Angka Putus Sekolah Kembali Naik, Wakil Ketua MPR Minta Ruang Pembelajaran Diperluas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat meminta ruang pembelajaran dibuka seluas-luasnya bagi setiap anak bangsa dengan mengoptimalkan sumber daya semaksimal mungkin untuk mempersiapkan generasi emas dan berdaya saing di masa datang.
Hal ini ia sampaikan saat membuka diskusi bertema 'Mengurangi Angka Putus Sekolah dalam Mempersiapkan Generasi Penerus Menuju Indonesia 2045' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/6/2023).
Menurut Lestari, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka putus sekolah di sejumlah daerah kembali meningkat pada 2022, setelah mengalami tren penurunan sejak 2016.
Fenomena putus sekolah tidak bisa dianggap remeh sehingga dibutuhkan penanganan dan solusi yang serius jika bangsa ini ingin mencerdaskan seluruh anak bangsa, meningkatkan kualitas SDM dan menuju pencapaian kesejahteraan nasional.
Rerie sapaan akrab Lestari berpendapat, putus sekolah dapat disebabkan berbagai faktor yakni ketidakinginan individu untuk melanjutkan sekolah, beban belajar yang terlampau berat, dan kemalasan.
Lainnya yang tidak kalah penting terkait masalah finansial rumah tangga, atau masalah lain yang menyebabkan siswa/i memutuskan tidak melanjutkan sekolah. Keluarga dan lingkungannya, menjadi pemerhati pertama untuk menyikapi persoalan putus sekolah itu.
Pemerintah, tambah Rerie, melalui setiap inisiatifnya mesti memahami bahwa tidak semua anak memiliki kesempatan yang sama dan dukungan sumber daya yang sama dalam mengenyam pendidikan.
Seluruh elemen masyarakat, pemerhati pendidikan dan pemerintah, tegas Rerie, harus memiliki political will dalam mewujudkan generasi emas yang berdaya saing melalui membuka seluas-luasnya kesempatan belajar bagi setiap warga negara.
Diskusi itu menghadirkan narasumber yaitu, Ratih Megasari Singkarru, M.Sc. (Kapoksi Komisi X Fraksi NasDem DPR RI), Anindito Aditomo, S.Psi., M.Phil., Ph.D. (Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek), dan Dr. Jejen Musfah, MA (Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia /PB PGRI - Pemred Majalah Suara Guru).
Selain itu, hadir pula Halili Hasan (Direktur Eksekutif SETARA Institute), Indrastuti (Wartawan Media Indonesia Bidang Pendidikan) dan Ahmad Baedhowi AR (Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa) sebagai penanggap.
Kapoksi Komisi X Fraksi NasDem DPR, Ratih Megasari Singkarru mengungkapkan pada periode 2012-2023 rata-rata peserta didik hanya mengenyam pendidikan 8 tahun, bahkan di sejumlah daerah tertentu ada yang hanya 7 tahun. Padahal penerapan wajib belajar selama 12 tahun.
Sejumlah kendala, ujar Ratih, menjadi penyebab kondisi tersebut seperti kondisi ekonomi keluarga, daya tampung sekolah, faktor geografi, pandemi dan pemahaman keluarga tentang pendidikan.
Karena kendala finansial, banyak anak usia sekolah terpaksa bekerja. Selain itu, tambahnya, daya tampung SMA dan SMK yang terbatas menyebabkan tidak mampu menampung seluruh lulusan SMP.
Demikian juga faktor geografis, dengan kepadatan penduduk yang rendah, ujar Ratih, ada biaya tambahan untuk menuju ke sekolah.
Padahal, tegas Ratih, dampak putus sekolah akan menyebabkan IPM rendah, pengangguran dan sulit meningkatkan kesejahteraan.
Ratih berpendapat semakin terintegrasinya data antarkementerian akan sangat membantu mewujudkan proses pendidikan yang tepat kepada setiap anak bangsa yang membutuhkan.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo berpendapat, untuk melihat angka putus sekolah harus dikaitkan secara historis.
Bila dibandingkan dengan kondisi 20 tahun lalu, ujar Anindito, sebenarnya saat ini terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah bahkan mendekati 100%.
Pekerjaan rumah yang masih dihadapi, tambah dia, adalah pada jenjang SMA yang hingga saat ini angka partisipasinya baru mencapai 73,15%.
Pada kesempatan itu, Anindito mengungkapkan, bahwa Wajib Belajar 12 tahun sebenarnya masih pada tingkat komitmen, secara undang-undang saat ini yang berlaku adalah Wajib Belajar 9 tahun. Hal itu terlihat dari realisasi angka partisipasi sekolah di tingkat SMP yang saat ini sudah mencapai 95%.
Diakui Anindito, saat ini masih terjadi kesenjangan dalam mengakses pendidikan di tanah air dengan berbagai latar belakang kendala yang dihadapi.
Anindito berpendapat pendidikan itu harus dibuat bermakna dan relevan sehingga ketika seorang anak disekolahkan hasilnya mampu memenuhi harapan keluarga mereka.
Program Merdeka Belajar, menurut dia, merupakan bagian upaya pemerintah meningkatkan akses untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Sekolah harus menjadi tempat yang membuka kesempatan pengembangan profil pelajar Pancasila.
Sehingga, tegas Anindito, setiap satuan pendidikan harus bertransformasi menjadi lingkungan belajar yang aman, efektif dan menantang.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menilai berdasarkan riset yang dilakukan lembaganya, penyebab putus sekolah tidak semata faktor ekonomi, tetapi juga aspek sosial.
Menurut Halili, saat ini berkembang fenomena sosial yang memperlihatkan hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi seseorang mampu menjadi kaya, membuat masyarakat menilai pendidikan tidak penting lagi untuk mewujudkan masa depan mereka.
Halili berpendapat saat ini masyarakat membutuhkan dorongan agar lebih dekat dengan pendidikan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik.
Wartawan Media Indonesia Bidang Pendidikan, Indrastuti berpendapat faktor sosial dan ekonomi sejak dahulu menjadi faktor pendorong angka putus sekolah, meski sudah ada program Wajib Belajar dan PIP.
Pertanyaan yang harus diajukan kepada pemerintah, tambah dia, apakah biaya yang dikeluarkan oleh orang tua sebanding dengan output yang diharapkan.
Bila tujuannya agar peserta didik bisa segera bekerja, ujar Indrastuti, akan lebih baik diarahkan ke sekolah kejuruan. Tentu saja, tambahnya, setiap daerah menghadapi tantangan yang berbeda-beda dalam mewujudkannya.
Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa, Ahmad Baedhowi AR berpendapat Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Kalau sampai terjadi putus sekolah, ujar Baedhowi, kita harus cek di mana pelanggarannya. "Apakah struktur anggaran pendidikan kita sehat atau tidak? "
Isu pendidikan, menurut dia, selalu saja dimasukkan dalam diskursus politik. Terminologi sekolah gratis, tegas Baedhowi, tidak tepat. Seolah, ujarnya, hanya pemerintah yang bertanggung jawab dalam membiayai pendidikan, padahal masyarakat juga ikut berkontribusi mewujudkan sekolah gratis.
Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, Jejen Musfah berpendapat faktor keterbatasan ekonomi merupakan salah satu penyebab putus sekolah.
Sehingga, tegas Jejen, pemerintah harus mewujudkan sekolah gratis di tanah air, termasuk sekolah madrasah swasta. Para peserta didik yang tidak mampu dan bersekolah di sekolah swasta, tambah dia, juga harus ditanggung oleh negara.
Selain itu, Jejen juga menilai, bahwa pernikahan dini juga menjadi penyebab terjadinya putus sekolah.
Menurut Jejen, saat ini terjadi surplus kebijakan di sektor pendidikan, tetapi lemah dalam implementasi karena tidak ada kolaborasi dan kerja sama yang baik antarpemangku kebijakan.
Hal ini ia sampaikan saat membuka diskusi bertema 'Mengurangi Angka Putus Sekolah dalam Mempersiapkan Generasi Penerus Menuju Indonesia 2045' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/6/2023).
Menurut Lestari, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka putus sekolah di sejumlah daerah kembali meningkat pada 2022, setelah mengalami tren penurunan sejak 2016.
Fenomena putus sekolah tidak bisa dianggap remeh sehingga dibutuhkan penanganan dan solusi yang serius jika bangsa ini ingin mencerdaskan seluruh anak bangsa, meningkatkan kualitas SDM dan menuju pencapaian kesejahteraan nasional.
Rerie sapaan akrab Lestari berpendapat, putus sekolah dapat disebabkan berbagai faktor yakni ketidakinginan individu untuk melanjutkan sekolah, beban belajar yang terlampau berat, dan kemalasan.
Lainnya yang tidak kalah penting terkait masalah finansial rumah tangga, atau masalah lain yang menyebabkan siswa/i memutuskan tidak melanjutkan sekolah. Keluarga dan lingkungannya, menjadi pemerhati pertama untuk menyikapi persoalan putus sekolah itu.
Pemerintah, tambah Rerie, melalui setiap inisiatifnya mesti memahami bahwa tidak semua anak memiliki kesempatan yang sama dan dukungan sumber daya yang sama dalam mengenyam pendidikan.
Seluruh elemen masyarakat, pemerhati pendidikan dan pemerintah, tegas Rerie, harus memiliki political will dalam mewujudkan generasi emas yang berdaya saing melalui membuka seluas-luasnya kesempatan belajar bagi setiap warga negara.
Diskusi itu menghadirkan narasumber yaitu, Ratih Megasari Singkarru, M.Sc. (Kapoksi Komisi X Fraksi NasDem DPR RI), Anindito Aditomo, S.Psi., M.Phil., Ph.D. (Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek), dan Dr. Jejen Musfah, MA (Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia /PB PGRI - Pemred Majalah Suara Guru).
Selain itu, hadir pula Halili Hasan (Direktur Eksekutif SETARA Institute), Indrastuti (Wartawan Media Indonesia Bidang Pendidikan) dan Ahmad Baedhowi AR (Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa) sebagai penanggap.
Kapoksi Komisi X Fraksi NasDem DPR, Ratih Megasari Singkarru mengungkapkan pada periode 2012-2023 rata-rata peserta didik hanya mengenyam pendidikan 8 tahun, bahkan di sejumlah daerah tertentu ada yang hanya 7 tahun. Padahal penerapan wajib belajar selama 12 tahun.
Sejumlah kendala, ujar Ratih, menjadi penyebab kondisi tersebut seperti kondisi ekonomi keluarga, daya tampung sekolah, faktor geografi, pandemi dan pemahaman keluarga tentang pendidikan.
Karena kendala finansial, banyak anak usia sekolah terpaksa bekerja. Selain itu, tambahnya, daya tampung SMA dan SMK yang terbatas menyebabkan tidak mampu menampung seluruh lulusan SMP.
Demikian juga faktor geografis, dengan kepadatan penduduk yang rendah, ujar Ratih, ada biaya tambahan untuk menuju ke sekolah.
Padahal, tegas Ratih, dampak putus sekolah akan menyebabkan IPM rendah, pengangguran dan sulit meningkatkan kesejahteraan.
Ratih berpendapat semakin terintegrasinya data antarkementerian akan sangat membantu mewujudkan proses pendidikan yang tepat kepada setiap anak bangsa yang membutuhkan.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo berpendapat, untuk melihat angka putus sekolah harus dikaitkan secara historis.
Bila dibandingkan dengan kondisi 20 tahun lalu, ujar Anindito, sebenarnya saat ini terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah bahkan mendekati 100%.
Pekerjaan rumah yang masih dihadapi, tambah dia, adalah pada jenjang SMA yang hingga saat ini angka partisipasinya baru mencapai 73,15%.
Pada kesempatan itu, Anindito mengungkapkan, bahwa Wajib Belajar 12 tahun sebenarnya masih pada tingkat komitmen, secara undang-undang saat ini yang berlaku adalah Wajib Belajar 9 tahun. Hal itu terlihat dari realisasi angka partisipasi sekolah di tingkat SMP yang saat ini sudah mencapai 95%.
Diakui Anindito, saat ini masih terjadi kesenjangan dalam mengakses pendidikan di tanah air dengan berbagai latar belakang kendala yang dihadapi.
Anindito berpendapat pendidikan itu harus dibuat bermakna dan relevan sehingga ketika seorang anak disekolahkan hasilnya mampu memenuhi harapan keluarga mereka.
Program Merdeka Belajar, menurut dia, merupakan bagian upaya pemerintah meningkatkan akses untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Sekolah harus menjadi tempat yang membuka kesempatan pengembangan profil pelajar Pancasila.
Sehingga, tegas Anindito, setiap satuan pendidikan harus bertransformasi menjadi lingkungan belajar yang aman, efektif dan menantang.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menilai berdasarkan riset yang dilakukan lembaganya, penyebab putus sekolah tidak semata faktor ekonomi, tetapi juga aspek sosial.
Menurut Halili, saat ini berkembang fenomena sosial yang memperlihatkan hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi seseorang mampu menjadi kaya, membuat masyarakat menilai pendidikan tidak penting lagi untuk mewujudkan masa depan mereka.
Halili berpendapat saat ini masyarakat membutuhkan dorongan agar lebih dekat dengan pendidikan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik.
Wartawan Media Indonesia Bidang Pendidikan, Indrastuti berpendapat faktor sosial dan ekonomi sejak dahulu menjadi faktor pendorong angka putus sekolah, meski sudah ada program Wajib Belajar dan PIP.
Pertanyaan yang harus diajukan kepada pemerintah, tambah dia, apakah biaya yang dikeluarkan oleh orang tua sebanding dengan output yang diharapkan.
Bila tujuannya agar peserta didik bisa segera bekerja, ujar Indrastuti, akan lebih baik diarahkan ke sekolah kejuruan. Tentu saja, tambahnya, setiap daerah menghadapi tantangan yang berbeda-beda dalam mewujudkannya.
Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa, Ahmad Baedhowi AR berpendapat Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Kalau sampai terjadi putus sekolah, ujar Baedhowi, kita harus cek di mana pelanggarannya. "Apakah struktur anggaran pendidikan kita sehat atau tidak? "
Isu pendidikan, menurut dia, selalu saja dimasukkan dalam diskursus politik. Terminologi sekolah gratis, tegas Baedhowi, tidak tepat. Seolah, ujarnya, hanya pemerintah yang bertanggung jawab dalam membiayai pendidikan, padahal masyarakat juga ikut berkontribusi mewujudkan sekolah gratis.
Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, Jejen Musfah berpendapat faktor keterbatasan ekonomi merupakan salah satu penyebab putus sekolah.
Sehingga, tegas Jejen, pemerintah harus mewujudkan sekolah gratis di tanah air, termasuk sekolah madrasah swasta. Para peserta didik yang tidak mampu dan bersekolah di sekolah swasta, tambah dia, juga harus ditanggung oleh negara.
Selain itu, Jejen juga menilai, bahwa pernikahan dini juga menjadi penyebab terjadinya putus sekolah.
Menurut Jejen, saat ini terjadi surplus kebijakan di sektor pendidikan, tetapi lemah dalam implementasi karena tidak ada kolaborasi dan kerja sama yang baik antarpemangku kebijakan.
(mpw)