Jalan Terjal Anak Panti Asuhan Asal Tasik Meraih Beasiswa LPDP di UI
loading...
A
A
A
Anas ingat dari 22 orang pendaftar SBMPTN di panti asuhan tersebut, hanya dirinya yang kemudian lolos diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Ia juga membawa kedua adiknya untuk tinggal di Panti Asuhan Riadlul Jannah, Jatinangor.
“Saat kuliah di Unpad, saya di sana bertekad pada diri. Saya menyadari sebagai minoritas, mungkin hanya saya satu-satunya di Unpad ini yang merupakan anak panti asuhan. Sehingga saya juga harus bisa membuktikan, yaitu menjadi minoritas juga, artinya menjadi mahasiswa yang berprestasi.” tutur Anas.
Keputusan Anas mengambil jurusan sejarah mungkin menimbulkan pertanyaan bagi sebagian besar orang. Bahkan sempat mendapat pertentangan dari orang-orang di panti asuhan. Rumpun ilmu humaniora dengan spesifikasi sejarah jelas kurang populer dibanding jurusan lain yang identik menjanjikan kesuksesan di masa depan.
Baca juga: Kisah Machrus, Kader Ansor yang Sukses Meraih Beasiswa LPDP S2 dan S3
“Saat itu, ketika saya di panti asuhan sempat mendapatkan pertentangan. Karena jurusan sejarah adalah jurusan yang kategorinya minat khusus, non-favorit. Bahkan untuk pekerjaannya pun tidak sebanyak jurusan seperti Ilmu Hukum, ataupun Ekonomi dan Psikologi.” ujarnya.
Namun, minat menekuni suatu bidang ilmu tak selalu bisa mengikuti tren populer. Anas juga tak sedang main aman dengan mengambil jurusan sejarah agar lebih mudah masuk ke kampus negeri. Ia mengaku telah menyukai pelajaran sejarah sejak duduk di bangku SMP.
Saat di bangku kelas 10 Madrasah Aliyah atau setara SMA ia semakin mendalami pembacaan sejarah saat bertemu dengan buku karya Kuntowijoyo, guru besar Ilmu Sejarah di UGM cum budayawan yang tak asing lagi bagi para penggiat keilmuan sejarah.
Dari situlah Anas semakin tenggelam untuk melahap buku-buku sejarah, mengetahui suatu peristiwa dan perjalanan tokoh.
Anas menamatkan sarjananya dengan merampungkan skripsi berjudul “Politik Hukum Pemerintah Indonesia tentang Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia Tahun 1984-1989”.
Ia menyoroti tentang pemberlakuan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri pada 1984 ke Malaysia. Di era Orde Baru tersebut, target pemerintah yang masuk dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan mengirimkan tenaga kerja sebesar-besarnya ternyata tak sebanding dengan kelayakan yang didapat di lapangan.
Ketertarikan Anas pada topik buruh migran juga didasari oleh daerah asalnya. Di Tasikmalaya, banyak warga yang bekerja sebagai buruh. Mulai dari buruh tani seperti ibunya, buruh yang merantau di kota besar, dan buruh migran. Mereka yang memilih menjadi TKI rata-rata didominasi perempuan.
“Imun saya turun dan akhirnya saya mengalami kelumpuhan di bagian wajah sebelah kiri saraf nomor tujuh” ujar Anas. Praktis, ia harus berobat dan tentunya membutuhkan biaya.
“Saat kuliah di Unpad, saya di sana bertekad pada diri. Saya menyadari sebagai minoritas, mungkin hanya saya satu-satunya di Unpad ini yang merupakan anak panti asuhan. Sehingga saya juga harus bisa membuktikan, yaitu menjadi minoritas juga, artinya menjadi mahasiswa yang berprestasi.” tutur Anas.
Minat Besar Studi Sejarah Meski Ditentang
Keputusan Anas mengambil jurusan sejarah mungkin menimbulkan pertanyaan bagi sebagian besar orang. Bahkan sempat mendapat pertentangan dari orang-orang di panti asuhan. Rumpun ilmu humaniora dengan spesifikasi sejarah jelas kurang populer dibanding jurusan lain yang identik menjanjikan kesuksesan di masa depan.
Baca juga: Kisah Machrus, Kader Ansor yang Sukses Meraih Beasiswa LPDP S2 dan S3
“Saat itu, ketika saya di panti asuhan sempat mendapatkan pertentangan. Karena jurusan sejarah adalah jurusan yang kategorinya minat khusus, non-favorit. Bahkan untuk pekerjaannya pun tidak sebanyak jurusan seperti Ilmu Hukum, ataupun Ekonomi dan Psikologi.” ujarnya.
Namun, minat menekuni suatu bidang ilmu tak selalu bisa mengikuti tren populer. Anas juga tak sedang main aman dengan mengambil jurusan sejarah agar lebih mudah masuk ke kampus negeri. Ia mengaku telah menyukai pelajaran sejarah sejak duduk di bangku SMP.
Saat di bangku kelas 10 Madrasah Aliyah atau setara SMA ia semakin mendalami pembacaan sejarah saat bertemu dengan buku karya Kuntowijoyo, guru besar Ilmu Sejarah di UGM cum budayawan yang tak asing lagi bagi para penggiat keilmuan sejarah.
Dari situlah Anas semakin tenggelam untuk melahap buku-buku sejarah, mengetahui suatu peristiwa dan perjalanan tokoh.
Anas menamatkan sarjananya dengan merampungkan skripsi berjudul “Politik Hukum Pemerintah Indonesia tentang Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia Tahun 1984-1989”.
Ia menyoroti tentang pemberlakuan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri pada 1984 ke Malaysia. Di era Orde Baru tersebut, target pemerintah yang masuk dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan mengirimkan tenaga kerja sebesar-besarnya ternyata tak sebanding dengan kelayakan yang didapat di lapangan.
Ketertarikan Anas pada topik buruh migran juga didasari oleh daerah asalnya. Di Tasikmalaya, banyak warga yang bekerja sebagai buruh. Mulai dari buruh tani seperti ibunya, buruh yang merantau di kota besar, dan buruh migran. Mereka yang memilih menjadi TKI rata-rata didominasi perempuan.
“Imun saya turun dan akhirnya saya mengalami kelumpuhan di bagian wajah sebelah kiri saraf nomor tujuh” ujar Anas. Praktis, ia harus berobat dan tentunya membutuhkan biaya.