Marak Gelar Guru Besar Abal-abal, Ketua DPP Perindo: Miris Jika ada Orang yang Tidak Malu
loading...
A
A
A
Sortaman memandang, memiliki gelar Profesor bukanlah perkara yang salah. Asalkan, gelar tersebut diraih atau ditempuh melalui jalur prosedur yang benar.
"Gelar Profesor memiliki persyaratan, bergelar doktor, membuat penelitian yang dipublish secara internasional, minimal 10 tahun menjadi dosen tetap. Namun bagi mereka penggila hormat itu tidak berlaku, semuas persyaratan bisa dipesan (dikateringkan ibarat makanan) bekerja sama dengan kampus yang mengobralnya," bebernya.
Sortaman mengatakan, kasus jual bual gelar ini tidak hanya berlaku bagi Profesor saja, namun juga bagi gelar sarjana dan magister. Karena itu, orang-orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan gelar tersebut.
"Bukan hanya gelar guru besar tetapi gelar S1 dan S2 juga bisa dikateringkan. Tapi masa pemesanannya dibuat rasional bukan dadakan seperti jajanan tahu bulat. Artinya diatur sedemikian rupa sehingga seolah benar perkuliahannya dijalani," katanya.
"Meskipun, semua tugas kuliah dan skripsi, tesis dan disertasi sudah tersedia dan siap dibayar. Jadi seseorang lulusan SLTA sekalipun, bisa mendapatkan gelar profesor setelah 15 tahun kemudian. Semua bisa diatur, yang penting ada harga ada barang," tambahnya.
Sortaman menilai, pemberian gelar abal-abal ini sangat menghacurkan nama instusi pendidikan di Indonesia. Dirinya pun mendesak pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
"Batalkan gelar gelar obralan ini. Ikuti aturan sesungguhnya yang telah ditetapkan untuk mendapatkan gelar itu. Bagaimana dunia melihat pendidikan bangsa ini jika hal ini tidak dituntaskan," tuturnya.
"Maka bangsa ini menjadi bangsa badut yang tidak tahu malu. Tapi jangan-jangan obral gelar profesor ini bagian dari permainan kementerian itu juga?" tandasnya.
"Gelar Profesor memiliki persyaratan, bergelar doktor, membuat penelitian yang dipublish secara internasional, minimal 10 tahun menjadi dosen tetap. Namun bagi mereka penggila hormat itu tidak berlaku, semuas persyaratan bisa dipesan (dikateringkan ibarat makanan) bekerja sama dengan kampus yang mengobralnya," bebernya.
Sortaman mengatakan, kasus jual bual gelar ini tidak hanya berlaku bagi Profesor saja, namun juga bagi gelar sarjana dan magister. Karena itu, orang-orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan gelar tersebut.
"Bukan hanya gelar guru besar tetapi gelar S1 dan S2 juga bisa dikateringkan. Tapi masa pemesanannya dibuat rasional bukan dadakan seperti jajanan tahu bulat. Artinya diatur sedemikian rupa sehingga seolah benar perkuliahannya dijalani," katanya.
"Meskipun, semua tugas kuliah dan skripsi, tesis dan disertasi sudah tersedia dan siap dibayar. Jadi seseorang lulusan SLTA sekalipun, bisa mendapatkan gelar profesor setelah 15 tahun kemudian. Semua bisa diatur, yang penting ada harga ada barang," tambahnya.
Sortaman menilai, pemberian gelar abal-abal ini sangat menghacurkan nama instusi pendidikan di Indonesia. Dirinya pun mendesak pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
"Batalkan gelar gelar obralan ini. Ikuti aturan sesungguhnya yang telah ditetapkan untuk mendapatkan gelar itu. Bagaimana dunia melihat pendidikan bangsa ini jika hal ini tidak dituntaskan," tuturnya.
"Maka bangsa ini menjadi bangsa badut yang tidak tahu malu. Tapi jangan-jangan obral gelar profesor ini bagian dari permainan kementerian itu juga?" tandasnya.
(nnz)