Pimpinan Komisi X DPR Kritisi Pakta Integritas Mahasiswa UI

Jum'at, 11 September 2020 - 14:06 WIB
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih. Foto/Dok/SINDOnews
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul FIkri Faqih menyarankan Pakta Integritas bagi mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI) tidak bertentangan dengan tujuan kampus merdeka yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Fikri mengatakan, secara diksi kampus merdeka memberi kemerdekaan bagi intelektual kampus menentukan pola pembelajaran yang sesuai.

"Termasuk kemerdekaan untuk berpendapat dan berserikat,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (11/9/2020).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai hal tersebut sekaligus menjadi kritik bagi kebijakan kampus merdeka yang digagas oleh Nadiem Makarim . “Kebijakan kampus merdeka secara esensi tidak hanya mengatur bagaimana kampus merdeka dalam menaikkan level akreditasinya, tapi juga memberi keleluasaan bagi civitas academisi dalam mengembangkan potensi dan kualitas sumber daya manusianya,” ujarnya.

Dia mengingatkan soal program kampus merdeka yang bisa disalahartikan oleh kampus, seperti yang dilakukan UI terhadap mahasiswa barunya. “Pakta Integritas yang harus diteken maba UI itu malah berpotensi mendistorsi kreatifitas dalam berpendapat dan mengembangkan potensi skill di luar akademisnya,” tuturnya. (Baca juga: Peneliti IPB Ciptakan Baju Anti Peluru dari Limbah Kelapa Sawit )

Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) ini merujuk pada poin 10 dan 11 dalam pakta integritas tersebut, yang berbunyi (10) bahwa Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara’ dan (11) Tidak melaksanakan dan atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi atau orientasi studi atau latihan atau pertemuan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin resmi dari pimpinan fakultas dan atau pimpinan universitas Indonesia.

Fikri mempertanyakan poin 10 tersebut, yang secara tidak langsung menyebut politik sebagai bukan kegiatan ilmiah dan bukan aktifitas bernegara. “Memisahkan politik dari akademis dan kehdupan bernegara bukanlah tujuan kampus merdeka, malah sebuah ironi,” imbuhnya. (Baca juga: 63 Tahun Berdiri, Unpad Gencarkan Kontribusi di Kancah Nasional-Global )

Lebih lanjut dia mengatakan, justru politik harus dibangun dengan pendekatan ilmiah agar demokrasi mampu berdiri secara kokoh dan rasional. “Ketika bangsa ini sudah rasional, maka akan mudah melahirkan sosok pemimpin-pemimpin yang kuat, yang mampu membawa negara ini untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya, bukan dengan politik uang, politik dinasti, dan bentuk penyimpangan lain yang kita lihat sekarang ini,” katanya.

Fikri menambahkan, rezim Perencanaan Pembangunan Nasional di Indonesia masih menganut lima pendekatan, yakni politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top-down), dan bawah-atas (bottom-up). “Tidak dapat dipisahkan satu sama lain, kalaupun ada pandangan apolitis atau memisahkan politik dari sistem ini, sebaiknya belajar lagi,” ujarnya.

Secara ide, Fikri sepakat dengan diksi kampus merdeka, dimana tujuannya adalah mempercepat inovasi di Pendidikan tinggi. “Tetapi jangan lupa, inovasi itu akan muncul dalam kondisi alam pikiran yang merdeka, bukan dalam pengekangan intelektual, seperti yang sedang dipraktekan dalam pakta integritas tersebut,” tegasnya.

Karenanya, poin keempat dalam kebijakan kampus merdeka ala Nadiem Makariem, yakni memberi kebebasan bagi mahasiswa belajar lintas prodi dan di luar kampus perlu dijabarkan lagi secara teknis. “Agar kampus-kampus mampu menerjemahkannya dalam bentuk peraturan kampus yang tidak mengekang kebebasan mahasiswa untuk berpendapat,” pungkasnya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More