Sejarah Munculnya Tradisi Bagi-bagi Angpau Saat Lebaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hari Raya Idulfitri atau lebaran menjadi momen yang dinanti setelah berpuasa sebulan penuh. Tradisi lain yang mewarnai adalah bagi-bagi angpau Lebaran yang dikemas dalam amplop lucu berwarna-warni.
Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) Moordiati mengatakan, tidak ditemukan adanya catatan sejarah mengenai angpau lebaran.
Tapi ada cerita bahwa sosok kaisar yang datang ke Jawa dan memberi uang tapi sebagai tanda tali asih. Hal ini semakin berkembang dan diadopsi menjadi orang yang lebih tua memberi kepada yang lebih muda sebagai tanda kasih sayang. “Kemudian kalau tidak ada angpau saat Lebaran rasanya hambar,” katanya, dikutip dari laman Unair, Senin (24/4/2023).
Pemberian angpau saat Lebaran merupakan hasil dari perpaduan antara budaya Islam dan Tionghoa. “Pemberian ini sebenarnya adopsi dari kebudayaan Islam dan Tionghoa. Hasil akulturasi ini yang berkembang sampai saat ini,” terangnya.
Moordiati menambahkan, dahulu pemberian angpau pada Lebaran sebagai hadiah dari orang tua kepada anaknya karena telah menjalankan puasa sebulan lamanya. Namun seiring berjalannya waktu sesuatu yang orang anggap hadiah kini menjadi keharusan.
Baca juga: Indahnya Tradisi Lebaran di Berbagai Negara, No 3 Kota Sejuta Lampu
“Lama-lama kemudian ini tidak lagi sebagai hadiah ya. Sekarang kalau tidak memberi angpau kesannya bukan seperti hari raya,” paparnya.
Pemberian angpau lebaran juga dapat menjadi gambaran status sosial seseorang. Apabila status sosialnya tinggi maka nominal uang yang diberikan akan semakin tinggi. “Sekarang sudah ada kategorinya, bisa dikatakan status sosial semakin tinggi tidak memberi 5 ribu tapi 50 ribu misalnya,” ujarnya.
Pemberian angpau lebaran menggunakan uang baru saat ini sedang tren. Bahkan jasa penukaran uang menjelang lebaran tengah menjamur di berbagai daerah. Tren ini ternyata berkembang sekitar tahun 90an, masyarakat lebih nyaman menggunakan uang baru daripada uang lama karena menganggap lebih pantas.
“Hari raya yang identik dengan sesuatu yang suci. Makanya semuanya serba baru seperti baju, sepatu, hingga uang baru,” jelasnya.
Baca juga: 6 Peristiwa Bersejarah Dunia yang Terjadi di Bulan Ramadan, No 4 Puncak Perjuangan RI
“Orang berpikiran bahwa alangkah lebih baik memberi seseorang dengan sesuatu yang baru daripada yang lama. Makanya jasa penukaran uang baru sekarang sedang menjamur,” imbuhnya.
Meski demikian dampak positif dan negatif tetap mengiringi berjalannya budaya ini. Dampak positif dari pemberian angpau lebaran dapat meningkatkan semangat untuk bersilaturahmi. Namun Moordiati menuturkan silaturahmi tidak lagi dengan niat sebagai silaturahmi saja. “Negatifnya niat silaturahmi jadi tidak murni dan hal ini tidak mendidik,” tuturnya.
Sementara dampak negatif dari pemberian angpau ialah menjadikan mental seseorang menjadi mental seorang peminta. “Ini menarik karena dapat menjadikan mentalitas seseorang sebagai peminta. Jadi ke rumah sanak saudara meminta untuk diberi uang. Meskipun saat pemberian ada aturannya harus baris-berbaris atau lainnya,” tutupnya.
Lihat Juga: Idulfitri 1444 H, Mendikbudristek: Hari Kemenangan Energi untuk Majukan Pendidikan dan Kebudayaan
Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) Moordiati mengatakan, tidak ditemukan adanya catatan sejarah mengenai angpau lebaran.
Tapi ada cerita bahwa sosok kaisar yang datang ke Jawa dan memberi uang tapi sebagai tanda tali asih. Hal ini semakin berkembang dan diadopsi menjadi orang yang lebih tua memberi kepada yang lebih muda sebagai tanda kasih sayang. “Kemudian kalau tidak ada angpau saat Lebaran rasanya hambar,” katanya, dikutip dari laman Unair, Senin (24/4/2023).
Akulturasi Budaya
Pemberian angpau saat Lebaran merupakan hasil dari perpaduan antara budaya Islam dan Tionghoa. “Pemberian ini sebenarnya adopsi dari kebudayaan Islam dan Tionghoa. Hasil akulturasi ini yang berkembang sampai saat ini,” terangnya.
Moordiati menambahkan, dahulu pemberian angpau pada Lebaran sebagai hadiah dari orang tua kepada anaknya karena telah menjalankan puasa sebulan lamanya. Namun seiring berjalannya waktu sesuatu yang orang anggap hadiah kini menjadi keharusan.
Baca juga: Indahnya Tradisi Lebaran di Berbagai Negara, No 3 Kota Sejuta Lampu
“Lama-lama kemudian ini tidak lagi sebagai hadiah ya. Sekarang kalau tidak memberi angpau kesannya bukan seperti hari raya,” paparnya.
Pemberian angpau lebaran juga dapat menjadi gambaran status sosial seseorang. Apabila status sosialnya tinggi maka nominal uang yang diberikan akan semakin tinggi. “Sekarang sudah ada kategorinya, bisa dikatakan status sosial semakin tinggi tidak memberi 5 ribu tapi 50 ribu misalnya,” ujarnya.
Penggunaan Uang Baru
Pemberian angpau lebaran menggunakan uang baru saat ini sedang tren. Bahkan jasa penukaran uang menjelang lebaran tengah menjamur di berbagai daerah. Tren ini ternyata berkembang sekitar tahun 90an, masyarakat lebih nyaman menggunakan uang baru daripada uang lama karena menganggap lebih pantas.
“Hari raya yang identik dengan sesuatu yang suci. Makanya semuanya serba baru seperti baju, sepatu, hingga uang baru,” jelasnya.
Baca juga: 6 Peristiwa Bersejarah Dunia yang Terjadi di Bulan Ramadan, No 4 Puncak Perjuangan RI
“Orang berpikiran bahwa alangkah lebih baik memberi seseorang dengan sesuatu yang baru daripada yang lama. Makanya jasa penukaran uang baru sekarang sedang menjamur,” imbuhnya.
Dampak Positif dan Negatif
Meski demikian dampak positif dan negatif tetap mengiringi berjalannya budaya ini. Dampak positif dari pemberian angpau lebaran dapat meningkatkan semangat untuk bersilaturahmi. Namun Moordiati menuturkan silaturahmi tidak lagi dengan niat sebagai silaturahmi saja. “Negatifnya niat silaturahmi jadi tidak murni dan hal ini tidak mendidik,” tuturnya.
Sementara dampak negatif dari pemberian angpau ialah menjadikan mental seseorang menjadi mental seorang peminta. “Ini menarik karena dapat menjadikan mentalitas seseorang sebagai peminta. Jadi ke rumah sanak saudara meminta untuk diberi uang. Meskipun saat pemberian ada aturannya harus baris-berbaris atau lainnya,” tutupnya.
Lihat Juga: Idulfitri 1444 H, Mendikbudristek: Hari Kemenangan Energi untuk Majukan Pendidikan dan Kebudayaan
(nnz)