Terdampak Covid-19, BEM SI Minta Kemendikbud Relaksasi Biaya Kuliah
Selasa, 02 Juni 2020 - 22:15 WIB
JAKARTA - Pendidikan menjadi salah satu sektor krusial yang ikut terdampak pandemi Covid-19. Beragam persoalan kemudian muncul. Mulai dari sekolah, guru, orang tua, siswa, hingga perguruan tinggi, dosen, dan mahasiswa. (Baca juga: Antispasi Wabah Corona Meluas, 276 Kampus Terapkan Kuliah Online)
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mengungkapkan sejumlah persoalan di pendidikan tinggi muncul akibat wabah Corona yang belum usai. Mereka pun melayangkan sejumlah tuntutan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), atas imbas pandemi Covid-19 yang berdampak pada kegiatan perkuliahan. (Baca juga: UGM Beri Keringanan UKT Mahasiswa Terdampak COVID-19)
“Instruksikan seluruh perguruan tinggi untuk membebaskan atau merelaksasi biaya kuliah (UKT) di semester berikutnya sebagai imbas pandemi Covid-19 yang belum usai,” tutur Koordinator Pusat Aliansi BEM SI, Remy Hastian, dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (2/6/2020).
Tuntutan itu merujuk pada Surat Edaran Mendikbud No. 36962/MPK.A/HK/2020 mengenai pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 tertanggal 17 Maret 2020. Akibatnya, mahasiswa tidak lagi beraktivitas di lingkungan kampus dan tidak mendapatkan fasilitas pembelajaran yang seharusnya didapatkan selama kuliah tatap hingga semester genap Tahun Ajaran 2019/2020.
Perubahan metode pembelajaran menjadi kuliah daring itu menyebabkan persoalan baru yang dihadapi mahasiswa. Paling krusialnya adalah kebutuhan akses internet. Berdasarkan survei yang dilakukan, terdapat 92,2% mahasiswa yang menggunakan kuota internet untuk mengakses situs atau aplikasi kuliah daring dengan minimal biaya Rp25.000-Rp50.000 setiap minggu. (Baca juga: Kampus Harus Ikuti Dinamika Era New Normal)
Tak hanya itu, lanjut Remy, kebutuhan lain selama pelaksanaan kuliah daring adalah logistik dan layanan kesehatan bagi mahasiswa yang masih bertahan di lingkungan kampus. Mereka bertahan dan tidak bisa kembali ke kampung halaman karena dampak Corona. “Berlakukan secara tegas imbauan setiap perguruan tinggi untuk memberikan bantuan kuota internet, logistik dan kesehatan bagi seluruh mahasiswa di tengah pandemi Covid-19,” pinta mahasiswa Universitas Negeri Jakarta itu.
Koordinator Isu Pendidikan Tinggi (Dikti) Lugas Ichtiar juga menegaskan sikap mahasiswa menolak sektor pendidikan dimasukkan dalam pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Menurut dia, pembahasan sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja telah memperjelas terjadinya pergeseran paradigma pendidikan yang seharusnya merupakan public goods menjadi privat goods.
Hal itu ditunjukkan dengan adanya revisi beberapa pasal di dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dalam RUU Cipta Kerja. Misalnya, dihapusnya prinsip nirlaba dalam pengelolaan otonomi perguruan tinggi dan mempermudah syarat perguruan tinggi negara lain untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Indonesia.
Lugas juga menuntut pokok-pokok kebijakan Kampus Merdeka segera dihapus. Ia menilai, kebijakan itu hanya menjadikan pendidikan tinggi lebih pro terhadap industri dan pasar kerja. “Hapuskan pokok-pokok kebijakan Kampus Merdeka. Hentikan praktik liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi,” kata mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman itu.
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mengungkapkan sejumlah persoalan di pendidikan tinggi muncul akibat wabah Corona yang belum usai. Mereka pun melayangkan sejumlah tuntutan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), atas imbas pandemi Covid-19 yang berdampak pada kegiatan perkuliahan. (Baca juga: UGM Beri Keringanan UKT Mahasiswa Terdampak COVID-19)
“Instruksikan seluruh perguruan tinggi untuk membebaskan atau merelaksasi biaya kuliah (UKT) di semester berikutnya sebagai imbas pandemi Covid-19 yang belum usai,” tutur Koordinator Pusat Aliansi BEM SI, Remy Hastian, dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (2/6/2020).
Tuntutan itu merujuk pada Surat Edaran Mendikbud No. 36962/MPK.A/HK/2020 mengenai pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 tertanggal 17 Maret 2020. Akibatnya, mahasiswa tidak lagi beraktivitas di lingkungan kampus dan tidak mendapatkan fasilitas pembelajaran yang seharusnya didapatkan selama kuliah tatap hingga semester genap Tahun Ajaran 2019/2020.
Perubahan metode pembelajaran menjadi kuliah daring itu menyebabkan persoalan baru yang dihadapi mahasiswa. Paling krusialnya adalah kebutuhan akses internet. Berdasarkan survei yang dilakukan, terdapat 92,2% mahasiswa yang menggunakan kuota internet untuk mengakses situs atau aplikasi kuliah daring dengan minimal biaya Rp25.000-Rp50.000 setiap minggu. (Baca juga: Kampus Harus Ikuti Dinamika Era New Normal)
Tak hanya itu, lanjut Remy, kebutuhan lain selama pelaksanaan kuliah daring adalah logistik dan layanan kesehatan bagi mahasiswa yang masih bertahan di lingkungan kampus. Mereka bertahan dan tidak bisa kembali ke kampung halaman karena dampak Corona. “Berlakukan secara tegas imbauan setiap perguruan tinggi untuk memberikan bantuan kuota internet, logistik dan kesehatan bagi seluruh mahasiswa di tengah pandemi Covid-19,” pinta mahasiswa Universitas Negeri Jakarta itu.
Koordinator Isu Pendidikan Tinggi (Dikti) Lugas Ichtiar juga menegaskan sikap mahasiswa menolak sektor pendidikan dimasukkan dalam pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Menurut dia, pembahasan sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja telah memperjelas terjadinya pergeseran paradigma pendidikan yang seharusnya merupakan public goods menjadi privat goods.
Hal itu ditunjukkan dengan adanya revisi beberapa pasal di dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dalam RUU Cipta Kerja. Misalnya, dihapusnya prinsip nirlaba dalam pengelolaan otonomi perguruan tinggi dan mempermudah syarat perguruan tinggi negara lain untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Indonesia.
Lugas juga menuntut pokok-pokok kebijakan Kampus Merdeka segera dihapus. Ia menilai, kebijakan itu hanya menjadikan pendidikan tinggi lebih pro terhadap industri dan pasar kerja. “Hapuskan pokok-pokok kebijakan Kampus Merdeka. Hentikan praktik liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi,” kata mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman itu.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda