Sosok Ridi Ferdiana, Profesor Muda UGM dan Risetnya yang Unik, Salah Satunya Teliti Bahasa Kucing
loading...
A
A
A
JAKARTA - Prof. Dr. Ir. Ridi Ferdiana saat ini menjabat Direktur Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Dosen Teknik Elektro Fakultas Teknik ini berhasil menyandang gelar profesor pada usia 39 tahun.
Ridi memang baru menyandang gelar profesor pada Juni 2023 lalu. Pria yang lahir dan besar di Cirebon ini mengaku sudah hampir tiga tahun mendaftar untuk pengusulan profesor.
Beruntung kebijakan Kemendikbudristek terbaru mengenai aturan dan berkas syarat pengusulan profesor membantunya sehingga gelar profesor bisa diraihnya tahun ini.
"“Antrian sudah agak lama sekitar dua tahun. Baru kemarin bulan Juni turun,” ujarnya, dikutip dari laman UGM, Kamis (5/10/2023).
15 tahun sudah Ridi mengajar di Fakultas Teknik UGM dan di fakultas ini pula anak bungsu dari dua bersaudara ini menamatkan pendidikan sarjana hingga berhasil meraih gelar profesornya.
Baca juga: Perbedaan KIP Kuliah Skema 1 dan Skema 2, Lulusan SMA Wajib Tahu!
Tidak hanya berhasil meraih gelar akademik tertinggi, namun ia juga tengah mengemban amanah mengurusi teknologi informasi di tingkat universitas.
Ridi bertanggung jawab mengelola dan memelihara infrastruktur jaringan dan internet di UGM serta melakukan perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan infrastruktur jaringan, pusat data, dan fasilitas komputasi yang andal.
Ridi mengaku pernah meneliti soal bahasa kucing dan perilaku yang dilakukannya dengan berkolaborasi dengan Samsung. Saat itu sampel yang dikumpulkan adalah 35-40 ribu video kucing yang diambilnya dari YouTube.
Baca juga:
“Kita petakan berdasarkan ras kucing dan suaranya, suara kucing ingin kawin, suara kucinglagi sedang marah, kita klasifikasi mood kucing. Sekitar 35-40 ribu video kucing kita kumpulkan dari YouTube, lalu kita ekstrak audionya, kita koneksikan dengan deskripsi yang tertera di video itu,"
Ridi memiliki angan-angan suatu saat dari gawai masing-masing manusia akan bisa mengetahui suara kucing ketika lagi lewat, juga mengetahui apa yang sedang kucing inginkan sehingga pemilik kucing itu pun bisa melakukan apa yang harus dilakukan.
Tak hanya riset bahasa kucing, ketika ditanya riset apa yang ingin ia selesaikan di masa mendatang, Ridi berkeinginan membuat riset tentang digital sibling, yaitu orang bisa berinteraksi dengan saudara, kerabat kandung atau orang tua yang sudah meninggal secara digital lewat teknologi kecerdasan buatan (AI).
“Orang yang sudah meninggal, bagaimana perilakunya bisa masuk ke AI. Harapan saya nantinya anak cucu bisa ngobrol dan berinteraksi. Dari perilaku, cara ngomong, hingga suara dibuat bisa semirip mungkin. Saya memikirkan kodenya (algoritma) seperti apa. Paling tidak bisa mulai dari diri saya sendiri,” tuturnya.
Selain itu, Ridi juga pernah melakukan riset soal kebiasaan masyarakat memulai percakapan saat mengetik pesan di sebuah aplikasi percakapan. “Waktu itu saya riset soal perilaku masyarakat kita saat mengetik di smartphone," jelasnya.
Baca juga: Top 53 Universitas Terbaik di Jakarta Versi UniRank 2023 Terbaru, BINUS Ranking Pertama!
"Kita sampai tahu anak SMP itu misalnya sering ngomong apa, ngobrol formal atau informal, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Kita tahu keyboard virtual itu menyimpan apa yang sering kita tulis,” lanjutnya.
Ridi memang aktif meneliti dan mengaplikasikan riset berguna bagi masyarakat dan perusahaan. Bahkan rata-rata setiap tahun Ridi dapat memublikasikan 1-2 dua riset baru yang diterbitkan di jurnal atau dipresentasikan dalam sebuah konferensi internasional.
“Sangat bersyukur, pandanaan di UGM tidak sulit, ada dari Prodi, Fakultas maupun universitas ,” kata Ridi yang memiliki kompetensi di bidang riset rekayasa perangkat lunak.
Baca juga: Rektor ITB AD Jakarta: Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru Perlu Diatur Ulang
Selama 15 tahun berkarier di UGM, Ridi memang tak hanya datang ke kampus dan menjalankan profesi sebagai dosen. Namun dia juga menghabiskan waktu di laboratorium dan mengurusi riset di depan komputer.
Setiap hari ia selalu datang lebih pagi ke kampus dan pulang kerumah hingga jam 5 sore. Sesekali ia datang ke perpustakaan untuk membaca buku.
Setiap datang ke perpustakaan Fakultas, Ridi bisa menghabiskan waktu hingga 3 jam untuk membaca buku dalam rangka menggali ide riset terbaru yang ingin ia lakukan.
“Ada ruang kecil di lantai tiga, di situ saya kumpulkan banyak buku untuk saya baca. Lalu, buat resume satu-satu. Saya akan pilih ide riset yang mungkin bisa saya lakukan, misalnya riset untuk budget yang bisa dipakai, paling tidak dapat budget Rp15 juta dari prodi atau Rp300 juta dari Fakultas,” urainya.
Ridi juga tidak segan-segan untuk berlangganan jurnal yang tidak disediakan oleh fakultas atau Universitas agar mendukung riset yang ia lakukan. Bahkan beberapa kerja sama riset yang sudah dia lakukan diantaranya dengan Microsoft Jepang tahun 2019 melakukan riset kecerdasan buatan berempati.
“Yang kita lakukan bagaimana AI itu paham unggah-ungguh. Bisa ngomong dengan user yang sebaya atau seumuran sehingga bisa lebih gaul,” katanya.
Soal tips agar seorang dosen bisa mengejar gelar profesor lebih cepat seperti dia di bawah usia 40 tahun, menurut Ridi, seorang dosen tetaplah konsisten dalam mengajar dan riset secara bersamaan dan berani berkata tidak pada hal yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
“Misalnya kita ditawari sebuah pekerjaan tidak kompeten berujung jadi administrasi, lebih baik ditolak. Tidak semuanya kita tolak, namun tidak semua kita terima, tapi ada personal target yang mesti kita gapai,” pungkasnya.
Lihat Juga: Dosen FISIP UPNVJ Presentasikan Diseminasi Riset Indonesia–Belanda di Universitas Amsterdam
Ridi memang baru menyandang gelar profesor pada Juni 2023 lalu. Pria yang lahir dan besar di Cirebon ini mengaku sudah hampir tiga tahun mendaftar untuk pengusulan profesor.
Beruntung kebijakan Kemendikbudristek terbaru mengenai aturan dan berkas syarat pengusulan profesor membantunya sehingga gelar profesor bisa diraihnya tahun ini.
"“Antrian sudah agak lama sekitar dua tahun. Baru kemarin bulan Juni turun,” ujarnya, dikutip dari laman UGM, Kamis (5/10/2023).
15 tahun sudah Ridi mengajar di Fakultas Teknik UGM dan di fakultas ini pula anak bungsu dari dua bersaudara ini menamatkan pendidikan sarjana hingga berhasil meraih gelar profesornya.
Baca juga: Perbedaan KIP Kuliah Skema 1 dan Skema 2, Lulusan SMA Wajib Tahu!
Tidak hanya berhasil meraih gelar akademik tertinggi, namun ia juga tengah mengemban amanah mengurusi teknologi informasi di tingkat universitas.
Ridi bertanggung jawab mengelola dan memelihara infrastruktur jaringan dan internet di UGM serta melakukan perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan infrastruktur jaringan, pusat data, dan fasilitas komputasi yang andal.
Meneliti Bahasa Kucing
Ridi mengaku pernah meneliti soal bahasa kucing dan perilaku yang dilakukannya dengan berkolaborasi dengan Samsung. Saat itu sampel yang dikumpulkan adalah 35-40 ribu video kucing yang diambilnya dari YouTube.
Baca juga:
“Kita petakan berdasarkan ras kucing dan suaranya, suara kucing ingin kawin, suara kucinglagi sedang marah, kita klasifikasi mood kucing. Sekitar 35-40 ribu video kucing kita kumpulkan dari YouTube, lalu kita ekstrak audionya, kita koneksikan dengan deskripsi yang tertera di video itu,"
Ridi memiliki angan-angan suatu saat dari gawai masing-masing manusia akan bisa mengetahui suara kucing ketika lagi lewat, juga mengetahui apa yang sedang kucing inginkan sehingga pemilik kucing itu pun bisa melakukan apa yang harus dilakukan.
MelaluiAI Berinteraksi dengan Orang Meninggal
Tak hanya riset bahasa kucing, ketika ditanya riset apa yang ingin ia selesaikan di masa mendatang, Ridi berkeinginan membuat riset tentang digital sibling, yaitu orang bisa berinteraksi dengan saudara, kerabat kandung atau orang tua yang sudah meninggal secara digital lewat teknologi kecerdasan buatan (AI).
“Orang yang sudah meninggal, bagaimana perilakunya bisa masuk ke AI. Harapan saya nantinya anak cucu bisa ngobrol dan berinteraksi. Dari perilaku, cara ngomong, hingga suara dibuat bisa semirip mungkin. Saya memikirkan kodenya (algoritma) seperti apa. Paling tidak bisa mulai dari diri saya sendiri,” tuturnya.
Selain itu, Ridi juga pernah melakukan riset soal kebiasaan masyarakat memulai percakapan saat mengetik pesan di sebuah aplikasi percakapan. “Waktu itu saya riset soal perilaku masyarakat kita saat mengetik di smartphone," jelasnya.
Baca juga: Top 53 Universitas Terbaik di Jakarta Versi UniRank 2023 Terbaru, BINUS Ranking Pertama!
"Kita sampai tahu anak SMP itu misalnya sering ngomong apa, ngobrol formal atau informal, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Kita tahu keyboard virtual itu menyimpan apa yang sering kita tulis,” lanjutnya.
Produktif Meneliti di Tengah Kewajiban Mengajar
Ridi memang aktif meneliti dan mengaplikasikan riset berguna bagi masyarakat dan perusahaan. Bahkan rata-rata setiap tahun Ridi dapat memublikasikan 1-2 dua riset baru yang diterbitkan di jurnal atau dipresentasikan dalam sebuah konferensi internasional.
“Sangat bersyukur, pandanaan di UGM tidak sulit, ada dari Prodi, Fakultas maupun universitas ,” kata Ridi yang memiliki kompetensi di bidang riset rekayasa perangkat lunak.
Baca juga: Rektor ITB AD Jakarta: Kebijakan Penerimaan Mahasiswa Baru Perlu Diatur Ulang
Selama 15 tahun berkarier di UGM, Ridi memang tak hanya datang ke kampus dan menjalankan profesi sebagai dosen. Namun dia juga menghabiskan waktu di laboratorium dan mengurusi riset di depan komputer.
Setiap hari ia selalu datang lebih pagi ke kampus dan pulang kerumah hingga jam 5 sore. Sesekali ia datang ke perpustakaan untuk membaca buku.
Setiap datang ke perpustakaan Fakultas, Ridi bisa menghabiskan waktu hingga 3 jam untuk membaca buku dalam rangka menggali ide riset terbaru yang ingin ia lakukan.
“Ada ruang kecil di lantai tiga, di situ saya kumpulkan banyak buku untuk saya baca. Lalu, buat resume satu-satu. Saya akan pilih ide riset yang mungkin bisa saya lakukan, misalnya riset untuk budget yang bisa dipakai, paling tidak dapat budget Rp15 juta dari prodi atau Rp300 juta dari Fakultas,” urainya.
Ridi juga tidak segan-segan untuk berlangganan jurnal yang tidak disediakan oleh fakultas atau Universitas agar mendukung riset yang ia lakukan. Bahkan beberapa kerja sama riset yang sudah dia lakukan diantaranya dengan Microsoft Jepang tahun 2019 melakukan riset kecerdasan buatan berempati.
“Yang kita lakukan bagaimana AI itu paham unggah-ungguh. Bisa ngomong dengan user yang sebaya atau seumuran sehingga bisa lebih gaul,” katanya.
Tips Meraih Gelar Profesor di Usia Muda
Soal tips agar seorang dosen bisa mengejar gelar profesor lebih cepat seperti dia di bawah usia 40 tahun, menurut Ridi, seorang dosen tetaplah konsisten dalam mengajar dan riset secara bersamaan dan berani berkata tidak pada hal yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
“Misalnya kita ditawari sebuah pekerjaan tidak kompeten berujung jadi administrasi, lebih baik ditolak. Tidak semuanya kita tolak, namun tidak semua kita terima, tapi ada personal target yang mesti kita gapai,” pungkasnya.
Lihat Juga: Dosen FISIP UPNVJ Presentasikan Diseminasi Riset Indonesia–Belanda di Universitas Amsterdam
(nnz)