Intelektual = Moralitas
Sabtu, 15 Agustus 2020 - 06:04 WIB
"Semakin tingginya kasus kekerasan semakin mendorong agar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) disahkan untuk menjadi payung hukum dalam penanganan kekerasan seksual dari hulu hingga hilir. Meliputi pencegahan, penanganan, pemulihan korban, dan penegakan hukum yang bisa menimbulkan efek jera," ucapnya.
Di mata ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Rudy Satriyo Mukantardjo, kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi yang dikenal sebagai lingkungan masyarakat intelektual itu merupakan fenomena puncak gunung es. Alasannya, kasus yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih tinggi dari kasus yang dilaporkan.
"Tingginya angka kekerasan seksual yang tidak dibawa ke jalur hukum ini tidak lepas dari ketimpangan relasi kuasa, budaya patriarki yang masih kuat, penegakan hukum yang lemah dan bias gender, serta adanya pembiaran atau pemakluman terhadap perilaku itu di masyarakat," urainya.
Keberanian para korban bersuara menjadi kunci paling tepat untuk memberikan ketegasan hukum kepada para pelaku tindak kekerasan seksual. Rudy pun menegaskan, para korban harus memiliki keberanian bersuara dalam bentuk apa pun, sehingga menjadi budaya masyarakat yang sadar akan pentingnya penghormatan harkat dan martabat manusia. (Baca juga: Gaswatt, Banyak Perusahaan Pembiayaan Terancam Bangkrut)
"Yang terjadi saat ini para korban banyak yang memilih diam dan menutup rapat apa yang telah terjadi dan malu bila kasus yang menimpanya diketahui umum. Nah, kesadaran semacam ini yang harus dibangun dalam budaya kita agar masalah kekerasan ini memiliki hukum yang tegas," ucap Rudy.
Dari sisi kejiwaan, psikolog klinis Nirmala Ika berharap bila satu kasus kekerasan seksual terungkap ke ranah umum, hendaknya publik tidak langsung memberikan label pada tersangka, karena hal ini bisa memberikan rangsangan baru terhadap orang lain. "Jangan memberikan pelabelan ketika kita tidak benar-benar memahami apa yang terjadi. Perlu ada pemeriksaan oleh orang yang kompeten dengan persoalan terebut sehingga dapat diberikan treatment yang tepat untuk pelakunya," ujarnya.
Banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi bisa membantu masyarakat memahami bahwa kekerasan seksual bentuknya bukan pemerkosaan saja. Masih ada bentuk-bentuk lain seperti eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kehamilan, dan pemaksaan kontrasepsi.
Kriminolog Ariani Hasanah Soejoeti menilai, kebanyakan perguruan tinggi ingin menjaga kestabilan angka pendaftaran siswa barunya. Bahkan tidak jarang ditemukan para administrator lembaga perguruan tinggi menyembunyikan kasus kekerasan seksual dan membungkam para korbannya. Pembungkaman terhadap korban tersebut teridentifikasi sebagai adanya ketimpangan relasi kuasa, baik antara korban dan pelaku maupun korban dengan lembaga perguruan tinggi. (Lihat videonya: Aksi Begal Asusila di Padang, Korban Mengalami Trauma)
Relasi ini ditentukan dengan adanya struktur patriarki atau subordinasi oleh laki-laki di lembaga pendidikan tinggi terhadap perempuan. Selanjutnya, adanya budaya patriarki yang sangat kuat mengakibatkan lembaga pendidikan tinggi diidentifikasi sebagai kaki tangan dari kekerasan seksual tersebut.
”Dengan demikian, korban tidak saja merasa bahwa keadilan sangat sulit untuk ditegakkan, tetapi rasa takut yang amat besar juga mengikutinya. Akhirnya, banyak korban justru lebih memilih meninggalkan lembaga perguruan tinggi itu daripada harus menghadapi adanya kemungkinan bahwa dia mendapat reaksi keras dari komunitas kampus," paparnya. (Aprilia S Andyna)
Di mata ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Rudy Satriyo Mukantardjo, kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi yang dikenal sebagai lingkungan masyarakat intelektual itu merupakan fenomena puncak gunung es. Alasannya, kasus yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih tinggi dari kasus yang dilaporkan.
"Tingginya angka kekerasan seksual yang tidak dibawa ke jalur hukum ini tidak lepas dari ketimpangan relasi kuasa, budaya patriarki yang masih kuat, penegakan hukum yang lemah dan bias gender, serta adanya pembiaran atau pemakluman terhadap perilaku itu di masyarakat," urainya.
Keberanian para korban bersuara menjadi kunci paling tepat untuk memberikan ketegasan hukum kepada para pelaku tindak kekerasan seksual. Rudy pun menegaskan, para korban harus memiliki keberanian bersuara dalam bentuk apa pun, sehingga menjadi budaya masyarakat yang sadar akan pentingnya penghormatan harkat dan martabat manusia. (Baca juga: Gaswatt, Banyak Perusahaan Pembiayaan Terancam Bangkrut)
"Yang terjadi saat ini para korban banyak yang memilih diam dan menutup rapat apa yang telah terjadi dan malu bila kasus yang menimpanya diketahui umum. Nah, kesadaran semacam ini yang harus dibangun dalam budaya kita agar masalah kekerasan ini memiliki hukum yang tegas," ucap Rudy.
Dari sisi kejiwaan, psikolog klinis Nirmala Ika berharap bila satu kasus kekerasan seksual terungkap ke ranah umum, hendaknya publik tidak langsung memberikan label pada tersangka, karena hal ini bisa memberikan rangsangan baru terhadap orang lain. "Jangan memberikan pelabelan ketika kita tidak benar-benar memahami apa yang terjadi. Perlu ada pemeriksaan oleh orang yang kompeten dengan persoalan terebut sehingga dapat diberikan treatment yang tepat untuk pelakunya," ujarnya.
Banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi bisa membantu masyarakat memahami bahwa kekerasan seksual bentuknya bukan pemerkosaan saja. Masih ada bentuk-bentuk lain seperti eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kehamilan, dan pemaksaan kontrasepsi.
Kriminolog Ariani Hasanah Soejoeti menilai, kebanyakan perguruan tinggi ingin menjaga kestabilan angka pendaftaran siswa barunya. Bahkan tidak jarang ditemukan para administrator lembaga perguruan tinggi menyembunyikan kasus kekerasan seksual dan membungkam para korbannya. Pembungkaman terhadap korban tersebut teridentifikasi sebagai adanya ketimpangan relasi kuasa, baik antara korban dan pelaku maupun korban dengan lembaga perguruan tinggi. (Lihat videonya: Aksi Begal Asusila di Padang, Korban Mengalami Trauma)
Relasi ini ditentukan dengan adanya struktur patriarki atau subordinasi oleh laki-laki di lembaga pendidikan tinggi terhadap perempuan. Selanjutnya, adanya budaya patriarki yang sangat kuat mengakibatkan lembaga pendidikan tinggi diidentifikasi sebagai kaki tangan dari kekerasan seksual tersebut.
”Dengan demikian, korban tidak saja merasa bahwa keadilan sangat sulit untuk ditegakkan, tetapi rasa takut yang amat besar juga mengikutinya. Akhirnya, banyak korban justru lebih memilih meninggalkan lembaga perguruan tinggi itu daripada harus menghadapi adanya kemungkinan bahwa dia mendapat reaksi keras dari komunitas kampus," paparnya. (Aprilia S Andyna)
tulis komentar anda