Intelektual = Moralitas
Sabtu, 15 Agustus 2020 - 06:04 WIB
JAKARTA - Gedung megah, suasana asri beserta fasilitas lengkap dan nyaman menjadi pemandangan lazim perguruan tinggi di Tanah Air. Namun, rasa aman di lingkungan pendidikan itu telah dirusak dengan banyaknya kasus kekerasan seksual di dalamnya. Beberapa waktu lalu publik di hebohkan dengan beredarnya cuitan seorang mahasiswa di media sosial (medsos) yang mengaku dibujuk oleh mahasiswa lain untuk membungkus dirinya dengan kain—dalih pelaku: riset akademik.
Korban pun tidak menyangka akan menerima pelecehan seksual " fetish " dari oknum mahasiswa semester 10, GA, yang merupakan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Polrestabes Surabaya, GA telah melakukan perbuatannya sejak 2015. Tidak tanggung-tanggung, 25 orang telah menjadi korbannya. (Baca: Fetish dan Ancaman Pelecehan Seksual di Kalangan Remaja)
Dalam waktu hampir bersamaan masyarakat juga dikejutkan oleh pengakuan BA, oknum dosen di Yogyakarta yang meriset perilaku swinger (bertukar pasangan). Rupanya riset tersebut hanyalah kedok untuk melakukan aksi amoralnya. BA diduga memanfaatkan statusnya sebagai alumni S-2 Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) serta peran yang diklaimnya dalam komunitas Inovator 4.0 Indonesia untuk memperdayai para korbannya. Jumlah korban BA mencapai ratusan perempuan. Bahkan, salah satu korban BA mengungkapkan, pernah mendapatkan kekerasan seksual secara fisik pada 2004 silam saat BA menjadi mahasiswa Diploma III (D3) di UGM.
Tak hanya di kampus berstatus perguruan tinggi negeri, di perguruan tinggi swasta pun pelecehan seksual juga kerap menimpa kalangan perempuan. Seperti yang terjadi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Seorang alumni UII berinisial IM dituduh melakukan kekerasan seksual secara fisik saat menjadi mahasiswa di universitas tersebut. IM juga dituding kerap melakukan kekerasan gender berbasis online.
Jumlah korbannya mencapai 30 orang, bahkan ada yang berasal dari luar negeri. Kalau dilihat catatannya, IM adalah seorang mahasiswa berprestasi. Dia menerima Australia Awards Scholarship (AAS), program beasiswa pemerintah Australia lewat Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT). (Baca juga: Turki-Yunani Memanas, Ini Perbandingan Militer Kedua Negara)
Kekerasan dan pelecehan seksual di kampus umumnya dilakukan oleh sosok berpengaruh, penting, atau menjadi idola karena keilmuannya, penampilan, dan kiprahnya di kampus. Modus dari kasus kekerasannya pun beragam di antaranya dalih membantu korban secara akademik, memberikan bimbingan, dan konsultasi.
Terungkapnya satu demi satu tindak kekerasan yang terjadi di kampus perlahan membuka tabir bahwa lembaga terhormat tersebut tidak bersih dari tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan, Kementrian Perempuan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementrian PPA) mencatat, sepanjang 2019 telah terjadi 2.807 kasus kekerasan yang terjadi di ranah privat dan 3.602 kasus yang mencuat hingga ranah publik.
Pelaksana Harian Deputi Kementrian PPPA, Ratna Susianawati, menyatakan, sebenarnya banyak kasus yang terjadi tetapi tidak berani melapor. Banyak kasus yang mungkin lebih besar, tetapi memilih diselesaikan secara tertutup. "Seperti kasus yang terjadi di Surabaya, kasusnya bisa terungkap setelah lima tahun. Ini pun baru terbuka setelah ada keberanian dari korban untuk menceritakan di media sosial?" tuturnya di Jakarta kemarin.
Tindakan GA yang membungkus korbannya dengan kain jarik tetap termasuk dalam penyimpanan seksual. Kasus kekerasan seksual yang di luar nalar pun tetap harus diantisipasi untuk melindungi masyarakat—tidak hanya perempuan, karena faktanya laki-laki pun bisa jadi sasaran kekerasan seksual. (Baca juga: Brimob Polda Jabar Bersenjata Lengkap Datangi Tangkuban Parahu, Ada Apa?)
Korban pun tidak menyangka akan menerima pelecehan seksual " fetish " dari oknum mahasiswa semester 10, GA, yang merupakan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Polrestabes Surabaya, GA telah melakukan perbuatannya sejak 2015. Tidak tanggung-tanggung, 25 orang telah menjadi korbannya. (Baca: Fetish dan Ancaman Pelecehan Seksual di Kalangan Remaja)
Dalam waktu hampir bersamaan masyarakat juga dikejutkan oleh pengakuan BA, oknum dosen di Yogyakarta yang meriset perilaku swinger (bertukar pasangan). Rupanya riset tersebut hanyalah kedok untuk melakukan aksi amoralnya. BA diduga memanfaatkan statusnya sebagai alumni S-2 Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) serta peran yang diklaimnya dalam komunitas Inovator 4.0 Indonesia untuk memperdayai para korbannya. Jumlah korban BA mencapai ratusan perempuan. Bahkan, salah satu korban BA mengungkapkan, pernah mendapatkan kekerasan seksual secara fisik pada 2004 silam saat BA menjadi mahasiswa Diploma III (D3) di UGM.
Tak hanya di kampus berstatus perguruan tinggi negeri, di perguruan tinggi swasta pun pelecehan seksual juga kerap menimpa kalangan perempuan. Seperti yang terjadi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Seorang alumni UII berinisial IM dituduh melakukan kekerasan seksual secara fisik saat menjadi mahasiswa di universitas tersebut. IM juga dituding kerap melakukan kekerasan gender berbasis online.
Jumlah korbannya mencapai 30 orang, bahkan ada yang berasal dari luar negeri. Kalau dilihat catatannya, IM adalah seorang mahasiswa berprestasi. Dia menerima Australia Awards Scholarship (AAS), program beasiswa pemerintah Australia lewat Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT). (Baca juga: Turki-Yunani Memanas, Ini Perbandingan Militer Kedua Negara)
Kekerasan dan pelecehan seksual di kampus umumnya dilakukan oleh sosok berpengaruh, penting, atau menjadi idola karena keilmuannya, penampilan, dan kiprahnya di kampus. Modus dari kasus kekerasannya pun beragam di antaranya dalih membantu korban secara akademik, memberikan bimbingan, dan konsultasi.
Terungkapnya satu demi satu tindak kekerasan yang terjadi di kampus perlahan membuka tabir bahwa lembaga terhormat tersebut tidak bersih dari tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan, Kementrian Perempuan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementrian PPA) mencatat, sepanjang 2019 telah terjadi 2.807 kasus kekerasan yang terjadi di ranah privat dan 3.602 kasus yang mencuat hingga ranah publik.
Pelaksana Harian Deputi Kementrian PPPA, Ratna Susianawati, menyatakan, sebenarnya banyak kasus yang terjadi tetapi tidak berani melapor. Banyak kasus yang mungkin lebih besar, tetapi memilih diselesaikan secara tertutup. "Seperti kasus yang terjadi di Surabaya, kasusnya bisa terungkap setelah lima tahun. Ini pun baru terbuka setelah ada keberanian dari korban untuk menceritakan di media sosial?" tuturnya di Jakarta kemarin.
Tindakan GA yang membungkus korbannya dengan kain jarik tetap termasuk dalam penyimpanan seksual. Kasus kekerasan seksual yang di luar nalar pun tetap harus diantisipasi untuk melindungi masyarakat—tidak hanya perempuan, karena faktanya laki-laki pun bisa jadi sasaran kekerasan seksual. (Baca juga: Brimob Polda Jabar Bersenjata Lengkap Datangi Tangkuban Parahu, Ada Apa?)
tulis komentar anda