Riset UI Kuak Manfaat Jamu Tradisional yang Sangat Dibutuhkan Manusia
Kamis, 25 Maret 2021 - 07:18 WIB
JAKARTA - Jamu adalah salah satu budaya bangsa Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai asupan untuk meningkatkan imunitas terhadap bahaya penyakit. Hal ini disampaikan Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Universitas Indonesia (UI), drg. Nurtami, Ph.D., Sp,OF(K) dalam Webinar “ Jamu Tradisional sebagai Pengetahuan untuk Kesehatan Publik di Masa Pandemi”, yang diadakan pada Selasa (23/3).
“Jamu adalah peninggalan tradisional dan merupakan bagian budaya bangsa yang layak untuk dikembangkan terutama dalam konsep pemeliharaan kesehatan menggunakan wawasan tumbuh-tumbuhan di Indonesia. Dalam rangka pelestarian pengetahuan tentang jamu, UI melalui Direktorat Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (DPPM) berupaya menghadirkan narasumber yang ahli di bidang jamu dan membahas perspektif budaya hingga penelitian di bidang farmasi,” ujar Nurtami.
Lebih lanjut, Nurtami menyampaikan, “Semoga dari diskusi ini akan terbentuk kerja sama yang berkelanjutan antar elemen UI sebagai institusi pendidikan dan Mustika Ratu sebagai sektor swasta dalam pengembangan pengetahuan dan memperkuat resilience masyarakat di masa pandemi.”
Pembicara pertama dalam webinar tersebut adalah Sugi Lanus, yaitu pembaca manuskrip lontar Bali dan Jawa Kuno yang memaparkan sejarah jamu tradisional berdasarkan naskah kuno, lontar, dan dikaitkan dengan warisan leluhur, serta budaya masyarakat. “Dari catatan kuno, kita dapat mempelajari hubungan manusia dengan alam sekitar, khususnya mengenali khasiat tumbuhan di lingkungannya. Saya berharap jamu yang selama ini dianggap adat-istiadat tradisional dan mitos yang diwariskan secara turun-temurun, harapannya bisa sebagai ‘masa depan’ dibantu oleh pihak swasta untuk memproduksi dengan harga yang tidak mahal dan membantu memperkenalkan ke masyarakat,” kata Sugi.
Ia kemudian menambahkan, “Saya mengapresiasi proses saintifikasi yang sudah dikerjakan Mustika Ratu terhadap herbal-rempah sebagai pengobatan yang terjangkau. Mustika Ratu telah melakukan uji coba maupun studi empiris yang ekstensif untuk menghasil produk unggulan dari ramuan kuno yang terbukti dapat menunjang kesehatan.”
Pembicara kedua adalah guru besar bidang bahan alam dari Fakultas Farmasi (FF) UI, Prof. Dr. Abdul Mun’im, M.Si, Apt, yang memaparkan pemanfaatan teknologi hijau dalam pengembangan bahan baku dan obat herbal. Ia menjelaskan bahwa ekstraksi hijau itu adalah proses pembuatan jamu berbasis air atau bahan-bahan alami seperti minyak, dan tanaman yang digunakan untuk membuat jamu mudah diperoleh. Dalam pemaparannya, Prof. Abdul mengungkapkan panduan menggunakan solvent (pelarut) dalam jamu.
Hasil penelitiannya membuktikan ada beberapa pelarut yang dapat digunakan dalam membuat jamu dengan proses green extraction yaitu jamu bebas pelarut dengan diperas itu sangat baik, lalu menggunakan air sebagai rebusan membuat jamu, CO2, minyak formulasi dari sayuran, alkohol, glyserol, dan metanol. “DES/NaDES sebagai green solvent memiliki keunggulan diantaranya tidak mudah menguap, stabil pada suhu tinggi, komponen penyusunnya melimpah di alam, dan preparasinya mudah dengan kemurnian tinggi,” kata Prof. Abdul.
“Jamu adalah peninggalan tradisional dan merupakan bagian budaya bangsa yang layak untuk dikembangkan terutama dalam konsep pemeliharaan kesehatan menggunakan wawasan tumbuh-tumbuhan di Indonesia. Dalam rangka pelestarian pengetahuan tentang jamu, UI melalui Direktorat Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (DPPM) berupaya menghadirkan narasumber yang ahli di bidang jamu dan membahas perspektif budaya hingga penelitian di bidang farmasi,” ujar Nurtami.
Lebih lanjut, Nurtami menyampaikan, “Semoga dari diskusi ini akan terbentuk kerja sama yang berkelanjutan antar elemen UI sebagai institusi pendidikan dan Mustika Ratu sebagai sektor swasta dalam pengembangan pengetahuan dan memperkuat resilience masyarakat di masa pandemi.”
Pembicara pertama dalam webinar tersebut adalah Sugi Lanus, yaitu pembaca manuskrip lontar Bali dan Jawa Kuno yang memaparkan sejarah jamu tradisional berdasarkan naskah kuno, lontar, dan dikaitkan dengan warisan leluhur, serta budaya masyarakat. “Dari catatan kuno, kita dapat mempelajari hubungan manusia dengan alam sekitar, khususnya mengenali khasiat tumbuhan di lingkungannya. Saya berharap jamu yang selama ini dianggap adat-istiadat tradisional dan mitos yang diwariskan secara turun-temurun, harapannya bisa sebagai ‘masa depan’ dibantu oleh pihak swasta untuk memproduksi dengan harga yang tidak mahal dan membantu memperkenalkan ke masyarakat,” kata Sugi.
Ia kemudian menambahkan, “Saya mengapresiasi proses saintifikasi yang sudah dikerjakan Mustika Ratu terhadap herbal-rempah sebagai pengobatan yang terjangkau. Mustika Ratu telah melakukan uji coba maupun studi empiris yang ekstensif untuk menghasil produk unggulan dari ramuan kuno yang terbukti dapat menunjang kesehatan.”
Pembicara kedua adalah guru besar bidang bahan alam dari Fakultas Farmasi (FF) UI, Prof. Dr. Abdul Mun’im, M.Si, Apt, yang memaparkan pemanfaatan teknologi hijau dalam pengembangan bahan baku dan obat herbal. Ia menjelaskan bahwa ekstraksi hijau itu adalah proses pembuatan jamu berbasis air atau bahan-bahan alami seperti minyak, dan tanaman yang digunakan untuk membuat jamu mudah diperoleh. Dalam pemaparannya, Prof. Abdul mengungkapkan panduan menggunakan solvent (pelarut) dalam jamu.
Hasil penelitiannya membuktikan ada beberapa pelarut yang dapat digunakan dalam membuat jamu dengan proses green extraction yaitu jamu bebas pelarut dengan diperas itu sangat baik, lalu menggunakan air sebagai rebusan membuat jamu, CO2, minyak formulasi dari sayuran, alkohol, glyserol, dan metanol. “DES/NaDES sebagai green solvent memiliki keunggulan diantaranya tidak mudah menguap, stabil pada suhu tinggi, komponen penyusunnya melimpah di alam, dan preparasinya mudah dengan kemurnian tinggi,” kata Prof. Abdul.
tulis komentar anda