President University Bersama Bhikkhu Dhammasubho Bahas Pentingnya Pikiran, Jiwa, Raga, dan Moralitas
loading...
A
A
A
“Ini sering kali menyebabkan kinerja organisasi menjadi kurang efektif. Sebaliknya jika setiap anggota mempunyai rasa memiliki yang kuat, paparnya, organisasi akan mampu bekerja dengan baik. Setiap anggota akan berkontribusi sesuai bidangnya masing-masing. Kalau itu terjadi, kita pasti bisa meraih prestasi,” ucap Darmono.
Mengawali sharing session-nya, Bhikkhu Dhammasubho menegaskan, setiap orang itu ada zamannya, dan setiap zaman ada orangnya. “Ini akan selalu terjadi, berganti-ganti. Dan, karena perubahan inilah akan selalu ada perbedaan cara pemikiran,” ucapnya
Perbedaan ini terlihat jelas dalam berbagai bagian kehidupan. Misalnya, seperti yang ia tegaskan, spiritualitas dan ilmu yang tidak pernah bertemu. Namun, Bhikkhu Dhammasubho juga menegaskan bahwa meski ada perbedaan cara berpikir, manusia tetaplah manusia. “Manusia yang paling kuat, atau paling terkenal sekalipun, mereka pada dasarnya tetap sama dengan manusia lainnya,” kata Bikkhu Dhammasubho.
Bikkhu Dhammasubho menguraikan setiap manusia terdiri dari tiga hal, yakni pikiran, jiwa, dan raga. “Jika salah satunya tidak ada, manusia tidak dapat bertahan hidup,” ucapnya.
Dari tiga hal tersebut, masing-masing memerlukan asupan yang berbeda. Misalnya, untuk menjaga raga agar tetap sehat, dibutuhkan asupan gizi, seperti nasi dan juga lauk pauk.
“Kemudian, untuk menjaga agar pikiran tetap sehat, diperlukan asupan pengetahuan. Sedangkan untuk menjaga kesehatan jiwa, diperlukan asupan rasa,” urai Bikkhu Dhammasubho,.
Untuk menjadi individu yang sehat, ungkap Bikkhu Dhammasubho, tiga hal tersebut penting untuk dijaga dan dirawat. “Untuk membangun pikiran, jiwa, dan juga raga yang sehat, itu bisa diperoleh jika manusia mampu menjaga keseimbangan,” tukasnya.
Setiap orang, ucap Bikkhu Dhammasubho, perlu memiliki keseimbangan perasaan dan kecerdasan. “Kalau hanya memiliki salah satunya, itu tidak baik. Jika seorang manusia memiliki perasaan yang terlalu tinggi, namun tidak memiliki kecerdasan, ia dapat dengan mudah dimanfaatkan orang lain. Itu karena rasa ibanya yang terlalu tinggi.”
Begitu juga jika seseorang memiliki kecerdasan yang terlalu tinggi, tapi tidak memiliki perasaan, dia akan selalu berhitung untung dan rugi. “Orang seperti ini tidak dapat membantu orang lain dengan ikhlas,” ucapnya.
Bhikkhu Dhammasubho Mahāthera juga menjelaskan seseorang dapat memilih kehidupan seperti apakah yang ingin mereka miliki.
Mengawali sharing session-nya, Bhikkhu Dhammasubho menegaskan, setiap orang itu ada zamannya, dan setiap zaman ada orangnya. “Ini akan selalu terjadi, berganti-ganti. Dan, karena perubahan inilah akan selalu ada perbedaan cara pemikiran,” ucapnya
Perbedaan ini terlihat jelas dalam berbagai bagian kehidupan. Misalnya, seperti yang ia tegaskan, spiritualitas dan ilmu yang tidak pernah bertemu. Namun, Bhikkhu Dhammasubho juga menegaskan bahwa meski ada perbedaan cara berpikir, manusia tetaplah manusia. “Manusia yang paling kuat, atau paling terkenal sekalipun, mereka pada dasarnya tetap sama dengan manusia lainnya,” kata Bikkhu Dhammasubho.
Bikkhu Dhammasubho menguraikan setiap manusia terdiri dari tiga hal, yakni pikiran, jiwa, dan raga. “Jika salah satunya tidak ada, manusia tidak dapat bertahan hidup,” ucapnya.
Dari tiga hal tersebut, masing-masing memerlukan asupan yang berbeda. Misalnya, untuk menjaga raga agar tetap sehat, dibutuhkan asupan gizi, seperti nasi dan juga lauk pauk.
“Kemudian, untuk menjaga agar pikiran tetap sehat, diperlukan asupan pengetahuan. Sedangkan untuk menjaga kesehatan jiwa, diperlukan asupan rasa,” urai Bikkhu Dhammasubho,.
Untuk menjadi individu yang sehat, ungkap Bikkhu Dhammasubho, tiga hal tersebut penting untuk dijaga dan dirawat. “Untuk membangun pikiran, jiwa, dan juga raga yang sehat, itu bisa diperoleh jika manusia mampu menjaga keseimbangan,” tukasnya.
Setiap orang, ucap Bikkhu Dhammasubho, perlu memiliki keseimbangan perasaan dan kecerdasan. “Kalau hanya memiliki salah satunya, itu tidak baik. Jika seorang manusia memiliki perasaan yang terlalu tinggi, namun tidak memiliki kecerdasan, ia dapat dengan mudah dimanfaatkan orang lain. Itu karena rasa ibanya yang terlalu tinggi.”
Begitu juga jika seseorang memiliki kecerdasan yang terlalu tinggi, tapi tidak memiliki perasaan, dia akan selalu berhitung untung dan rugi. “Orang seperti ini tidak dapat membantu orang lain dengan ikhlas,” ucapnya.
Bhikkhu Dhammasubho Mahāthera juga menjelaskan seseorang dapat memilih kehidupan seperti apakah yang ingin mereka miliki.