Pelajar Diingatkan Kebebasan Berekspresi di Media Sosial Ada Batasnya
loading...
A
A
A
KOLAKA - Kebebasan berekspresi adalah hak setiap orang untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apa pun, dengan cara apa pun. Hal ini termasuk ekspresi lisan, tercetak maupun melalui materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik.
Dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Eko Pamuji mengatakan, kebebasan berekspresi dijamin setidaknya oleh dua dasar aturan: Pasal 28 F UUD 1945 dan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945.
”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” tegasnya dalam webinar literasi digital untuk segmen pendidikan, yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tenggara, di Kabupaten Kolaka, Rabu (25/9/2024)
Dalam webinar bertajuk ”Bebas namun Terbatas: Berekspresi di Media Sosial” itu Eko menyebutkan bahwa kebebasan berekspresi di media sosial juga dibatasi oleh aturan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE; akses ilegal (Pasal 30); dan intersepsi ilegal (Pasal 31).
”Beberapa cybercrimes yang diatur dalam UU ITE, antara lain: konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan, sebagai rambu-rambu ruang digital agar warga memiliki rasa nyaman dan aman dalam berekspresi,” jelas Eko
UU ITE, sambung Eko, merupakan rambu lalu lintas media sosial untuk mengantisipasi penyalahgunaan teknologi informasi khususnya, dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal itu seperti termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016.
”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,” pungkas Eko Pamuji di hadapan siswa dan tenaga pendidik peserta diskusi yang mengikuti acara dengan menggelar nonton bareng (nobar) dari sekolah masing-masing.
Sejumah sekolah yang menggelar nobar diskusi online di wilayah Kabupaten Kolaka dan sekitarnya, antara lain: SMP Islam Terpadu Nur Syamzam, SMP Islam Terpadu Wihdatul Ummah, SMAN 1 Tanggetada, SMAN 1 Wolo, SMA Muhammadiyah Dawi-Dawi, SMA IT AlMawar, SMAN 1 Pomalaa, SMAN 1 Samaturu, SMA IT Wahdah Islamiyah, dan SMAN 1 Wundulako.
Pembicara lain, dosen Universitas Paramadina dan Peneliti Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Jakarta Joko Arizal mengatakan, kebebasan berekspresi di media sosial dibatasi hak digital orang lain. Hak digital merupakan hak asasi manusia yang menjamin tiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan media digital.
”Ada hak, ada tanggung jawab. Menjaga hak-hak atau reputasi orang lain. Menjaga keamanan nasional, ketertiban masyarakat, atau kesehatan dan moral publik. Ragam hak digital, yaitu hak mengakses, hak berekspresi dan hak merasa aman,” jelas Joko Arizal.
Sementara, CEO PT Mahakarya Berkah Sejahtera Muhajir Sulthonul Aziz meminta pengguna digital untuk memiliki kemampuan kecakapan digital. Kecakapan itu meliputi lanskap digital, mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan media sosial, dompet digital, lokapasar dan transaksi elektronik.
”Individu yang cakap bermedia digital dinilai mampu mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan lunak dalam lanskap digital, mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan media sosial, serta aplikasi dompet digital, lokapasar, dan transaksi digital,” jelas Muhajir Sulthonul Aziz.
Lihat Juga: Ciptakan Ruang Digital Bersih, Pelajar dan Generasi Muda Harus Dijauhkan dari Judi Online
Dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Eko Pamuji mengatakan, kebebasan berekspresi dijamin setidaknya oleh dua dasar aturan: Pasal 28 F UUD 1945 dan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945.
”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” tegasnya dalam webinar literasi digital untuk segmen pendidikan, yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tenggara, di Kabupaten Kolaka, Rabu (25/9/2024)
Dalam webinar bertajuk ”Bebas namun Terbatas: Berekspresi di Media Sosial” itu Eko menyebutkan bahwa kebebasan berekspresi di media sosial juga dibatasi oleh aturan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE; akses ilegal (Pasal 30); dan intersepsi ilegal (Pasal 31).
”Beberapa cybercrimes yang diatur dalam UU ITE, antara lain: konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan, sebagai rambu-rambu ruang digital agar warga memiliki rasa nyaman dan aman dalam berekspresi,” jelas Eko
Baca Juga
UU ITE, sambung Eko, merupakan rambu lalu lintas media sosial untuk mengantisipasi penyalahgunaan teknologi informasi khususnya, dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal itu seperti termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016.
”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,” pungkas Eko Pamuji di hadapan siswa dan tenaga pendidik peserta diskusi yang mengikuti acara dengan menggelar nonton bareng (nobar) dari sekolah masing-masing.
Sejumah sekolah yang menggelar nobar diskusi online di wilayah Kabupaten Kolaka dan sekitarnya, antara lain: SMP Islam Terpadu Nur Syamzam, SMP Islam Terpadu Wihdatul Ummah, SMAN 1 Tanggetada, SMAN 1 Wolo, SMA Muhammadiyah Dawi-Dawi, SMA IT AlMawar, SMAN 1 Pomalaa, SMAN 1 Samaturu, SMA IT Wahdah Islamiyah, dan SMAN 1 Wundulako.
Pembicara lain, dosen Universitas Paramadina dan Peneliti Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Jakarta Joko Arizal mengatakan, kebebasan berekspresi di media sosial dibatasi hak digital orang lain. Hak digital merupakan hak asasi manusia yang menjamin tiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan media digital.
”Ada hak, ada tanggung jawab. Menjaga hak-hak atau reputasi orang lain. Menjaga keamanan nasional, ketertiban masyarakat, atau kesehatan dan moral publik. Ragam hak digital, yaitu hak mengakses, hak berekspresi dan hak merasa aman,” jelas Joko Arizal.
Sementara, CEO PT Mahakarya Berkah Sejahtera Muhajir Sulthonul Aziz meminta pengguna digital untuk memiliki kemampuan kecakapan digital. Kecakapan itu meliputi lanskap digital, mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan media sosial, dompet digital, lokapasar dan transaksi elektronik.
”Individu yang cakap bermedia digital dinilai mampu mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan lunak dalam lanskap digital, mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan media sosial, serta aplikasi dompet digital, lokapasar, dan transaksi digital,” jelas Muhajir Sulthonul Aziz.
Lihat Juga: Ciptakan Ruang Digital Bersih, Pelajar dan Generasi Muda Harus Dijauhkan dari Judi Online
(wyn)