang hanya di satu kota. Padahal, nilai uang untuk “gajah” Rp20 miliar.
“Berbanding terbalik dengan Muhammadiyah dan LP Maaruf Nahdlatul Ulama (NU) yang masing-masing mendapatkan satu gajah. Akan tetapi, sasarannya guru dan sekolah di 25 provinsi,” ujarnya dalam keterangannya, Minggu (26/7/2020).
Hal ini menunjukkan seleksi POP tidak ada adil, proporsional, dan berpeluang menghamburkan uang negara. Pengurus FSGI lainnya, Fahriza Tanjung mengkhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan di program-program turunan Merdeka Belajar lainnya, seperti Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, Pendamping Penggerak, dan Fasilitator Penggerak.
“Hari ini kami dikejutkan oleh adanya dua perusahaan CSR yang mendapatkan anggaran dari APBN puluhan miliar. Semestinya, mereka yang menyumbang CSR untuk kepentingan pendidikan bangsa dan negara,” tutur guru SMK di Medan itu.
Fahriza menuturkan jika dibiarkan dikhawatirkan Kemendikbud akan terus menggelontorkan uang puluhan miliar untuk perusahaan-perusahaan. Dalam POP, ada dua organisasi yang menjadi sorotan, yakni Sampoerna dan Tanoto Foundation.
Di luar itu, FSGI menilai ada potensi ketidakefektifan pelaksanaan POP bagi guru-guru selama pandemi. Sebab, ada keterbatasan sarana dan ketergantungan kepada media internet.
Sedangkan, banyak daerah yang tidak ada jaringan internet, guru tidak memiliki gawai, dan hambatan-hambatan lainnya. Hal ini bisa dilihat dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang banyak mengalami hambatan. (Baca juga: Wow! Pemerintah Buru Harta Karun Batangan Emas di Dasar Laut)
“POP ini hanya mengejar keterserapan anggaran Kemendikbud semata, maka menggelontorkan uang yang sangat fantastis. Kemendikbud jangan menjadikan ketidakefektifan pelaksanaan POP nanti dengan alasan pandemi COVID-19,” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda