Guru Besar UI Puji Ketegasan Indonesia Hadapi Manuver China di Perairan Natuna
loading...
A
A
A
Hikmahanto menilai bahwa manuver RRC di wilayah LCS, termasuk di ZEE Indonesia di perairan Natuna, semakin hari semakin agresif. Menurutnya, ini karena semakin banyak penduduk RRC, negara itu semakin membutuhkan lebih banyak kekayaan alam, seperti migas dan lain lain.
Selain itu, kekuatan militer dan ekonomi RRC sekarang makin kuat. Oleh sebab itu mereka makin agresif. Ia menghimbau pemerintah Indonesia waspada terhadap makin agresif nya RRC di LCS, khususnya di ZEE Indonesia itu. “Klaim wilayah RRC jangan dianggap sekedar peta. Dalam hukum internasional, peta tersebut harus ditambahkan dengan kehadiran fisik. Itulah sebabnya RRC berupaya hadir di wilayah LCS, termasuk perairan dekat Natuna. Memang berdasarkan hukum internasional kapal perang mereka tidak boleh hadir, oleh karena itu, mereka mengirim nelayan nelayan mereka dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai mereka,” tuturnya.
Senada dengan Hikmahanto, pembicara lainnya Johanes Herlijanto, juga mengapresiasi respons keras dari berbagai negara terhadap tindakan RRC yang menerbitkan peta yang menerabas wilayah berbagai negara itu. Pasalnya, tindakan RRC menerbitkan peta tersebut dapat diinterpretasikan sebagai upaya RRC untuk menegaskan bahwa negara itu tetap kukuh dengan klaim kewilayahannya itu.
“Ada beberapa interpretasi dari tindakan China di atas. Pertama adalah interpretasi versi China, yang mengatakan bahwa tindakan menerbitkan peta itu adalah tindakan rutin. Kedua adalah analisis yang mengatakan bahwa penerbitan peta tersebut dilakukan untuk kepentingan internal China, agar publik China melihat keseriusan pemerintah mempertahankan wilayah mereka,” lanjutnya.
Namun bagi Johanes, penerbitan peta itu utamanya harus dimaknai sebagai upaya China memberi signal pada negara-negara kawasan bahwa RRC masih tetap mempertahankan klaimnya di LCS dan beberapa wilayah lain. “Apalagi rilis peta tersebut dilakukan hanya hitungan hari sebelum negara-negara ASEAN melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, dan negara-negara G20 melangsungkan KTT di India,” sambung Johanes
Seirama dengan Hikmahanto, Johanes juga menyatakan kekhawatiran bahwa kehadiran peta tersebut berpotensi untuk digunakan oleh China sebagai legitimasi bagi tindakan-tindakan negara itu di masa mendatang. “Kita harus belajar dari rilis peta RRC dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada 1993, yang pada awalnya tidak disertai dengan ketegangan-ketegangan militer, namun dalam sekitar satu dasawarsa terakhir menjadi arena yang tegang karena RRC melakukan berbagai manuver yang berbenturan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia,” tukasnya.
Menurut pemerhati masalah China dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, selain menyatakan penolakan terhadap klaim garis putus-putus RRC di peta yang baru saja dirilis itu, Indonesia dan negara-negara lain yang menjadi anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus menjalin kerja sama menghadapi RRC yang makin agresif itu.
Johanes menekankan pentingnya Indonesia dan negara-negara ASEAN terkait memperoleh dukungan internasional dalam menghadapi perilaku RRC itu. “Dan akhirnya, Indonesia harus meningkatkan kekuatannya baik dalam bidang ekonomi maupun militer,” pungkasnya.
Selain itu, kekuatan militer dan ekonomi RRC sekarang makin kuat. Oleh sebab itu mereka makin agresif. Ia menghimbau pemerintah Indonesia waspada terhadap makin agresif nya RRC di LCS, khususnya di ZEE Indonesia itu. “Klaim wilayah RRC jangan dianggap sekedar peta. Dalam hukum internasional, peta tersebut harus ditambahkan dengan kehadiran fisik. Itulah sebabnya RRC berupaya hadir di wilayah LCS, termasuk perairan dekat Natuna. Memang berdasarkan hukum internasional kapal perang mereka tidak boleh hadir, oleh karena itu, mereka mengirim nelayan nelayan mereka dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai mereka,” tuturnya.
Senada dengan Hikmahanto, pembicara lainnya Johanes Herlijanto, juga mengapresiasi respons keras dari berbagai negara terhadap tindakan RRC yang menerbitkan peta yang menerabas wilayah berbagai negara itu. Pasalnya, tindakan RRC menerbitkan peta tersebut dapat diinterpretasikan sebagai upaya RRC untuk menegaskan bahwa negara itu tetap kukuh dengan klaim kewilayahannya itu.
“Ada beberapa interpretasi dari tindakan China di atas. Pertama adalah interpretasi versi China, yang mengatakan bahwa tindakan menerbitkan peta itu adalah tindakan rutin. Kedua adalah analisis yang mengatakan bahwa penerbitan peta tersebut dilakukan untuk kepentingan internal China, agar publik China melihat keseriusan pemerintah mempertahankan wilayah mereka,” lanjutnya.
Namun bagi Johanes, penerbitan peta itu utamanya harus dimaknai sebagai upaya China memberi signal pada negara-negara kawasan bahwa RRC masih tetap mempertahankan klaimnya di LCS dan beberapa wilayah lain. “Apalagi rilis peta tersebut dilakukan hanya hitungan hari sebelum negara-negara ASEAN melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, dan negara-negara G20 melangsungkan KTT di India,” sambung Johanes
Seirama dengan Hikmahanto, Johanes juga menyatakan kekhawatiran bahwa kehadiran peta tersebut berpotensi untuk digunakan oleh China sebagai legitimasi bagi tindakan-tindakan negara itu di masa mendatang. “Kita harus belajar dari rilis peta RRC dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada 1993, yang pada awalnya tidak disertai dengan ketegangan-ketegangan militer, namun dalam sekitar satu dasawarsa terakhir menjadi arena yang tegang karena RRC melakukan berbagai manuver yang berbenturan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia,” tukasnya.
Menurut pemerhati masalah China dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, selain menyatakan penolakan terhadap klaim garis putus-putus RRC di peta yang baru saja dirilis itu, Indonesia dan negara-negara lain yang menjadi anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus menjalin kerja sama menghadapi RRC yang makin agresif itu.
Johanes menekankan pentingnya Indonesia dan negara-negara ASEAN terkait memperoleh dukungan internasional dalam menghadapi perilaku RRC itu. “Dan akhirnya, Indonesia harus meningkatkan kekuatannya baik dalam bidang ekonomi maupun militer,” pungkasnya.
(wyn)