Prof Poppy Sulistyaning Dikukuhkan Jadi Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UGM
loading...
A
A
A
Ia menjelaskan bahwa saat ini WTO mengalami stagnasi yang membawa implikasi yang signifikan pada perdagangan global. “Terlihat dalam stagnasi dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO berakibat pada tereskalasinya perang dagang di antara negara-negara kuat dan kecenderungan penyelesaian sengketa secara sepihak dan dilakukan di luar mekanisme WTO,” jelasnya.
Bagi Poppy, WTO seolah sekarang ini kehilangan relevansinya sebagai wadah untuk melakukan negosiasi, penyelesaian sengketa, dan pengelolaan perdagangan global. Stagnasi pada WTO juga memperkuat narasi mengenai makin mendesaknya gagasan untuk mereformasi WTO, baik dalam aspek kelembagaan, pengambilan keputusan, maupun cakupan kerja sama.
Pada tataran prinsip, kata Poppy, reformasi WTO dapat dilakukan dengan mendorong kembali diterapkannya embedded liberalism. Menurutnya, embedded liberalis bukan hal baru dalam sistem perdagangan multilateral.
Sebab, prinsip ini yang melandasi rezim perdagangan sebelum WTO ketika masih di bawah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Melalui prinsip perdagangan bebas tanpa hambatan dapat mendorong dan memperlancar arus perdagangan barang dan jasa lintas batas negara.
Namun demikian, prinsip perdagangan bebas yang membatasi negara dalam mengambil kebijakan untuk melindungi kepentingan dalam merespons tantangan terkini tidak lagi dapat diterapkan dalam kondisi saat ini.
“Prinsip embedded liberalism memungkinkan negara untuk berkomitmen dalam perdagangan internasional sekaligus menjamin ruang fleksibilitas bagi negara dalam memitigasi tantangan ekonomi politik global kontemporer,”tegasnya.
Selain itu, pengelolaan perundingan di dalam WTO juga perlu mempertimbangkan mekanisme plurilateral dalam sistem multilateral yang memungkinkan setiap anggota memilih dan memilah kesepakatan baru secara sukarela, sesuai dengan kepentingan dan tingkat kemajuan ekonomi masing-masing.
Yang tidak kalah penting, menurut Poppy, dalam situasi dunia kontemporer, dibutuhkan sebuah rezim perdagangan internasional yang kuat dan justru bukan yang lemah seperti yang ada sekarang. Rezim perdagangan internasional yang kuat artinya di satu sisi dapat mengelola perdagangan internasional yang mengutamakan aturan main dan kepastian hukum bagi semua pihak.
Namun di sisi lain, aturan main tersebut dapat beriringan dengan ruang fleksibilitas yang diberikan kepada anggotanya agar dapat merespons tantangan global yang muncul.
“Dengan kata lain kepentingan negara dalam mengatasi tantangan tersebut dapat diakomodasi dalam bentuk prinsip plurilateral yang lebih terintegrasi dalam sistem multilateral sehingga bisa menjadi basis mendesain dan mengelola rezim perdagangan global masa depan,” pungkasnya.
Bagi Poppy, WTO seolah sekarang ini kehilangan relevansinya sebagai wadah untuk melakukan negosiasi, penyelesaian sengketa, dan pengelolaan perdagangan global. Stagnasi pada WTO juga memperkuat narasi mengenai makin mendesaknya gagasan untuk mereformasi WTO, baik dalam aspek kelembagaan, pengambilan keputusan, maupun cakupan kerja sama.
Pada tataran prinsip, kata Poppy, reformasi WTO dapat dilakukan dengan mendorong kembali diterapkannya embedded liberalism. Menurutnya, embedded liberalis bukan hal baru dalam sistem perdagangan multilateral.
Sebab, prinsip ini yang melandasi rezim perdagangan sebelum WTO ketika masih di bawah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Melalui prinsip perdagangan bebas tanpa hambatan dapat mendorong dan memperlancar arus perdagangan barang dan jasa lintas batas negara.
Namun demikian, prinsip perdagangan bebas yang membatasi negara dalam mengambil kebijakan untuk melindungi kepentingan dalam merespons tantangan terkini tidak lagi dapat diterapkan dalam kondisi saat ini.
“Prinsip embedded liberalism memungkinkan negara untuk berkomitmen dalam perdagangan internasional sekaligus menjamin ruang fleksibilitas bagi negara dalam memitigasi tantangan ekonomi politik global kontemporer,”tegasnya.
Selain itu, pengelolaan perundingan di dalam WTO juga perlu mempertimbangkan mekanisme plurilateral dalam sistem multilateral yang memungkinkan setiap anggota memilih dan memilah kesepakatan baru secara sukarela, sesuai dengan kepentingan dan tingkat kemajuan ekonomi masing-masing.
Yang tidak kalah penting, menurut Poppy, dalam situasi dunia kontemporer, dibutuhkan sebuah rezim perdagangan internasional yang kuat dan justru bukan yang lemah seperti yang ada sekarang. Rezim perdagangan internasional yang kuat artinya di satu sisi dapat mengelola perdagangan internasional yang mengutamakan aturan main dan kepastian hukum bagi semua pihak.
Namun di sisi lain, aturan main tersebut dapat beriringan dengan ruang fleksibilitas yang diberikan kepada anggotanya agar dapat merespons tantangan global yang muncul.
“Dengan kata lain kepentingan negara dalam mengatasi tantangan tersebut dapat diakomodasi dalam bentuk prinsip plurilateral yang lebih terintegrasi dalam sistem multilateral sehingga bisa menjadi basis mendesain dan mengelola rezim perdagangan global masa depan,” pungkasnya.