Pendidikan 2 Hakim MK yang Dissenting Opinion dalam Putusan Presidential Threshold

Jum'at, 03 Januari 2025 - 11:24 WIB
loading...
Pendidikan 2 Hakim MK...
Ada dua hakim konstitusi yang beda pendapat pada putusan MK yang mengabulkan gugatan terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold). Foto/Dok.
A A A
JAKARTA - Ada dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion pada putusan MK yang mengabulkan gugatan terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold). Keduanya adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.

Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan nomor 62/PUU-XXI/2023 soal persyaratan ambang batas calon peserta Pilpres atau Presidential Threshold . Putusan dilaksanakan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025) dan diumumkan oleh Ketua MK Suhartoyo.

Baca juga: Breaking News! MK Hapus Presidential Threshold

Norma yang diujikan oleh para pemohon adalah Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal tersebut menyatakan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Namun karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," sambungnya.

Baca juga: Hormati Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Yusril: Final dan Mengikat

"Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," sambung Ketua MK.

Profil Pendidikan 2 Hakim MK yang Dissenting Opinion pada Putusan Ambang Batas Pencapresan 20 %


Dalam putusan gugatan presidential threshold itu terdapat dissenting opinion atau pendapat berbeda dari dua hakim konstitusi. Dua hakim yang berbeda pendapat itu adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.

Anwar dan Daniel berpendapat para pemohon yakni empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan yang mereka ajukan.

Anwar dan Daniel pun menilai, keempat pemohon harus membuktikan kerugian konstitusi yang mereka alami dengan mengajukan judicial review atas ketentuan presidential threshold.

1. Anwar Usman


Pria yang dibesarkan di Desa Rasabou, Kecamatan Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat ini lulus dari SDN 03 Sila, Bima pada 1969. Anwar sebelumnya berprofesi sebagai seorang guru honorer.

Hakim kelahiran 31 Desember 1956 ini lulus dari PGAN pada 1975. Ia merantau ke Jakarta dan menjadi guru honorer di SD Kalibaru. Nyambi menjadi guru, dikutip dari laman MK, Anwar kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus pada 1984.

Sukses meraih gelar sarjana, ia coba ikut tes menjadi calon hakim dan lulus pada percobaan pertama dan iangkat menjadi calon hakim Pengadilan Negeri Bogor pada 1985.

Pada 2001, ia menempuh kuliah jenjang S2 pada prodi Magister Hukum di STIH Iblam Jakarta. Anwar pernah bertugas di Pengadilan Negeri Atambua dan Pengadilan Negeri Lumajang. Mantan Ketua MK periode 2018 hingga 2020 itu meraih gelar doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

2. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh


Dikutip dari laman MK, Daniel menjadi putra pertama Nusa Tenggara Timur yang menjabat sebagai hakim konstitusi sejak MK berdiri.

Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 15 Desember 1964, Daniel merupakan putra ke-5 dari tujuh bersaudara. Ia lahir dari pasangan Esau Foekh dan Yohana Foekh-Mozes. Ketika Daniel menamatkan Sekolah Dasar (SD) GMIT 2 di Kabupaten Kefamenanu, ia mendapat nilai pas-pasan.

Idealisme sang ayah yang mengharuskan setiap anaknya memperoleh nilai yang bagus, membuat Daniel harus mengulang kembali kelas VI SD Inpres Oetete II Kupang. Hal ini menyebabkan ia mengulang kembali kelas VI SD bersama dengan adiknya. Karena itulah, Daniel memiliki dua ijazah SD.

Usai lulus dari SMA Negeri 1 Kupang, ia mendaftar mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) pada 1985, dengan pilihan pertama di Fakultas Hukum Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang dan pilihan kedua juga di Fakultas Hukum Udayana Bali.



Daniel pun resmi menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana). Sebelumnya, ia ingin mengambil jurusan hukum perdata. Menurutnya, ada anggapan lulusan jurusan hukum perdata lebih mudah mendapatkan pekerjaan dari pada jurusan yang lain. Akan tetapi, ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terbit, ia beserta dua rekannya (Mohammad Said dan Renhard Udjululu) memilih jurusan hukum tata negara.

Pada 1995, Daniel yang dikenal sebagai figur yang cerdas dan gemar berorganisasi ini mengikuti seleksi Strata 2 Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan ia pun lolos seleksi dengan konsentrasi hukum kenegaraan (HTN).

Sebelum diangkat menjadi Hakim Konstitusi, Daniel pernah menjadi dosen honorer di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia dan dosen tetap di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dengan jabatan fungsional sebagai Asisten Ahli.

Selama menjadi dosen di Unika Atma Jaya, Daniel yang meraih gelar Doktor Ilmu HTN di UI pada tahun 2005 ini pernah dipercaya sebagai Wakil Dekan Fakultas Hukum.

Demikian profil pendidikan dua hakim konstitusi yang dissenting opinion pada putusan MK terkait ambang batas pencapresan 20 persen.
(nnz)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1984 seconds (0.1#10.140)